Daerah dalam Belenggu Tata Ruang Pusat

Oleh : Yuniar Riza Hakiki

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Daerah dalam Belenggu Tata Ruang Pusat

Ruang otoritatif Presiden dalam menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) jamak digunakan untuk mengefektifkan pembangunan nasional. Efektivitas pembangunan nasional ini memang diperlukan demi terwujudnya tujuan nasional, tercapainya visi dan misi Presiden, serta untuk merealisasikan program-program Presiden dalam masa jabatannya.

Memerhatikan beban kerja Presiden dalam pembangunan nasional yang cukup besar dan kompleks, maka tidak bisa dipungkiri bila langkah Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan ditempuh secara praktis dan taktis. Namun, langkah efektif yang nampak pada sejumlah materi muatan Perpres justru terlampau menjangkau urusan otonomi daerah yang seharusnya menjadi domain pemerintahan daerah.

Urusan pemerintahan yang pengaturannya relatif didominasi Presiden melalui Perpres ini dapat teridentifikasi di bidang penataan ruang kawasan daerah. Perpres 55/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar misalnya, mengatur bahwa peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan peraturan daerah tentang rencana rinci tata ruang beserta peraturan zonasi yang bertentangan dengan Peraturan Presiden ini harus disesuaikan paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan.

Perpres 78/2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi mengatur bahwa peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan peraturan daerah tentang rencana rinci tata ruang beserta peraturan zonasi yang bertentangan dengan Peraturan Presiden ini harus disesuaikan pada saat revisi peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten, peraturan daerah tentang rencana rinci tata ruang beserta peraturan zonasinya.

Baca Juga:

Institut AntiKorupsi Soroti Kebijakan Koruptif di Daerah

Nampak dari kutipan norma Perpres tersebut, ada kehendak aktif Presiden untuk mencampuri/mengintervensi urusan rumah tangga (otonomi) pemerintahan daerah. Padahal, bila mencermati Pasal 18 UUD NRI 1945, kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan selain menjadi wewenang Presiden itu mestinya juga menjadi hak sekaligus wewenang Pemerintahan Daerah. Konstitusi juga mendesain bahwa Pemerintahan Daerah berhak menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Pada satu sisi, tugas Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan memang tidak menafikkan kewenangannya untuk mengatur urusan pemerintahan yang menjangkau urusan rumah tangga otonomi daerah, namun pada sisi yang lain kewenangan pengaturan yang terlampau memasuki ruang kemandirian daerah tentu dapat mengkhawatirkan bangunan otonomi daerah di Indonesia.

Belenggu Yuridis

Kewenangan Pemerintah Pusat untuk campur tangan urusan pemerintahan daerah mestinya harus memerhatikan prinsip otonomi daerah. Keharusan tersebut mengingat dasar-dasar politik otonomi daerah di Indonesia dalam rangka pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada daerah-daerah dan berbagai kesatuan masyarakat hukum untuk berkembang secara mandiri (Bagir Manan, 2001). Otonomi disebut sebagai instrumen demokrasi yang menghendaki tingkah laku demokratik baik oleh warga maupun penyelenggara pemerintahan. Oleh karena tepat bila konstitusi menjamin prinsip otonomi daerah dengan memberikan atribusi kepada daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Baca Juga:

Peran Pengusaha Dalam Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah

Perda merupakan salah satu instrumen yuridis Pemerintahan Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Perda berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi. Sedangkan Perpres merupakan salah satu instrumen yuridis Presiden selaku Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, pelaksanaan Peraturan Pemerintah, atau untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Apabila Perpres dan Perda dipersandingkan dari segi hierarki yang ditetapkan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka Perpres memang berkedudukan lebih tinggi dibanding Perda. Namun demikian, apabila dicermati dari segi materi muatannya, keduanya bisa saja berkedudukan setara. Argumentasinya adalah pertama, kewenangan untuk membentuk Perpres dan Perda sama-sama bersumber dari atribusi UUD NRI 1945; kedua, materi muatan Perpres dan Perda yang bersifat “mandiri” masing-masing tidak terikat pada peraturan perundang-undangan di atasnya, bahkan materi muatan Perda untuk menyelenggarakan otonomi daerah atau menampung kondisi khusus daerah mestinya bisa juga tidak terikat terhadap Perpres.

Apalagi Perda merupakan produk legislasi daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah bersama DPRD yang merepresentasikan proses demokrasi lokal, sedangkan Perpres merupakan produk eksekutif (Presiden) yang merepresentasikan kehendak Presiden.

Baca Juga:

Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah

Fenomena ‘instruksi’ penyesuaian Perda terhadap Perpres sebagaimana yang penulis uraikan di atas menggambarkan suatu pola bahwa pencabutan dan perubahan (penyesuaian), suatu Perda bisa dilakukan melalui instruksi yang tercantum dalam materi muatan Perpres. Realitas ini mestinya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 yang pada intinya ‘mengamputasi’ kewenangan Pemerintah Pusat untuk membatalkan/mencabut Perda, karena pembatalan/pencabutan Perda pasca putusan MK tersebut harus melalui uji materi di Mahkamah Agung (MA).

Berkaitan dengan kebijakan penataan ruang, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang problemnya memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara hierarkis, yaitu nasional, provinsi, kabupaten/kota.

Hubungan vertikal-hierarkis inilah yang bisa menjadi peluang Pemerintah Pusat untuk ‘memaksa’ penataan ruang di daerah yang harus seirama dengan kebijakan tata ruang pusat. Hal inilah yang kemudian dapat membelenggu ruang mandiri (otonom) Pemerintahan Daerah untuk melakukan penataan ruang sesuai dengan kondisi khusus di daerah.

Padahal bila merujuk Pasal 12 ayat (1) huruf c UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan penataan ruang itu terkualifikasi dalam urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dan urusan pemerintahan wajib ini tergolong dalam urusan pemerintahan konkuren yang pengurusannya dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi, serta Daerah Kabupaten/Kota.

Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Pemerintahan Daerah itulah yang kemudian menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Maka, urusan penataan ruang yang telah diserahkan ke Pemerintah Daerah itu mestinya dapat dikelola secara mandiri sesuai dengan kondisi khusus di daerah. Sehingga, Presiden yang seharusnya memerhatikan otonomi dan kondisi khusus di daerah dalam menetapkan kebijakan penataan ruang secara nasional, dan bukan sebaliknya.

Yuniar Riza Hakiki. Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Hukum Kontitusi (PSHK) dan Mahasiswa Magister Hukum UII

Reporter: KilatNews