Bung Karno dan Indonesia
Oleh : Kiki Naga Setiawan
Perasaan umu yang dimiliki oleh para pemilih adalah rasa lega. Bangga, dan puas. Orang-orang desa maupun orang-orang kota merasa sangat bahagia setelah menyatakanpilihan mereka, bangga karena telah ikut berpearan dalam peristiwa nasional yang penting ini. (herbelt Feith, 1968 tentang pemilu 1955).
KilatNews.Co – Sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997. Salah satu pertanyaan yang acap muncul adalah mengapa bangsa indonesia bisa jatuh dalam kondisi krisis yang berlarut-larut. Tidak hanya krisis berkepanjangan secara ekonomis, melainkan juga secara sosial-politis. Krisis itu berujung merosotnya wibawa pemerintah tidak hanya dalam negeri, namun juga di mata dunia.
Tak ayal, dimata dunia Internasional, nama indonesia tidak lagi harum. Buruknya citra Indonesia inipun diperparah oleh berbagai bentuk kekerasan sosial serta masalah korupsi yang tak kunjung usai. Fakta ini, tak urung membuat bangsa ini semakin dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain. Bahkan di mata negara-negara tetangga pun image tentang Indonesia tidak selalu positif hingga mempermalukan para tenaga kerja kita sebagai cerminan dari sikap negara lain terhadap Indonesia. Tampak jelas dan mudah bangsa-bangsa lain “mengobok-obok” dan berlaku semena-mena terhadap bangsa Indonesia.
Pernyataan dan keluhan semacam itu tentu sah-sah saja, dan memang perlu didengarkan untuk segera dicari pemecahan dan jalan kelaurnya. Namun, kita tak perlu menghindar, perlakuan yang tak mengenakan bagi rakyat Indonesia tidak pertama-tama datang dari bangsa yang lain, melainkan dari bangsa kita sendiri. Seperti kita lihat, pada bulan-bulan terakhir tahun 1965 ratusan ribu rakyat Indonesia tewas terbunuh ditangan sesama rakyat Indoneia. Peristiwa itu kemudian disambung dengan pemenjaraan dan penistaan ratusan ribu orang tanpa proses pengadilan yang memadai. Entah dipulau buru maupun di tempat lain. Sepuluh tahun kemudian rakyat timor timur menjadi sasaran penyerbuan yang selanjutnya juga mematikan ratusan ribu orang pula.
Baca Juga:
Belum lagi kalau mengingat betapa banyak korban yang jatuh di Tanjung Priok, Maluku, Sampit, Papua, Semanggi, Aceh, Poso, dan sebagainya. Semua korban di tempat-tempat itu diperlalukan semena-mena dan tewas tidak terutama oleh bangsa lain, melainkan oleh bangsa sendiri. Kasus pemenggalan kepala beberapa siswi SMA yang pernah terjadi di Poso hanyalah salah satu contoh bagaimana warga masyarakat yang tak bersalah dperlukan oleh bangsanya sendiri.
Secara Terhormat
Padahal tidak selamanya bangsa Indonesia itu berlaku kejam secara massal dan berkepanjangan seperti itu. Tanpa bermaksud sekedar meromantisir masa lalu, kita tahu, dibawah pemerintahan Presiden Suharto dan sebelumnya Indonesia hidup dalam solidaritas sosial yang cukup tinggi, perbedaan tidak menjadi sekat hingga berujung konflik massal. Justru, perbedaan menjadi perekat, dirajut dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada masa pergerakan nasional di tahun 1930-an, terdapat berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan politisi di kalangan organisasi perjuangan kemerdekaan. Namun perbedaan itu tidak serta-merta disertai dengan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik. Ketidaksepakatan terhadap pilihan politik suatu organisasi-pergerakan tertentu diungkapkan tidak dengan kekerasan, melainkan dengan membentuk organisasi lain yang nantinya saling melengkapi.
Pada dekade 1950-an terjadi berbagai pemberontakan daerah, seperti RMS, DI/TII,PRRI dan permesta. Sekali lagi, banyak korban juga jatuh dalam konflik-konflik tersebut. Namun semua peristiwa itu tidak dikuti pembantaian masal entah terhadap para pelaku maupun anggota keluarga mereka. Ada sejumlah kecil pimpinan pembenrontakan yang di hokum mati, namun kebanyakan dari mereka diberi amnesti dan diperlakukan secara hormat oleh masyarakat. Dibawah kepimpinan Bung Karno mereka yang kalah tidak lantas ditumpas habis-habisan melainkan disadarkan dan diterima kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Baca Juga:
Tampak sekali, waktu itu terdapat sikap saling mengheormati di antara sesame warga Negara, meskipun terdapat berbagai perbedaan dalam pendangan social, politik, ekonomi maupun keagamaan. Bahwa dalam dinamika kehidupan berbangsa sering terjadi perbedaan pendapat dan pertarungan kepentingan tidak harus berujung pada kekarasan massal antar sesame warga Negara.
Tak mengherankan, meskipun baru merdeka, saat itu proses demokrasi dipahami dengan baik sampai ke tingkat akar-rumput sebagaimana tercermin dalam pemilu 1955 dan 1957. Bangsa Indonesia mendapat tempat yang terhormat di kalangan bangsa-bangsa lain. Bung karno menjadi figur internasional yang di segani oleh bangsa-bangsa asing. Hal ini terwujud dalam kepercayaan dunia terhadap kepeloporan Indonesia dalam penyelenggaraan Koferensi Asia-Afrika di Bandung tahun1955 dan pembentukan gerakan non-blok setelahnya. Gagasan Bung Karno untuk “membangun kembali dunia” (to build the word anew) pasca-komonisme juga diterima secara internasional. Dengan kata lain, pernah ada “indonesia yang lain”, yang meskinpun sangat beragam dalam pandangan social-politik, termasuk wawasan religiusnya, namun para warganya saling menghormati, dan dengan demikian dihormati oleh Negara-negara lain.
Tetapi entah memgapa mulai tahun 1965 berbagai konflik politik yang terjadi selalu disertai kekerasan massal. Kekerasan massal yang satu disusul dengan kekerasan massal yang lain. Setidaknya ratusan ribu nyawa penduduk telah melayang di tengah sesame warga bangsanya sejak tahun itu. Sejak itu pula korupsi dan konsumerisme merajalela, sumber-sumber alam dijarah, rumah-rumah ibadah dirusak, bank-bank dobobol, dan ekonomi makin tak memihak rakyat kecil. Seiring dengan itu rasa hormat di antara sesame warga Negara juga makin merosot. Selanjutnya, rasa hormat dan kagum dari bangsa-bangsa lainpun makin berkurang.
Kiki Naga Setiawan. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Bung Karno, Jakarta.