Apa Salahnya Gibran Maju Pilkada?

Oleh : Arif Budiman

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Apa Salahnya Gibran Maju di Pilkada?

Ibarat kata pepatah, ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Pepatah ini sangat tepat untuk menggambarkan sosok milenial populis  bernama Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo. Sebagaimana kita tahu, Gibran mencalonkan diri dalam pemilihan Wali Kota Solo, pada 9 Desember 2020. Karir politiknya pun, dapat dipastikan meroket sampai ke pemilihan Presiden 2024 mendatang.

Maju sebagai calon wali kota solo, bukan perkara mudah bagi Gibran. Tentu ada banyak orang maupun kelomok yang akan menentang— berupaya mempengaruhi pilihan masyarakat agar tidak memilihnya dan memenangkan kotak kosong di pilkada mendatang. Tak pelak, cara demikian, tidak sehat untuk demokrasi.

Baca Juga:

Berdikari atau Mati

Jelas isu yang dipakai untuk merontokan elektabilitas Gibran adalah isu klasik yakni politik dinasti. Padahal, hampir setiap orang, pasti menginginkan anaknya sukses dunia dan akhirat, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sama halnya dengan Jokowi, sudah barang tentu ia ingin anaknya mempunyai nasib yang lebih baik dari pada dirinya. Tak ayal, orang-orang sejenis ini, harus mencoba untuk berempati dan turut merasakan, bagaimana kalau ia duduk dalam posisi sebagai pejabat negara.

Mungkin secara psikologisnya ia akan mengalami hal yang sama. katakanlah sebagai Gubernur, tak dapat dipungkiri, karpet merah untuk anaknya pun akan dia gelar selebar-lebarnya. Artinya, setiap orang menginginkan anaknya sukses. Tak ada satupun orang tua menginginkan anaknya sengsara.

Terus Maju

Bersikap acuh dan masa bodoh terhadap tuduhan-tudahan dan penolakan-penolakan, sepertinya harus dilakukan oleh Gibran. Semakin direspon, membuat orang yang mencemooh semakin menjadi-jadi.

Sekali lagi, ibarat kata pepatah, anjing menggonggong, kapila tetap berlalu. Pepatah ini mengajarkan kita untuk bersikap masa bodoh atas persoalan-persoalan yang akan menjerumuskan kita. Tentu saja, kalau ditanggapi, ia akan semakin banyak tingkah dan tingkahnya akan semakin banyak.

Semakin ia ditanggapi, semakin ia eksis. Eksis adalah tujuannya dalam rangka menyedot perhatian masyarakat dengan harapan, masyarakat gamang dalam menentukan pilihan. Bahkan mereka menginginkan masyarakat memilih kotak kosong. Lagi-lagi untuk mengalahkan Gibran.

Baca Juga:

Analisis Ade Armando: Dinasti Politik Tak Patut Didewakan

Tulisan ini, saya buat bukan untuk mendukung Gibran, bukan pula untuk menyalahkan kelompok yang bermaksud menghalau suara Gibran di pemilihan wali kota. Tapi kalau salah, apa salahnya kita mengingatkan satu sama lain. Karena demokrasi memberikan hak yang sama kepada setiap orang. Baik itu hak memilih maupun hak untuk dipilih.

Fenomena Gibran ini dapat dijadikan ajang pendidikan demokrasi dan politik bagi publik. Sudah saatnya publik diberikan suatu pemahaman demokrasi yang baik dan benar. Demokrasi yang baik dan benar adalah demokrasi yang menghargai hak setiap orang.

Pendidikan Demokrasi dan Konstitusi

Menukil Abraham Lincoln, Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam konteks ini, kita serahkan keseluruhan prosesnya kepada rakyat. Biarkan rakyat memilih, siapa yang layak memimpin kota solo. Kalau rakyat menganggap Gibran pantas dan layak, mengapa tidak. Pun sebaliknya, kalau rakyat menganggapnya belum pantas, para pendukung Gibran juga harus menghargainya.

Masalahnya adalah banyak pihak-pihak yang berusaha memprovokasi dan menjegal demokrasi. Tentu ini, tidak kita harapkan. Karena politik demikian merupakan politik yang tidak mendasarkan nilai-nilai luhur yang hidup ditengah masyarakat.

Sebagaimana kita tahu, paska lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan, dan paska amandemen UUD’45, Kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat. Termasuk dalam memilih pemimpin diselenggarakan melalui pemilhan umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara demokratis. Dan UUD’45 sudah menjamin hak konstitusional seluruh Indonesia.

Hak konstitusional a quo, secara jelas dapat dilihat dalam UUD’45. Mulai dari Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C (1) dan Pasal 28D ayat (3), secara jelas mengatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Hak dipilih juga diatur dalam tingkat UU. 

Seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak pilih dalam Pasal 43 menyebutkan setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 21 ayat (1, 2 dan 3).

Tidak hanya itu, Mahkamah Konstitusi (MK) pun ketika melakukan Uji materil Pasal 7 huruf r, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Dimama dikatakannya, nampak pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusinya yakni hak untuk dipilih.

Oleh karena itu, seyogyanya hak setiap orang harus dihormati dan dihargai. Dalam artian, demokrasi merupakan sikap toleran, kesediaan mendengar dan menerima pendapat orang lain (Print, Orstrom dan Nielson, 2002).

Harapan masyarakat indonesia, khususnya masyarakat Solo bahwa demokrasi di masa mendatang dapat menjadi lebih baik dan berkualitas. Maka hal penting yang harus dilakukan adalah meningkatkan, mengembangkan pemahaman, kesadaran berdemokrasi dan berkonstitusi ditengah masyarakat.

Demokrasi secara substantif bukan semata-mata keterlibatan publik secara elektoral, seperti Pilkada dan Pileg (Fachruddin:2006). Demokrasi adalah proses menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai- nilai demokrasi  (Sukron Kamil, 2002).

Meralisasikan nilai-nilai demokrasi mutlak harus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat kita. Agar demokrasi konstitusional berdasarkan pancasila yaitu demokrasi berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, permusyawaratan dalam perwakilan, dan keadilan sosial— menjadi bintang penuntun kita dalam berdemokrasi dan berpolitik.

Pada gilirannya, proses demokratisasi menghasilkan pemimpin-pemimpin yang bukan saja lihai mengelola pemerintah, namun mampu mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera

Arif Budiman. Penulis adalah Peneliti dan Pemerhati Hukum

Reporter: KilatNews