Kilatnews.co Mari belajar hukum tata negara (sekali-kali). Kita sadari isu dan konten seperti ini tidak banyak yang menyukainya. Nah, namun begitu, begitu banyak orang yang ikut komentar tentangnya. Isu yang dimaksud terkait UU Cipta Kerja yang karena mendapat “catatan” dari MK untuk diperbaiki, kini muncul Perppu No 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja.

Mahkamah Konstitusi melalui pengajuan gugatan judicial review menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi. MK juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Adu Cerdas dalam Penemuan Hukum

Dua point tersebut yang dijadikan dasar hukum bagi MK mengeluarkan putusan inkonstitusional bersyarat.. Keputusan dan pendapat hukum MK tersebut setidaknya menunjukkan pula bahwa sistem peradilan Indonesia masih berjalan baik. Meski dalam keanggotaan MK ada hakim penunjukkan yang diusulkan pemerintah maupun DPR RI.

Baca Juga: Meminta Maaf Adalah Sikap Seorang Pancasilais

Terlebih, Ketua MK juga merupakan adik ipar dari presiden Jokowi. Maka jika bicara secara logika, jika ada abuse of power, maka MK akan menerima begitu saja UU Cipta Kerja tanpa syarat. Namun dugaan atau tuduhan bahwa MK ini  merupakan kepanjangan tangan dari presiden, maka itu tidaklah benar, atau terbantahkan. Masyarakat sipil pun merasa sangat senang karena  gugatannya yang diajukannya itu berhasil.

Lantas bagaimana nasib UU Cipta Kerja? Ya statusnya harus “diperbaiki” terutama dalam proses pembuatannya sebagai UU dengan metode omnibus law. MK tidak masalah dengan formalitas dan prosedurnya. Lantas UU mana yang harus digunakan yang terkait pasal-pasal yang sudah diubah? Hal ini tentu akan lebih membingungkan lagi dan bisa menyebabkan “kekosongan hukum”.

Baca Juga: Laura Kovesi, Putri Keadilan Romania dan Putri Suap Indonesia

Wah, membingungkan ya? Mungkin dari awalnya kita sudah bingung, seperti apa sih UU Cipta Kerja, dan apa itu metode “omnibus law”? Teknik penyusunan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law ini dapat mengatasi problem obesitas dan disharmoni regulasi. Tetapi jika menjalankannya tidak semudah yang dibayangkan.

Pemerintah membuat UU ini sebagai salah satu jalan keluar mengatasi obesitas regulasi dan mempermudah perizinan berusaha. UU Cipta Kerja –semula bernama RUU Cipta Lapangan Kerja– merupakan salah satu UU yang disusun menggunakan metode omnibus law. UU ini memuat 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal.

UU ini berdampak pada setidaknya 1.203 pasal dari 79 Undang-Undang. Beberapa ketentuan dari UU Ketenagakerjaaan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Administrasi Pemerintahan akan dihapuskan. Intinya, ada banyak UU yang beberapa pasal-pasalnya mengalami tumpang tindih hingga bisa menghambat percepatan pemulihan iklim ekonomi negara.

Baca Juga: Memburu Oknum Korup di Institusi Penegak Hukum

Jika mengubah pasal-pasal dari banyak UU tidak akan efektif dan efisien. Maka digunakan teknik atau metode omnibus law, yakni membuat satu UU yang sifatnya memperbaiki pasal-pasal dari banyak UU yang sudah ada sebelumnya. Dalam konsiderannya, RUU Cipta Kerja disusun antara lain untuk menyerap banyak tenaga kerja, kemudahan berusaha, dan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan berusaha.

Ini juga berkaitan dengan ekspekstasi meningkatkan posisi Indonesia dalam kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB). Dalam rangka itu, peraturan perundang-undangan dianggap menjadi hambatan, sehingga Presiden mengusulkan penyusunan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan metode omnibus law.

Omnibus Law adalah salah satu metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih dikenal dalam sistem hukum Common Law. Metode ini kemudian hendak diadopsi ke Indonesia setelah Presiden Joko Widodo menyinggungnya dalam pidato pelantikan sebagai Presiden periode kedua (2019-2024).

Baca Juga: Jaksa Pinangki: Seret Politisi Nasdem ?

Omnibus Law kemudian memunculkan perdebatan di ruang publik. Apakah metode ini sejalan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019? Teknik omnibus law memang baru pertama diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Namun begitu, hal ini sangat dimungkinkan salam konteks terobosan ataupun penemuan hukum.

Istilah ‘Omnibus Law’ lebih dikenal sebagai omnibus bill dalam sistem hukum Common Law. Lema ‘ominus’ berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti untuk semuanya, atau banyak. Omnibus law, dengan demikian, adalah hukum untuk semua. Orang lebih memahaminya sebagai undang-undang sapu jagat. Lantas apa yang dilakukan pemerintah terkait dengan “catatan” yang diberikan oleh MK?

Presiden Jokowi beserta Tim hukum nya lalu mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU). Satu sifat yang melekat dalam Perppu adalah “kemendesakan”. Kondisi mendesak apa yang dijadikan dasar pemerintah? Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia bahkan dunia tengah mengalami kondisi yang tidak baik-baik saja.

Baca Juga: Yap Thiam Hien: 100 Persen Pengacara

Di tahun 2023 bahkan pemerintah memprediksi turbulensi krisis ekonomi dunia semakin tidak menentu. Hingga kini negara yang menjadi pasien IMF sudah banyak mengantri. Indonesia masih lebih baik dengan berada di posisi kelima pertumbuhan ekonomi terbaik dunia. Namun begitu, tidak banyak cukup waktu hanya untuk membahas UU Cipta Kerja agar menjadi produk hukum yang sesuai keinginan MK.

Memang ini jalan pintas, yang kemudian dituduhkan sebagai memanipulasi demokrasi. Namun langkah ini harus diambil agar pula tidak terjadi kekosongan hukum alih-alih kembali ke pasal semula. Kondisi ini tidak normal, iya. Siapa pembuat kebijakan yang tidak ingin kebijakannya tidak menimbulkan masalah? Namun bagi oposan, langkah hukum apapun yang diambil pemerintah adalah salah.

Baca Juga: Kejaksaan Agung Harus Jujur dan Transparan!

Bahkan seorang Mahfud MD, Menkopolhukam, menyatakan bahwa jika dia bukan menteri, mungkin juga akan protes atas Perppu ini. “Apakah perppu apakah undang-undang pasti dikritik. Itu sudah biasa dan itu bagus. Ini demokrasi yang maju tapi kita juga kalau pemerintah menjawab itu bukan sewenang-wenang. Mari adu argumen,” ujar Mahfud lagi.

Reporter: KilatNews