Aspek Budaya Organisasi Dalam Proses Merger & Akuisisi
Oleh: Deby Ayu Nur Melita Sonia
KilatNews.Co – Salah satu faktor yang mempengaruhi suatu perusahaan atau organisai adalah budayanya. Budaya adalah keyakinan, yang merupakan kode etik dan menentukan apa yang dapat dilakukan dalam suatu organisasi. Budaya dapat didefinisikan sebagai sistem kepercayaan yang melekat dalam masyarakat dan tercermin dalam perilaku organisasi dan individu.
Hofstede berpendapat bahwa, Budaya merupakan konsep yang membedakan anggota suatu kelompok dengan kelompok lainnya, budaya ini secara tidak langsung juga mengatur bagaimana sebuah organisasi harus beroperasi, faktor budaya dalam merger dan akuisisi dapat dilihat pada budaya organisasi dan budaya nasional.
Meskipun istilah merger dan akuisisi sering dianggap sama, tetapi kedua hal tersebut memiliki arti yang berbeda.
Merger berasal dari bahasa Latin mergere, yang berarti penggabungan dua atau lebih perusahaan, dengan hanya satu perusahaan yang tersisa sebagai badan hukum sementara yang lain berhenti beroperasi atau bubar. Pihak atau perusahaan yang berhenti beroperasi setelah dilakukan merger dinamakan merged form, sedangkan perusahaan yang masih hidup dinamakan surviving firm.
Sementara itu, Dalam istilah bisnis, akuisisi, berasal dari bahasa Latin acquisitio, mengacu pada perolehan kepemilikan atau kendali atas saham atau aset perusahaan lain. Dalam hal ini, perusahaan pengakuisisi maupun perusahaan yang diakuisisi tetap eksis sebagai badan hukum yang terpisah.
Merger berbeda dengan Akuisisi, karena merger menyebabkan pihak lain bubar sebagai entitas hukum, sedangkan Akuisisi tidak.
Namun, tahukah kamu bahwa Merger dan Akuisisi merupakan salah satu faktor dari Culture Killer? Ya, budaya organisasi bisa menjadi salah satu penyebab mengapa proses merger dan akuisisi gagal.
Schein (2009) berpendapat bahwa Budaya tumbuh disemua tingkatan di departemen, kelompok fungsional dan dari unit organisasi lainnya dengan pekerjaan dan pengalaman serupa.
Menurut Ray (2012) Konflik budaya dalam proses merger dan akuisisi terjadi dalam 4 tahap, yaitu:
- Tahap pertama, tidak ada perbedaan yang muncul dan manajemen mengira bahwa semuanya sesederhana kenyataan.
- Tahap kedua, perbedaan mulai muncul, seperti symbol, gaya kepemimpinan, ritual, dll mulai terlihat.
- Tahap ketiga, perbedaan semakin tambah dan semua orang mulai membandingkan antara “kita” dan “mereka”.
- Tahap keempat, Anda dapat melihat keatas dan kebawah.
Budaya adalah milik suatu kelompok, disinilah budaya mulai terbentuk ketika kelompok dianggap memiliki pengalaman yang cukup. Budaya tumbuh di semua tingkat departemen, kelompok, dan fungsi unit organisasi lain dengan pekerjaan dan pengalaman yang sama (Schein, 2009). Budaya perusahaan atau corporate culture memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja suatu perusahaan. Menurut Krefting & Frost (1985) pada tulisan karya Lai & Lee (2007), budaya organisasi dapat mempertahankan keunggulan dengan memfasilitasi interaksi antar individu dan menyediakan ruang lingkup untuk arus informasi.
Dalam aspek budaya, perusaahan-perusahaan ini dapat digabungkan jika mereka dapat menggabungkan kinerja perusahaan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Josua Tarigan dkk (2016:161) yang menjelaskan bahwa dengan melakukan cultural due diligence, cross-cultural communication, connection, dan control.
1. Cultural due diligence
Cultural due diligence adalah definisi kesesuaian budaya dalam akuisisi internasional. Kesesuaian budaya tidak berarti budaya tersebut harus sama, tetapi dua kebudayaan yang dapat digabungkan. Cultural due diligence dilakukan sebelum proses akuisisi untuk menentukan apakah perbedaan budaya yang berbeda berhasil setelah akuisisi itu terjadi.
2. Cross-cultural communication
Cross-cultural communication, yaitu komunikasi dua arah antara perusahaan yang terlibat dalam akuisisi memungkinkan manajer dan karyawan masing-masing perusahaan untuk bertukar informasi tentang budaya perusahaan.
Komunikasi yang buruk antara kedua belah pihak dapat menciptakan ambiguitas, ketakutan dan rumor antara perusahaan yang terlibat, sehingga dapat menyebabkan kegagalan dalam proses akuisisi.
3. Connection
Connection, yaitu hubungan sosial dan terstruktur antara perusahaan yang terlibat dalam akuisisi.
4. Control
Control harus dilakukan untuk dapat membangun komitmen, kepercayaan dan kerjasama antara perusahaan yang bergabung yang dapat berkontribusi bagi keberhasilan penggabungan budaya perusahaan. Control juga harus dilakukan baik oleh perusahaan yang mengakuisisi maupun yang diambil alih.
Didalam suatu perusahaan, budaya perusahaan yang mengakuisi dan yang diakuisisi dapat dievaluasi secara positif atau ditolak mentah-mentah.
Dalam kebanyakan kasus setelah dilakukan merger dan akuisisi, fokus manajemen adalah untuk mengurangi kesalahpahaman yang disebabkan oleh perbedaan budaya.
Tentu dalam hal ini sangat penting bagi perusahaan yang mengakuisisi untuk memahami bagaimana mengelola perubahan budaya perusahaan yang diakuisisi.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi perbedaan budaya adalah dengan melalui interaksi, komunikasi dan cultural learning. Adanya interaksi diharapkan untuk mendukung pembelajaran mengenai budaya.
Schweiger (1993), berpendapat bahwa cultural learning dapat dilakukan dalam memfasilitasi kesamaan budaya, pemahaman, komunikasi dan kerjasama.
Ketika dua perusahaan yang berbeda dan dua budaya yang berbeda bergabung, banyak kendala bagi perusahaan -perusahaan yang bergabung tersebut jika tidak diatasi pada tahapan sebelum melakukan merger dan akuisisi.
Oleh karena itu, setiap manajemen perusahaan harus berpartisipasi secara aktif dalam proses merger untuk memahami perbedaan yang muncul, terutama perbedaan budaya, dan merencanakan perubahan secara perlahan sehingga proses merger nantinya dan akuisisi tersebut dapat membawa keberhasilan.
Deby Ayu Nur Melita Sonia. Penulis adalah Mahasiswa Manajemen Dakwah, Universitas Islam Negeri (UIN) sunan Kalijaga, Yogyakarta. Hobby nonton Drama Korea