ESSAI  

Gairah

Wahai orang-orang yang beriman, jadillah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah, saksi-saksi yang adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum (menurut  kebanyakan musafir, “kaum” di sini artinya malah orang-orang kafir) mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Adil itu lebih dekat kepada takwa,…(QS,5:8)

BOLEH jadi kata “ghairah” seperti banyak kata yang lain berasal dari kata dalam bahasa Arab Ghairah, atau sering dikaprahucapkan menjadi ghairah. Namun ada sebagian nuansa lain dan makna ghairah justru tidak terbawa dalam kata gairah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata gairah hanya berarti; keinginan (hasrat, keberanian) yang kuat. Sedangkan nuansa dan makna lain dari kata ghairah ini, lebih dari itu. Ia memandang arti semangat, cemburu, kejantanan, dan bela.

Rasa ghairah lah yang membuat kita, misalnya, berusaha terus menjaga apa atau siapa yang kita cintai agar tetap baik dan terus menjadi lebih baik. Bahkan, menutupi Aibnya (bila ada) melindunginya, membuat kita emosi dan marah bila sedikit ia diganggu, bila perlu bersiap mati untuk itu. Ghairah bersumber dari rasa cinta yang kuat, karena itu ia bisa lebih dekat kepada nafsu, dan bisa membuat kita jauh dari akal sehat.

Rata-rata orang oleh sebab kecintannya, mempunyai ghairah berlebihan terhadap istrinya. Meskipun sikap yang ditampilkan pada masing-masing pribadi tentu berbeda-beda. Sangat bergantung “macam” dan seberapa besar cintanya dan sikap kedewasaan pribadi yang bersangkutan.

Misalnya ada orang dapat dengan mudah terseret dan hanyut pada kegairahan yang negatif sehingga ia tega menyakiti, bahkan membunuh orang yang menganggu anak dan istrinya— tega membunuh istrinya sendiri. Ada juga orang mempunyai bersikap lebih dingin dan bijak, dapat mengontrol kegairannya itu sehingga menjadi kegairahan yang positif. Orang dengan kegairahan positif dalam menghadapi dan menyelesaikan dengan melihat secara jernih duduk perkaranya dan menyelesaikan persoalan dengan duduk bersama untuk menekan potensi munculnya kegairahan yang dapat menjerumuskannya kedalamkegairahan negatif.

Kegairahan Negatif

Fenomena kegairahan demikian perlu sekali mendapat perhatian kita bersama. Masalahnya yang itu tadi. Seperti juga suami terhadap istri, orang islam bergairah terhadap agamanya pun berbagai macam-macam sikapnya. Dan justru karena kaitannya dengan agama, banyak yang menganggap seperti dinyatakan oleh lisan mereka bahwa semua sikap yang didorong oleh ghairah adalah terpuji. Mereka abai dan tak menyadari kalau ghairah terhadap agama pun, bila terlepas dari kontrol akal sehat, bisa membahayakan bisa membahayakan diri sendiri.

Seperti disinggung di atas, ghairah negatif menjadi biangnya, cinta dapat lebih dekat dengan nafsu yang buruk. Oleh karenanya, sikap yang ditampilkan atau diakibatkan oleh ghairah umumnya cenderung berlebihan dan sering kali justru tidak terpuji dilihat dari kecamata agama. Dalam hidup beragama kita dapat melihat berbagai gejala mengenai kecenderungan sikap berlebihan yang bermula dari dorongan ghairah yang tidak terkontrol.

Ambillah fenomena positif  kegairahan, misalnya ghairah terhadap agama telah mendorong umat untuk menyiarkannya. Karena itu kita berusaha menyapaikan pesan ilahiah, kendati hanya satu ayat atau melalui lantutas adzan di masjid maupun langgar dengan memanfaatkan pengeras suara.

Namun ada pula umat mensyiarkan agama ini dengan cara yang amat sangat berlebihan. Tanpa melihat sisi kemanusiaan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Segala macam bacaan selain adzan pun dikumandangkan pada setiap saat, tanpa melihat situasi dan kondisi yang ada. Kita melupakan ajaran kita sendiri tentang etika berdzikir, adab membaca Al-Qur’an dan kemanusiaan.

Ada beberapa kasus yang pernah saya ketahui atau pernah saya baca situs diberita, yaitu kasus monitornya Arwendo dapat dijadikan bahan renungan kita bersama. Dan Ghairah rupanya dapat membuat kita marah. Dan berlebihan, sampai ada yang merusak kantor segala. Lupa bahwa Rasululah SAW panutan yang kita ghairahi sendiri, tidak mengajarkan sikap beringas begitu. Justru sebaliknya, beliau begitu alim, dan juga pemaaf. Bahkan terhadap mereka yang pernah memusuhinya habis-habisan.

Satu contoh lagi, yaitu kehidupan keberagamaan kita yang kerap kali berselisih dan berujung pada konflik antara pribadi maupun antar umat beragama. Perselisihan ini tidak hanya sekadar berbeda pendapat, namun sudah sangat bercampur jadi satu dengan nafsu.

Masing-masing pihak yang berselisih boleh jadi berkelahi, karena dorongan gairah cinta yang berlebihan. Terhadap agama, Allah, Rasulullah Saw., umat, atau hal-hal lainnya. sehingga merusak hingga memutus tali silaturrahmi, dan mereka lupa tentang tawashau bil haqq washshabr.

Sungguh ironis apabila mereka yang mencitrakan diri sebagai peminpin tokoh islam dengan harapan agar menjadi panutan umat, namun dengan sengaja tampil berlebihan dalam beragama. Sekalipun pun itu didorong oleh ghairah yang besar terhadap agama. Jika hal itu muncul dari orang awam, masih bisa dimengerti , tetapi bila muncul dari kalangan intelektual yang mereka sendiri suka menampakan diri kedalam kelompok ulil-albab sungguh musyikil bin ajaib.

Sedangkan islam sendiri, seperti tampak dalam banyak nash-nya sangat menganjurkan sikap i’tidak , qisth, atau jejeg, tidak berlebihan. Suatu sikap yang memerlukan kontrol akal sehat. Untuk itu, perlu kiranya akal sehat senantiasa kita dekatkan pada ghairah agar nafsu tidak menghegemoni diri kita.

Penulis, Soe Darnan Adji

Penggiat Universitas Kehidupan