Ideologi Marhaenisme, Warisan Bung Karno
Oleh: Aryan Narendra
KilatNews.Co – Nama sang Proklamator sekaligus Presiden pertama republik Indonesia, Soekarno, memang selalu harum hingga kapanpun. Pribadi berani nan elegan itu berdiri paling depan, membela bangsanya yang kala itu masih berada di bawah jajahan negeri Ratu Wilhelmina.
Sebagai seorang pemikir yang ulung, Bung Karno memiliki pemahaman dan ajaran yang kemudian ditularkan kepada anak bangsa lainnya. Salah satu ajaran yang kemudian menjadi ideologi, dan ramai diperbincangkan adalah marhaenisme. Kala itu, marhaenisme diperkenalkan Soekarno dalam pleidoi miliknya di tahun 1930. Lambat laun, ideologi ini lantas ia gunakan untuk partai besutannya kala itu, PNI (Partai Nasional Indonesia).
Menurut jurnal yang dikeluarkan UNS, marhaenisme adalah hasil dari pemikiran Soekarno yang kemudian dirumuskannya, dan diyakini orang banyak. Marhaenisme merupakan cerminan terbaik dari Pancasila. Prinsip yang ada di dalam ideologi ini adalah sosio demokrasi dan sosio nasionalisme.
Baca Juga:
Sosio dekmokrasi ada sebagai bentuk munculnya demokrasi barat, yang dianggap Soekarno bersifat liberalis. Padahal, pergerakan rakyat marhaen diakibatkan karena kemelaratan, dan keinginan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, sosio nasionalisme menggambarkan kaum marhaen yang ingin melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan kapitalisme.
Petani Miskin, Inspirasi Proklamator
Usut punya usut, istilah marhaenisme ditemukan Soekarno saat berjumpa dengan seorang petani miskin di Bandung bernama Marhaen, atau kang Marhaen, di sekitaran tahun 1920an.
Marhaenisme memang dipilih Soekarno untuk menggambarkan perjuangan rakyat kecil yang rata-rata berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh dan pedagang. Asal-usul “penemuan” Marhaenisme adalah salah satu cerita yang membentuk citra Sukarno sebagai pemimpin.
Membicarakan Sukarno tak akan lengkap jika tak menyinggung ideologi rumusannya itu. Sepengakuannya benih-benih Marhaenisme sudah ada di kepalanya sejak umurnya 20-an tahun. Hanya saja, benih itu belum bisa ia rumuskan dalam pemikiran yang padu atau gerakan kongkret. Sebermula adalah pengamatan pada lingkungan sekelilingnya. Sebagian besar penduduk kepulauan Hindia Timur adalah para pekerja kecil. Kendati demikian, mereka memiliki alat produksi sendiri. Seorang kusir memiliki dokar dan kuda, seorang petani punya petak sawah, seperti juga nelayan punya pancing, jala, dan perahu miliknya sendiri.
Baca Juga:
Mewarisi Api Sejarah: Memahami Ideologi Marhaenisme ‘Out of Date’ di Zaman Sekarang
Tapi alat produksi itu sedemikian kecil sehingga hanya cukup untuk sekadar menopang hidup. Terlalu kecil untuk bisa menaikkan harkat sosial, politik, atau ekonomi. Jadi, menurut Sukarno mereka bukan proletar sebagaimana sering disebut para aktivis komunis kala itu. “Mereka memiliki ciri-ciri tersendiri. Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk stereotip yang telah dikenal. Jadi, siapa mereka ini?” renung Sukarno sebagaimana ia ceritakan dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 73) yang ditulis Cindy Adams.
Pikiran itu mengendap di kepalanya sekian lama. Tapi akhirnya, pemecahan atas pertanyaan itu tidak ia dapat dari telaah ilmiah atau diskusi dengan kawan-kawan aktivisnya. Jawabannya ia dapat justru ketika bolos kuliah seraya bersepeda tak tentu arah keliling Bandung. Usai mengayuh pedal beberapa jauh, ia sampai di suatu persawahan di selatan Bandung. Si Bung Besar berhenti mengayuh dan perhatiannya tertumbuk pada sosok petani berbaju lusuh yang sedang mencangkul sendirian di sebuah petak sawah. Setelah mengamatinya beberapa jenak, Sukarno mengajaknya baku cakap.
“Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Sukarno dalam bahasa Sunda.
“Saya, juragan.”
“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“O, tidak, ‘gan. Saya memilikinya sendiri.”
“Apakah kau membeli tanah ini?”
“Tidak. Itu turun-temurun diwariskan dari orang tua kepada anaknya.”
Persis benar dengan angan Sukarno selama ini: seorang pekerja kecil yang memiliki alat produksi sendiri. Tak sekadar petak sawah kecil, si petani juga memiliki sendiri cangkul dan bajak untuk mengolahnya. Semua itu adalah seluruh daya yang ia punya untuk menghidupi seorang istri, dan empat anaknya yang tinggal di rumah gubuk nan menyedihkan. Cukupkah?
“Bagaimana mungkin sawah yang begini sempit bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang isteri dan empat anak?” jawab si petani dengan nada kecewa.
Begitulah dan percakapan itu berakhir. Sebelum undur diri Sukarno sempat menanyai siapa namanya. Si petani menjawab singkat: Marhaen.
“Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen,” tutur Sukarno.
Sukarno menghabiskan sisa hari itu dengan bersepeda mengitari Bandung. Sepanjang jalan ia terus berpikir menyusun keping-keping pemikiran yang selama ini tersumbat di benaknya. Hasilnya, tiada lain, adalah apa yang dengan bangga ia sebut Marhaenisme.
Aryan Narendra. Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bung Karno, Jakarta