Hukum, Etika dan Moral
Oleh : Fahrur Rozi
Kilatnews.co- Saya sengaja mengambil tajuk komparatif saat ini. Mengingat entitas hukum, etika dan moral sebagai prinsip dan nilai hidup sangat dekat, sedekat nadi dalam diri kita. Namun padanan ketiganya sangat mengkristal, melupakan ranah otoritas substansial di dalamnya, meliputi epistimologi, karakteristik, orientatif dan nilai kegunaannya. Bersamaan dengan kristalisasi itu, saya rasa perlu menguraikan secara deskriptif-personifikatif bagaimana ketiganya berafielasi dalam hidup keseharian.
Semantik Hukum, Etika dan Moral
Keakuratan semantik (semiotika) dalam menggambarkan suatu prinsip keilmuan sangtlah penting. Kekacauannya menunjukkan absurditas berfikir. Semantik menunjukkan tingkat disiplin pengetahuan analitik yang ditempuh. Banyak kekecauan berfikir bermula dari sini.
Hukum, secara sepintas mungkin alur pikiran kita didikte pada serangkaian aturan pemerintah yang kerap kali memicu ketidakpatuhan atau kontroversial, dan pastinya bermuara di pengadilan. Pemahaman demikian tidak ubahnya dengan onani keilmuan yang mengeksplorasi pemaknaan hukum melalui keadaan yang bercampur aduk dengan dinamika di luarnya. Di sini, hukum hanya terbatas pada seonggok istilah untuk membatasi masyarakat yang dalangnya sendiri adalah pemerintah (legislatif). Padahal tidak demikian.
Dalam banyak rekam jejak sejarah, banyak pemikir berusaha merumuskan konsep ideal tentang hukum, seperti Immanual Kant, Karl Von Savigny dan Soejono Soekanto. Ada pula yang menyatakan keninsbian dalam merumuskan konsep hukum yang begitu luas dan universal. Kenyataan membuat kita tidak akan pernah sampai dalam rumusan yang final tentang hukum. Seperti Van Apeldroon mengatakan hukum sebagai multidimensional yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan. Perumusan konsep hukum hanya akan menyusahkan dan menyesatkan.
Namun, dari pendapat tokoh di atas, saya mencoba mengasosiasinya dalam bentuk yang sistematis bahwa hukum adalah sub-sistem—bagian dari pembentuk sistem—yang memuat prinsip keteraturan dalam mengatur kebebasan dan pemenuhan terhadap hak dasar kemanusiaan. Menjadi keseluruhan syarat bagi perwujudan hak di antara kebebasan yang satu dan kebebasan yang lain.
Hukum mengakomudir prinsip, nilai dan norma dalam setiap lini kehidupan manusia secara legal-formal melalui lembaga-lembaga yang disahkan. Sifatnya yang realistis akan terus menyesuaikan dengan dinamika perubahan yang ada.
Moral dan etika. Sengaja saya membahas keduanya secara bersamaan karena susah untuk membedakan keduanya. Moral dan etika tidak ubahnya dua mata sisi uang. Bertemu dalam satu prinsip penilaian baik-buruknya suatu tindakan. Keduanya sering terlontar melalui ungkapan sehari-hari ketika mendeskripsikan perilaku seseorang, “Perilaku amoral (demoralisasi)” atau “tindakan etis”. Kenyataan bahwa moral dan etika memiliki kesamaan sebagai suatu “prinsip menilai” yang secara kultural melembaga dalam tatanan masyarakat—objeknya adalah perbuatan, menjadi ukuran baik dan buruk serta tujuannya untuk membentuk kepribadian.
Baca Juga: Cacat Hukum RTA Rayon Asrham Bangsa
Dalam perkembangannya, kajian keilmuan tetap membedakan kedua istilah tersebut, baik fleksibelitas juga penggunannya. Dalam pembedaan pertama, jangkauan konteks etika lebih luas dari pada moral. Seseorang memberikan pernyataan “baik” atau “buruk” terhadap suatu perilaku—terlepas dari pandangan di luarnya—dikatakan sebagai moral. Sedangkan etika menilai suatu tindakan berdasar pada patokan nilai umum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Moral bersifat subjektif perorangan yang memungkinkan munculnya pertentangan, sedangkan etika bersifat objektif mengacu pada kerangka umum yang berlaku sehingga menjadi penilaian yang utuh dan menyeluruh.
Pembedaan kedua melalui konteks penggunaan. Moral dilihat sebagai sistem sosial (kaidah) kemasyarakatan di mana setiap perilaku mengacu padanya sebelum ditetapkan nilai baik dan buruk. Moral menjadi dogma pedoman yang mengindikasikan moral dan imoralnya tindakan. Sedangkan etika adalah suatu prinsip “nilai baik” yang diproyeksikan melalui tindakan. Etika mewujud tindakan itu sendiri sebagai tatanan yang baik. Sesorang bertindak berdasar pada asas-asas etis, maka tindakannya itu sebagai perbuatan yang beretika.
Konteks Kausalitas
Hukum dan hubungannya dengan prinsip etik-moral menjadi suatu keharusan. Padanan ketiganya sesama prinsip “mengatur” terdiri dari, di mana hukum sebagai aturan yang disahkan legal-formal mengacu pada moralitas-ke-etis-an dalam perwujudannya. Eksistensi etik-moral bernilai absolut dimurnikan dari unsur nilai kepentingan di luarnya. Hukum diarahkan pada nilai tersebut. Hukum yang baik berasaskan moralitas dan menciptakan dinamika perbuatan bernuansakan nilai etis. Begitu pula sebaliknya.
Kita ambil contoh personifikasi hukum sebagai nilai mutlak di negeri nan jauh di sana, Amerika Serikat. Kasus ketidakpatuhan sipil, perang Vietnam, pendidikan wajib militer dan segregasi kulit hitam menjadi contoh keseharian dari pentingnya relasi kausalitas “hukum bermoral”.
Howard Zinn seorang sejarawan AS menguraikan kekacauan berfikir terhadap entitas hukum yang dipandang sebagai sistem mutlak untuk menakar kebebasan. Di saat Abe Fortas, seorang Hakim Mahkamah Agung AS memberikan catatan berupa booklet terhadap ketidakpatuhan sipil sebagai pemberontakan dan pengkhianatan. Nilai intrinsik hukum dihadirkan oleh Howard Zinn sebagai tanggapannya.
Bahwa, “ketidakpatuhan sipil dapat mengisi kebutuhan fundamental dalam sistem perpolitikan (hukum) yang terbiasa menghitung kepala”. Ketidakpatuhan sipil timbul dari ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Dari sudut ini masyarakat mengekspresikan moralitas hukum—bahwa hukum memiliki nilai intrinsik moralitas, yakni keadilan. Hukum yang mencakup suatu bangsa (yurisdiksi) dengan wajah kepentingan bersama, perumusannya harus benar-benar kontekstual sesuai kebutuhan dan relatif menyesuaikan agar penerapannya tidak kaku.
Kita membayangkan ada seseorang menghalang laju kereta militer AS berangkat perang Vietnam atau pembakaran kartu wajib militer dilihat sebagai perbuatan melawan hukum. Orang bersangkutan pantas mendapat sanksi yang setimpal atas pelanggarannya. Kemudian, pernahkah kita berfikir ada nilai etik-moral dibaliknnya? bahwa orang itu telah berkesempatan—meski hukuman yang didapat—mencegah terjadinya pembunuhan massal akibat kepentingan nasional? bahwa pembakaran kartu wajib militer untuk mengurangi pendistribusian militer dalam arena perang?
Perlunya hukum yang berasaskan moralitas dan tujuan etis perlu ditinjau secara berulang-ulang agar asas lain tidak berkesempatan menyetubuhinya. Dari kasus pembakaran tadi, tujuan awal hukum dapat diterima atas nama pengamanan negara dan bangsa itu sendiri secara personal. Salahnya, ketika tujuan hukum dimaksud bermutasi pada arogansi penguasaan yang menjatuhkan ribuan jiwa dalam satu medan.
Dari sini, bahwa hukum, etika dan moral menjadi satu-kesatuan sistem sosial yang memuat nilai keteraturan (order) dalam membatasi kepentingan dan menakar kebebasan. Moralitas dan atau nilai etis menjadai kaidah kultural dalam mendogmatis tindakan, sedangkan dalam lega formal moral dan etika mewujud hukum melalui sistem dan lembaga yang sah dalam pemerintahan. Sehingga sanksi sosial karena berpaling dari etik-moral bisa direalisasikan dalam bentuk norma hukum. Demikian harusnya hukum berlaku. Tak terkecualikan di negara Indonesia!
Fahrur Rozi. Penulis adalah mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Aktif di Distrik HTN