Beberapa Istilah Yang Perlu Diperhatikan Oleh Para Penulis Di Media Sosial

Beberapa Istilah Yang Perlu Diperhatikan Oleh Para Penulis Di Media Sosial

Beberapa Istilah Yang Perlu Diperhatikan Oleh Para Penulis Di Media Sosial

Oleh : Ali Akhbar Abaib Mas Rabbani Lubis, M.H


Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh para penulis di media sosial (seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya), agar tidak terjerat hukum yang mengarah pada hate speech (ujaran kebencian), ialah paham dasar perbedaan antara provokasi, persuasi, dan riset.

Saya akan mengulas ini secara mendasar agar para pegiat literasi tidak terjebak oleh Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU dan/atau Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE, isinya:

Pasal 45A ayat (2)

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau oermusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Pasal 28 ayat (2)

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasar atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Pasal 45 ayat (3)

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hal mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan l/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 27 ayat (3)

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hal mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Provokasi, Persuasi, dan Riset

Ketentuan di atas, lebih mengarah pada individu atau kelompok yang menyebarkan informasi berupa tulisan, gambar, video, suara yang berbau provokasi. Namun, jika informasi yang disebarkan, ialah hasil dari riset atau persuasi, maka tidak ada hubungannya dengan pasal di atas. Misalkan, ada yang merespon informasi tersebut dengan nada kebencian atau permusuhan, hasilnya adalah informasi yang disebarkan ialah satu hal, karena bukan tulisannya yang bernuansa sentimen belaka dan lain hal yang merespon tulisan dengan nuansa sentimen belaka.

Agar menjadi lebih jelas, saya akan memberikan penjelasan tentang perbedaan ketiga istilah tersebut.

Pertama, provokasi secara umum ialah perbuatan mengajak seseorang atau kelompok masyarakat untuk membangkitkan kemarahan, baik itu dengan tindakan menghasut atau pancingan yang intinya mencari sebab perkelahian.

Kedua, persuasi ialah perbuatan mengajak seseorang atau kelompok masyarakat dengan cara memberikan alasan dan prospek baik yang dapat meyakinkan. Namun jika melalui tulisan, maka tujuannya ialah untuk membuktikan pendapat.

Ketiga, riset ialah perbuatan dengan cara menyelidiki atau meneliti suatu masalah secara bersistem, kritis dan ilmiah, juga meningkatkan pengetahuan dan pengertian.

Penjelasan di atas, cukup jelas menentukan untuk apa informasi yang kita sebarkan. Kemudian kemana duduk perkara informasi yang kita sampaikan? Dari sini, kita perlu menempatkan informasi yang disebarkan, agar bisa dibubungkan dengan penjelasan di atas. Seperti misalnya, informasi yang disebarkan berbau isu akan berbeda dengan informasi ilmiah (atau populer ilmiah), bahkan khayal.

Isu, Ilmiah, dan Khayal

Kadang kita juga keliru dalam memberikan jembatan perbedaan informasi yang disebarkan itu ialah isu yang kemudian narasi yang  dibangun lebih kepada pertimbangan perasaan yang berlebih-lebihan (kadang menuduh), atau bertentangan dengan pertimbangan pikiran (sentimen).

Baca Juga:

Dinamika Kemanusiaan di Era New Normal

Begitu juga dengan informasi yang disebarkan itu ialah ilmiah (atau populer ilmiah), yang kemudian narasi yang dibangun lebih kepada pertimbangan penyelidikan atau penelitian masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah (riset). Lain halnya informasi yang disebarkan itu ialah khayal yang kemudian narasi yang dibangun lebih kepada pertimbangan imajinasi atau fiksi (juga zaman sekarang dikenal istilah “halu” atau halusinasi).

Nah, agar menjadi lebih jelasnya lagi saya akan berikan perbedaan ketiga istilah tersebut.

Pertama, isu ialah kabar yang tidak jelas asal-usulnya dan tidak terjamin kebenarannya. Karena itu isu lebih mengedepankan masalah yang bersumber dari kabar angin atau desa-desus.

Kedua, ilmiah ialah ilmu yang memenuhi syarat seperti kaidah ilmu pengetahuan, seperi logis, sistematis, berdasar fakta, dan rasional (berdasar pada teori dan metodologi).

Ketiga, khayal ialah angan-angan, fantasi, halusinansi, imajinasi, fiksi dan lainnya. Biasanya informasi yang disebarkan berupa dongeng si kancil, cerita untuk anak-anak, dan lainnya yang lebih memgaktifkan imajinasi atau daya khayal.

Duduk perkara ini yang harus diperhatikan oleh pegiat media sosial, agar dapat menginterkoneksikan antara keresahan yang penulis tuangkan dengan pertanggungjawaban secara ilmiah, dan batas-batas penyampaian ekspresi yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika informasi yang disampaikan ialah provokasi, dan narasinya ialah isu sentimen SARA, maka Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE menjerat penulis.

Namun, jika informasi yang disebarkan ialah menyerang kehormatan seseorang dengan cara menuduh tanpa bukti, karena hanya memuat informasi berdasarkan isu sentimen belaka, maka Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjerat penulis.

Berbeda halnya dengan penulis yang menyebarkan informasinya hasil riset dan persuasi, sehingga narasi yang disampaikan bermuatan ilmiah yang dapat dibuktikan. Sehingga dalam hal ini, penulis akan selamat dari ancaman Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Penulis, Ali Akhbar Abaib Mas Rabbani Lubis, M.H

Peneliti sekaligus Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga