Tiga Arah: Kebijakan Lockdown Dipolitisir?

Narasi Bipang di antara Mental Birokrat Milenial dan Kolonial

Kilatnews.co – Kasus Coronavirus (Covid-19) semakin melonjok setiap hari. Dalam catatan Kementerian Kesehatan; per hari lonjakan kasus positif berkisar antara 20000 hingga 24000 jiwa–dengan rate angka kematian 0,6 % (Baca: Kemenkes, 2021). Ada banyak spekulasi, lonjakan kasus ini karena penyebaran Covid-19 baru varian Delta.

Jumlah kasus ini menjadi bom waktu bagi bangsa Indonesia yang sedang gencar melakukan vaksinasi secara nasional. Pemerintah memang telah menargetkan 80% penduduknya divaksin, maka herd imunity akan tercapai. Angka capaian vaksinasi yang telah dilakukan baru berkisar 20%; dan itupun baru menyasar keluster utama seperti Tenaga Medis, Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, dan pegawai formal lainnya. Jumlah target vaksinasi ini masih jauh panggang dari api ketika serangan varian baru masuk di negeri ini.

Case by case korban serangan Covid-19 terus berjatuhan, berguguran, dan bertaburan karena kekurangan alat medis. Tampak pula, ketika kita membaca WhatsApp Group, Facebook, Instagram, dan media sosial lain, hampir setiap hari menyaksikan kabar “duka”, orang meninggal dunia. Fenomena ini terus berlanjut dengan media mainstream juga memberitakan kabar yang seolah badai serangan itu kian nyata.

“Kita sebagai human harus tetap berhati-hati, jaga jarak, dan tetap menjalankan Protokol Kesehatan (Prokes). Itu semua ada di pelupuk mata bahkan lingkungan di sekitar tempat tinggal terus diintai virus varian baru ini”

Akhirnya, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat selama tiga minggu, yakni 3-20 Juli 2021. Presiden Jokowi telah menunjuk, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, sebagai komandannya. Kebijakan ini diberlakukan untuk pulau Jawa dan Bali, dengan asumsi dapat menurunkan angka penyebaran Covid-19. Dampak kebijakan ini membuat aktivitas kegiatan masyarakat mulai dari penutupan tempat ibadah, sekolah, universitas, dan institusi negara lain harus mematuhi aturan tersebut.

Sejak kebijakan diberlakukan, apa yang terjadi?

Saya dapat memetakan tiga arah implementatif kebijakan dari Policy Beneficiary.

Pertama, audien dari kelompok yang pro kebijakan dengan basis electoral vote di pemilihan presiden tahun 2019. Kelompok ini melakukan propaganda media dengan menyuarakan kepentingan negara untuk melindungi warganya. Mereka secara ‘getol’ memberikan pencerahan, penenangan, dan peredaman kepada masyarakat untuk tetap semangat menghadapi perang untuk melawan Covid-19.

Kedua, audien kebijakan yang memang ‘tidak’ suka dengan Presiden Jokowi sehingga mereka melakukan propaganda politik untuk menangkal kebijakan tersebut. Secara elegan, mereka memanfaatkan media sosial untuk mempengaruhi massa agar memicu untrust kepada pemerintah. Bahkan, kini sedang viral dijagad Twitter dengan sebuah plesetan PPKM dengan sebutan “Pak Presiden Kapan Mundur?”. Ketiga, kelompok silent minority yang secara massa sesungguhnya mereka adalah mayoritas.

Peta policy beneficiary menarik kita ulas. Ambang kepercayaan kepada pemerintah telah memasuki fase new term political will karena sedang menghadapi momentum politik 2024. Kelompok oposisi dan pribadi kepentingan untuk meraup kekuasaan di tahun 2024 sulit untuk dibedakan. Hal ini telah memicu perdebatan publik yang tidak berkesudahan. Coba kita bayangkan! Siapa yang menyebarkan hoax dan fakta di media sosial? Jika mau jujur, itu bukan generasi milenial, namun kelompok tertentu yang hendak memecah suara massa. Generasi milenial itu cenderung apatis terhadap sikap politik. Bahkan mereka akan sering mengunjungi kontens-kontens kreatif yang hanya menguntungkan bagi dirinya.

Di sini, mari kita renungkan, mengapa isu Covid-19 itu semakin genting? Terlepas benar atau salah, pemerintah telah mengularkan kebijakan PPKM, yang pasti ada satu terma yang hilang dalam penyampaian informasi, atau lebih tepatnya disinformation. Pemerintah tidak tegas dan jujur dalam pemberlakuan kebijakan PPKM. Mengapa? Karena, faktanya, masyarakat acuh, abai, bahkan tidak menggubris apa yang telah pemerintah keluarkan kebijakan tersebut. Ini terjadi karena informasi antara kelompok oposisi, pro, dan silent minority tidak berimbang dalam mengcounter isu-isu Covid-19. Apalagi ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa Covid-19 ini merupakan bagian dari konspirasi global.

Untuk itu, dalam menyikapi sisi gelap fenomena Covid-19 ini, kita sebagai kelompok silent minority harus rising-up going to public untuk memberikan sebuah pencerahan baru bahwa Covid-19 itu nyata. Oleh karena itu, sebagai masyarakat kita wajib mematuhi Protokol Kesehatan yang sudah menjadi bagian dari pandemic. Ada banyak analis menyebutkan bahwa Covid-19 tidak akan hilang hingga 10 tahun ke depan.

Namun perlu kita sadari bahwa hidup bersih dan sehat adalah jalan lain yang bisa dilakukan dan disadari bersama ketika kita bekerja di luar rumah. Pilihan lockdown ini memang pil pahit, sebagai kewajiban negara untuk melindungi warganya. Akan tetapi, jika tidak kita mulai dari diri sendiri maka kebijakan apapun tidak akan berhasil. Walhu’alam!

Penulis, Ahmad Izudin

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta