Oleh: Muhammad Shohibul Ihsan
[Mahasiswa Program Doktor Pendidikan IPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta]
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia pendidikan mengalami berbagai tantangan dan perubahan yang signifikan. Globalisasi, kemajuan teknologi dan arus informasi yang tak terbendung telah membentuk paradigma pendidikan baru yang dinamakan “pendidikan modern”. Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, muncul kegelisahan intelektual ke mana arah pendidikan kita akan dibawa? Apakah pendidikan hanya akan mencetak manusia yang pandai bekerja, atau juga manusia yang bijak memahami kehidupan? Di tengah perubahan yang serba cepat dan dunia yang kian terfragmentasi oleh kepentingan, pendidikan kita perlu kembali pada nilai-nilai yang meneguhkan bahwa belajar bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga pendidikan yang mengajarkan keseimbangan antara nalar dan nurani, antara kemajuan dan kearifan.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.Berdasarkan hasil penelitian dari Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan ISEAS (Institute of South Asian Studies) terdapat sekitar 633 suku yang diperoleh dari pengelompokan suku dan sub suku yang ada di Indonesia. Keragaman budaya, suku bangsa, ras, etnis, agama, maupun bahasa daerah menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Di balik kekayaan ini tersimpan harta intelektual berupa pengetahuan lokal, sistem nilai, dan kearifan yang diwariskan turun-temurun. Sayangnya, pembelajaran kita masih sering mengabaikan warisan ini, seolah ilmu pengetahuan diajarkan apabila bersumber dari buku-buku Barat. Padahal, pengetahuan lokal adalah bentuk ilmu yang lahir dari interaksi manusia dengan alam, budaya, dan spiritualitasnya sendiri.
Di sinilah etnosains menemukan relevansinya, etnosains bukan sekadar mengenalkan tradisi leluhur, tetapi menghubungkan sains modern dengan nilai-nilai kemanusiaan dan cinta terhadap kehidupan sosial budaya, pengintegrasian Etnosains membantu siswa memahami konsep-konsep ilmiah melalui lensa budaya mereka sendiri. Misalnya, suku sasak memiliki tradisi “merarik”. Tradisi ini relevansinya sangat kuat dengan teori ikatan kimia. Filosofi dan prinsip dasar merarik yakni konsep saling membutuhkan melalui serah terima antara pihak laki-laki dan perempuan yang disahkan melalui ikatan pernikahan (merarik). Konsep saling membutuhkan dalam konteks pembelajaran kimia yaitu melalui serah terima pasangan elektron untuk mencapai kestabilan merupakan konsep yang mendasari terbentuknya ikatan kimia seperti konsep konfigurasi elektron, konsepnya ion positif dan ion negatif, ikatan ionik, ikatan kovalen polar, ikatan kovalen non polar dan teori pembentukan ikatan kimia.
Membawa etnosains ke ruang kelas, menghadirkan kembali hubungan antara kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Siswa belajar Kimia tidak lagi sebagai kumpulan rumus yang kaku, melainkan sebagai cara untuk memahami kehidupan dari pengalamannya sendiri. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai penghayat nilai, peran guru bukan sekadar transfer materi, melainkan penenun makna yang menghubungkan siswa dengan realitas kehidupan dan budaya mereka sendiri sehingga pengalaman dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai inti dalam proses pembelajaran untuk menghasilkan generasi yang berkaratkter cinta kepada alam, cinta budaya, cinta sesama manusia dan cinta terhdap tanah air.
Lebih dari itu, etnosains juga memiliki peran strategis dalam membangun pendidikan yang lebih berhati. Melalui etnosains yang berakar pada nilai-nilai lokal dan kesadaran ekologis, pendidikan dapat menjadi ruang pembentukan karakter yang utuh untuk mengasah intelektual, menguatkan moral dan menumbuhkan empati. Kadang kita kerap berbicara tentang kecerdasan intelektual, tetapi melupakan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual justru menjadi dasar bagi kemanusiaan. Seperti amanat kurikulum cinta, pembelajaran diharapkan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki iman yang kokoh dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Etnosains mengembalikan dimensi itu dengan cara yang alami melalui rasa syukur pada bumi, penghargaan terhadap leluhur dan kesadaran bahwa pengetahuan adalah warisan yang harus dijaga bersama.
Dari perspektif filsafat ilmu, etnosains mengingatkan kita pada hakikat pengetahuan sebagai upaya manusia mencari kebenaran yang bermakna. Filsafat ilmu tidak hanya berbicara tentang bagaimana pengetahuan diperoleh (epistemologi), tetapi juga untuk apa pengetahuan itu digunakan (aksiologi). Ilmu yang sejati harus berpihak pada kemanusiaan. Etnosains sekaligus menjadi wujud nyata dari dekolonisasi ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk membebaskan pendidikan dari ketergantungan pada paradigma tunggal yang seringkali mengabaikan konteks lokal. Dengan memadukan filsafat ilmu dan etnosains, kita membangun pendidikan yang tidak sekadar meniru, tetapi mencipta dan memaknai; pendidikan yang tidak hanya mengejar kemajuan, tetapi juga menjaga warisan budaya dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran.





