Dokumen Kependudukan: Hak Konstitusional Warga Negara

Oleh : Nur Rohman

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Dokumen Kependudukan: Hak Konstitusional Warga Negara

Kilatnews.co – Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Sebagaimana telah disebutkan secara tegas dalam pasal 1 ayat (3) UUD’45. Konsekuensi logis dari hal itu yakni asas legalitas selalu diterapkan, termasuk dalam bidang kependudukan. Dimata negara, eksistensi sebagai warga negara, baik anak-anak, remaja maupun dewasa dapat diakui apabilamemiliki dokumen kependudukan. Peristiwa hukum kelahiran, pernikahan bahkan kematian warga negara haruslah terctatat dalam dokumen negara.

Sayangnya permasalahan dokumen kependudukan tersebut masih banya terjadi. Sebut saja terkait dengandokumen akta kelahiran bagi anak-anak. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan terdapat 11,18persen atau sebanyak 8.909.892,  anak masih belum memiliki akte lahir. Sudah barang tentu akibat tidak memilik akta kelahiran akan menimbulkan masalah kedepannya bagi anak-anak tersebut. Misalnya saja terkait dengan hak pendidikan, kesehatan, hak pelayanan publik lainnya yang sangat vital dibutuhkan bagi perkembangan dan masa depan anak-anak.

Selain itu ada juga sebuah gejala yaitu banyaknya pasangan menikah dan tidak memiliki akta nikah— banyak warga negara yang sudah cukup umur tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Permasalahan kepemilikan dokumen kependudukan tentunya bagi sebagian orang,  mungkin dianggap permasalahan yang sepele dan dianggap masih mudah untuk diurus. Akan tetapi, bagi kalangan kelompok marjinal (pengemis, anak jalanan) akan mengalami kesulitan untuk bisa mendapatkan akses kepemilikan dokumen kependudukan yang sudah menjadi hak konstitusionalnya.

Kesulitan kalangan kelompok marjinal untuk mendapatkan akses kepemilikan dokumen kependudukan tersebut. Salah satunya, terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta.  Kendala yang kerap kali dihadapi kelompok marjinal untuk mendapatkan akses dokumen kependudukan. Pertama, disebabkan oleh birokrasi pemerintahannya yang bertele-tele. Kedua, perspektif masyarakat itu sendiri dan jajaran perangkat birokrasi pemerintah desa yang menganggap kelompok marjinal sebagai sampah bagi masyarakat. Akibatnya, pemerintah desa engganmemberikan surat pengatar untuk mendapatkan SKOT yang menjadi surat penting untuk mendapatkan NIK dan mengurus dokumen-dokumen kependudukan lainnya.

Kendati memiliki dokumen kependudukan bagi kelompok marjinal (rentan) itu sudah dijamin oleh Konstitusi. Dan secara teknis sudah diatur didalam UU No 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pendataan dan Penertiban Dokumen Kependudukan Bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2018 Tentang Tata Cara dan Prasyarat Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Persoalan dokumen kependudukan kelompok marjinal ini harus segera dipikirkan dan diselesaikan secepatnya oleh pemerintah. Pemerintah tidak bisa menutup mata terkait dengan persoalan yang sedang dihadapi kelompok marjinal tersebut. Pada nafas ini, mereka tidak hanya dikucilkan secara sosial, namun juga dikucilkan oleh negara, kalau negara masih berdiam diri dan menutup mata atas persoalan yang sedang mereka hadapi.

Kelompok marjinal ini tidak bisa berbuat banyak, seluruh akses untuk dirinya seakan-akan semuanya sudah tertutup rapat. Tak ayal, mereka hanya bisa meratapi nasib, hidup seakan-akan berakhir besok. Hanya hadirnya negara yang dapat membangkitkan harapan mereka untuk hari esok yang lebih baik. Sudah seharusnya negara hadir untuk memberikan pelayanan yang baik kepada mereka sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara.

Oleh karena itu, setiap birokrasi harus membuka akses terhadap kalangan marjinal. Birokrasi jangan melihatnya kelompok marjinal ini sebagai warga negara kelas dua. Sudah seharusnya mereka dilayani sama halnya ketika birokrasi melayani warga negara kelas satu (Konglomerat). Pelayanan demikianlah yang diharapkan agar asas asas equality before the law, benar-benar dapat ditegakan setegak-tegaknya agar kesan buruk birokrasi yang kerap membeda-bedakan dapat diminimalisir.


Nur Rohman. Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)

Reporter: KilatNews