Hari Guru Nasional, Strategi Tiga Kaki: Keluarga, Sekolah dan Masyarakat.
Kilatnews.co – Pemberitaan dinamika politik di Indonesia belakangan ini terasa semakin “panas”. Adakah yang berpikir akan ekses negatif terhadap pertumbuhan anak? Apa kira-kira pendapat anak? Atau bagaimana memberi jawaban atas pertanyaan anak dan menjelaskannya? Hal ini bukan tidak mungkin, karena pasti mereka mengetahui, melihat dan tinggal soal waktu mereka akan meniru.
Maka dari itu berhati-hati dan bijaklah di setiap ucapan dan tindakan kita. Apa yang kita ajarkan dan contohkan, itulah yang diserap anak. Dari sisi pendidikan jika melihat atau mendapatkan pemberitaan soal kenakalan anak, maka tudingan utama ditujukan kepada pihak sekolah. Sekolah dianggap lalai atau bahkan gagal mendidik ataupun menjadikan siswa sebagai anak yang berkarakter baik.
Banyaknya kasus kenakalan anak tentu membuat prihatin. Namun sebagai pendidik diharap lebih bijak sebelum mengambil keputusan siapa yang salah? Siswa atau anak pada dasarnya hanya meniru dari apa yang ia lihat, dengar maupun rasakan. Tidak sedikit media-media yang menyajikan adegan yang kurang pantas dilihat atau ditonton anak, namun celakanya anak dapat dengan mudah mengaksesnya.
Baik itu tayangan berita di televisi, sinetron, komedi, bahkan film kartun banyak sekali mengandung unsur kekerasan, dan anehnya hal tersebut dianggap sebagai lelucon. Semakin mendapat kekerasan, olok-olok, ledekan si tokoh komedi ataupun kartun, maka si anak semakin senang. Demikian pula dengan game online yang bisa banyak dijumpai di mana-mana.
Anak zaman sekarang sudah tidak asing dengan game orang dewasa, entah itu pergi ke play station, game zone, ataupun cukup membuka handphone nya sendiri. Anak dengan mudah mendownload sendiri jenis-jenis game dewasa yang diinginkannya. Sementara itu orangtua mengaku merasa sulit mengontrol anak-anak mereka, karena mereka tidak mungkin menjaga anak-anak 24 jam seharinya.
Di saat itu pula lah anak-anak sering mencuri-curi membuka online. Di sisi lain, masih adanya budaya kekerasan di lingkungan masyarakat yang dapat disaksikan langsung oleh anak usia dini. Tidak hanya oleh masyarakat, bahan oleh orangtua atau saudara sendiri di lingkungan rumah. Juga tidak sedikit anak-anak yang mengalami langsung kekerasan oleh masyarakat, orangtua atau temannya sendiri.
Seluruh kejadian yang ia saksikan kemudian akan direkam dalam memori anak, dan elak akan membekas sangat dalam. Anak usia dini sangat mudah merekam apapun yang ia lihat, dengar dan rasakan. Pada akhirnya selain menjadi trauma, atau Si Anak akan meniru. Sebagai bangsa Timur yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran serta memiliki ideologi Pancasila, tentu apa yang sedang dialami anak-anak seperti di atas sudah tidak sesuai.
Bangsa Indonesia bukanlah bangsa Barat yang memiliki kebebasan tidak terbatas. Para pejuang dan pendiri bangsa telah menetapkan bahwa falsafah bangsa kita adalah Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial. Untuk itu, segala tingkah laku pun harus sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual.
Yakni tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural. Kualitas moral dalam kehidupan di kalangan siswa, menuntut diselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah dituntut memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik.
Sekolah juga diharapkan membantu siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu –seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil– dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
Namun demikian, sekolah tidak mungkin mampu bergerak sendiri kecuali adanya kerjasama oleh seluruh komponen pendidikan. Tanggungjawab bersama (pemerintah, sekolah, orangtua dan masyarakat) untuk memperhatikan tumbuh kembang anak sangat diperlukan. Sudah bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Kita harus bahu-membahu menciptakan, menjaga, merawat dan saling mengingatkan pendidikan berkarakter.
Penelitian dan telaah dampak pendidikan karakter pada prestasi akademik telah banyak dilakukan. Salah satu diantaranya dilakukan Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis. Hasil kajiannya menunjukkan, bahwa ada peningkatan motivasi untuk meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang menerapkan pendidikan karakter secara komprehensif menunjukan adanya penurunan secara drastis perilaku negatif yang menghambat keberhasilan akademik. Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depannya.
Dengan emosi yang cerdas, seseorang memiliki peluang besar berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan secara akademis. Hasil kompilasi penelitian Zins (2001) juga menunjukkan, bahwa ada pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dari sederetan faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah, ternyata kegagalan itu bukan terletak pada kecerdasan otak.
Melainkan pada faktor karakter, seperti rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi yang bermasalah. Hasil tersebut juga sejalan pendapat telaah Goleman, bahwa keberhasilan hidup seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak/remaja yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Sebaliknya, anak-anak/remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi baik akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja, seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Dasar pendidikan karakter adalah keluarga. Namun, pendidikan karakter di sekolah juga sangat diperlukan. Sebab, secara faktual kebanyakan orangtua lebih mengutamakan kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Sebagaimana dinyatakan Goleman, bahwa banyak orangtua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak.
Namun, ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Permasalahannya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pemerintah mendorong akan pentingnya pendidikan karakter menjadi masalah yang mengemuka.