OPINI  

Media Kebebasan Ekspresi, Tidak Perlu Regulasi?

Media Kebebasan Ekspresi, Tidak Perlu Regulasi?
Media Kebebasan Ekspresi, Tidak Perlu Regulasi?

KilatNews.co Beberapa waktu yang lalu berhembus kabar bahwa orang terkaya di dunia, Elon Musk, akan membeli media sosial Facebook lalu ditutup. Netizen di seluruh jagad raya dibikin heboh. Bagaimana jika benar Facebook benar ditutup?

Sebagai salah satu platform media sosial yang banyak digunakan, isu Facebook bakal ditutup tentu menjadi berita buruk bagi netizen.

Sebagaimana dikutip dari databoks.katadata.co.id, Youtube menjadi platform yang paling sering digunakan pengguna media sosial di Indonesia berusia 16 hingga 64 tahun. Persentase pengguna yang mengakses Youtube mencapai 88%. Media sosial yang paling sering diakses selanjutnya adalah WhatsAppa sebesar 84%, Facebook sebesar 82%, dan Instagram 79%.

Sebagai informasi, rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk mengakses sosial media selama 3 jam 26 menit. Total pengguna aktif sosial media sebanyak 160 juta atau 59% dari total penduduk Indonesia. 99% pengguna media sosial berselancar melalui ponsel.

Bagaimana dengan Twitter? Tercatat jumlah pengguna aktif harian yang dapat dimonetisasi (monetizable daily active user/MDAU) di Twitter sebanyak 237,8 juta per kuartal II/2022. Angka tersebut naik 16,6% dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Meski jumlah penggunanya meningkat, pendapatan Twitter tercatat sebesar US$1,18 miliar pada kuartal II/2022. Nilai ini turun 0,84% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar US$1,19 miliar. Menurut Twitter, penurunan ini terkait dengan akuisisi Twitter yang tertunda oleh afiliasi Elon Musk.

Selain itu, penurunan tersebut mencerminkan hambatan industri periklanan yang terkait dengan lingkungan makro. Adapun, laporan We Are Social menunjukkan, Indonesia menjadi negara dengan pengguna Twitter terbesar kelima di dunia. Jumlahnya tercatat sebanyak 18,45 juta pengguna pada Januari 2022.

Sedang Amerika tercatat negara dengan pengguna Twitter terbesar disusul Jepang, India, Brazil dan Indonesia di urutan kelima. Selama ini, media sosial dipandang sudah menjadi industri yang menjanjikan dan berpengaruh kepada kehidupan nyata manusia seluruh dunia. Media sosial dapat digunakan untuk menggalang dukungan, dana hingga membuat jaringan untuk kelompok tertentu.

Berkembangnya media sosial merupakan sebuah revolusi teknologi komunikasi yang bisa menguntungkan namun juga memiliki sisi negatif. Lemahnya pengaturan regulasi menjadikan media sosial sebagai ajang berbuat apa saja. Dan memang hal ini pula yang diinginkan Elon Musk, memberi kebebasan berekspresi sebebas-bebasnya bagi pengguna.

Elon Musk tidak menyukai pengelolaan Twitter sebelumnya yang dianggapnya banyak aturan yang membatasi ekspresi netizen. Untuk itu dia langsung memberhentikan CEO Twitter. Elon Musk menekankan Twitter yang jauh lebih terbuka soal kebebasan berbicara. Maka Vijaya (pembuat regulasi) mungkin dianggap sebagai penghalang atas rencananya itu, sehingga ikut dipecat.

Pada intinya Elon Musk sepertinya tidak merasa cocok dengan para petinggi Twitter itu dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka. Terlebih, visi dan misinya untuk Twitter berbeda dari mereka. Perhatikan statemen Elon Must berikut ini.

“Alasanku mengakuisisi Twitter adalah karena penting bagi masa depan peradaban untuk memiliki alun-alun digital bersama, di mana berbagai keyakinan dapat diperdebatkan dengan cara sehat, tanpa menggunakan kekerasan,” tulis Elon Musk mengenai alasannya membeli Twitter.

Netizen +62 sendiri dikenal lemah dalam tingkat kesadaran literasi, dapatkah berdebat secara sehat? Mudah sharing tanpa perlu saring. Suka menghujat, menyalahkan dan menebar kebencian. Bahkan membuat atau produksi konten-konten palsu alias hoax. Semua ini akan lebih longgar dan sepertinya dibiarkan sepanjang Twitter dimiliki Elon Musk.

Pertanyaannya, sudah kah kita lebih dewasa menggunakan media sosial sehingga tidak diperlukan regulasi dan pembatasan berekspresi?