OPINI  

Sastra sebagai Sarana Berpikir Kritis Siswa

Sastra sebagai Sarana Berpikir Kritis Siswa

Sastra sebagai Sarana Berpikir Kritis Siswa

Oleh: Ramanda Oktaviani


KilatNews.Co – Sastra merupakan seni yang indah dan berguna. Sastra memiliki fungsi dulce et utile yang artinya sastra dapat memberikan kenikmatan sekaligus juga memberikan manfaat kepada pembacanya. Maka dari itu, tidak berlebihan apabila sastra dapat membantu kemampuan berpikir kritis manusia.

Kebanyakan orang beranggapan ilmu sastra hanya berupa bacaan penghibur saja, bahkan sastra masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang karena belum bisa menjamin masa depan penggiatnya jika dibandingkan dengan ilmu lain yang sudah jelas arah prospeknya. Padahal sastra memberikan banyak manfaat, dapat berguna di mana saja dalam penerapan sehari-hari apalagi bila diimpelementasikan di sekolah kepada para siswa-siswinya.

Sastra dapat mengasah dan membentuk kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa. Dengan mengakrabi sastra secara sungguh-sungguh, siswa dapat meresapi, memahami, menghayati dan tanpa sadar mengonstruksi sikap dan kepribadian, serta membentuk kemampuan berpikir kritisnya (Nico, 2019).

Baca Juga:

Membentuk Karakter Anak Melalui Sastra Anak

Berpikir kritis merupakan kemampuan yang seharunya dimiliki pada era globalisasi yang berkembang pesat seperti saat ini. Berpikir kritis mampu mengembangkan komunikasi yang baik serta membantu pengambilan keputusan secara bijak dan rasional sesuai dengan fakta.

Kemampuan Berpikir kritis memberikan stimulus kepada otak untuk dapat berpikir secara luas dalam berbagai perspektif. Berpikir kritis menurut Anggelo (1995) merupakan mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses berpikir yang memiliki rangkaian tahapan sedemikian rupa untuk bisa mengevaluasi bacaan sehingga memahami maknanya.

Kemampuan berpikir kritis juga telah menjadi tuntutan untuk para siswa, dalam artian siswa diharapkan dapat memiliki atau mengasah kemampuan berpikir kritisnya untuk menghadapi persoalan yang lebih kompleks. Proses berpikir kritis tentunya berguna dalam kehidupan sehari-hari yang memberikan dampak positif dalam perkembangan siswa. Salah satunya, meningkatkan kepekaan terhadap siswa serta membantu dalam memecahkan suatu masalah.

Namun, jika melihat kenyataannya, kebanyakan siswa di Indonesia belum menyadari pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis sehingga kemampuan berpikir siswa di Indonesia terbilang sangat rendah.

Dalam riset dengan tajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi yang rendah. Sedangkan tingkat literasi pada peringkat yang pertama ditempati oleh Negara Finlandia (hampir 100%). Hal ini menunjukan kurangnya tingkat literasi di Indonesia sehingga berdampak rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa.

Baca Juga:

Pengaruh Sastra dalam Pengembangan Karakter dan Kepribadian Anak

Memikirkan hal yang bukan menjadi perhatian banyak orang untuk melatih kepekaan dalam diri seseorang terhadap lingkungan sekitarnya atau masalah sosial yang tengah dihadapi. Secara tidak langsung sastra mengajarkan kita untuk dapat membuka pikiran dari berbagai sudut pandang masyarakat yang memiliki cakupan luas relevansinya dengan ilmu lain.

Sastra dengan bahasa tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berkaitan, seperti pendapat Sumardjo dan Saini, sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Dalam membuat karya satra tidak semata-mata menuangkan perasaan dan pengalaman saja namun dalam konteks bahasanya diperlukan kata-kata kiasan yang inovatif dan kreatif serta pandai menentukan diksi (pemilihan kata) yang tepat agar memberikan kesan berbeda yang tidak bisa dilupakan oleh para pembaca. Dalam pengembangannya siswa dapat dilatih untuk membuat karya sastra yang nantinya akan mengasah kemampuan kreativitas serta kemampuan berpikir kritisnya.

Keterampilan berbahasa bisa menunjang proses pembelajaran sastra, oleh karena itu keduanya saling berintegrasi untuk bisa mencapai tujuan pembelajaran. Keterampilan berbahasa memiliki empat aspek, antara lain: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Pembelajaran sastra dapat mencakup hal-hal sebagai berikut;

  1. Keterampilan menyimak sastra: mendengarkan pembacaan puisi, cerpen, pementasan drama.
  2. Keterampilan berbicara sastra: mengapresiasi dan mengeskpresi cerpen, novel, mendongeng, berbalas pantun, memerankan tokoh drama.
  3. Keterampilan membaca: membaca sungguh-sungguh suatu karya sastra sehingga dapat memahami makna yang diberikan penulis.
  4. Keterampilan menulis: menulis resensi suatu karya sastra, menulis cerpen, menulis puisi.

Dapat dilihat sastra seharusnya tidak bisa jika hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat, sastra memiliki keistimewaan tersendiri begitupun dengan ilmu lain. Dalam prosesnya, pembelajaran sastra tidak hanya memberi hiburan tetapi dapat mendorong siswa untuk mengembangkan intelektualnya; pandai melihat situasi dan kondisi dari berbagai persektif serta bisa berpikir secara kreatif, luas dan kritis.


Ramanda Oktaviani. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Tinjaun pustaka

Annisa Rizky Azmi, dkk. 2021. Pengaruh Kurangnya Literasi serta Kemampuan dalam Berpikir Kritis yang Masih Rendah dalam Pendidikan di Indonesia. Vol 01, No. 01. file:///C:/Users/USER/Downloads/32685-75730-1-PB%20(1).pdf . Diakses pada 9 Oktober 2021.

Nico, Hayon G. 2019. Strategi Pembelajaran Sastra Berbasis Literasi Kritis dan Pendidikan Karakter. Jurnal Lazuardi. Vol 2, No. 2. http://ejurnal-pendidikanbahasaundana.com/index.php/lazuardijournal/article/download/16/10/. Diakses pada 7 Oktober 2021