Dilema Ganjar Pranowo di Tengah Eforia Para Fans Club
Oleh : Agung Wibawanto
KilatNews.Co – Pamilu masih 3 tahun lagi (2024), namun aroma persaingan antar kandidat semakin tercium jelas baik di medsos maupun dunia nyata. Awal tahun 2022 nanti diprediksi perang opini akan semakin gencar, masing-masing pendukung mempromosikan jagonya kepada publik. Sedangkan calon kandidat sendiri belum ada satu pun yang berani terang-terangan mendeklarasikan dirinya siap menjadi presiden 2024.
Dari beberapa nama yang beredar di kalangan masyarakat awam, ada 3 nama yang beberapa waktu lalu ditempatkan ke dalam tiga teratas hasil survey Kompas. Ketiga nama yang sudah tidak asing itu adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Di bawah mereka ada nama-nama seperti: Ridwan Kamil, Risma Triharini, Gatot Nurmantyo dll. Sekali lagi, nama yang disebutkan belum bersuara, namun suara para pendukungnya jauh lebih membahana.
Fans Club’ (FC), demikian yang sering saya sebutkan kepada para pendukung tokoh politik untuk pencapresan 2024. Fenomena FC ini sepertinya baru muncul dalam dunia politik di Indonesia sejak 2014 lalu, di mana terjadi dua arus pengelompokan pendukung antara Prabowo dengan Jokowi. Terlebih hal itu berlanjut pada pilpres 2019 antar kandidat yang sama. Dua kali berturut-turut Prabowo dan pendukungnya kalah. Jokowi melenggang sebagai RI-1.
Baca Juga:
Komunitas pendukung itu disebut FC karena memang hanya kelompok massa yang cair dan sebatas penggemar atau penyuka saja. Suka di sini lebih didasarkan kepada figur saja. Bedakan dengan kader pendukung yang berasal dari partai politik. Mereka lebih ideologis, tidak hanya soal figur tapi juga karena sudah menjadi penugasan dari partai untuk memenangkan seorang kandidat. FC meski terdiri dari massa cair namun memang jauh lebih mandiri ketimbang massa kader.
Yang menjadi persoalan di dalam sistem politik Indonesia adalah, tidak diaturnya kandidat capres independen di dalam UU Pemilu. Artinya apa? Artinya, seluruh calon kandidat presiden haruslah melalui usulan dari partai pengusung yang memenuhi Parlementary Treshold (PT). Dalam hal ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi satu-satunya partai yang memenuhi syarat PT tersebut. Artinya pula, PDIP dapat mengusung secara sendiri siapa pun kandidatnya, tidak perlu berkoalisi.
Jadi sistem ini harus pula dipahami oleh setiap FC siapapun kandidatnya. Silahkan saja mendukung dan mengidolakan seorang figur untuk menjadi capres, tapi harus dilihat kendaraannya apa? Atau partai mana yang mau mengusungnya? Di sini terlihat, tidak saja figur tapi partai politik juga sangat menentukan bagaimana konstelasi kompetisi pilpres di Indonesia. Ada banyak figur yang dijagokan tapi tidak punya partai, sebaliknya partai pemilik kendaraan tapi tidak memiliki kader yang didukung masyarakat.
Jika ditilik dari “kendaraan politik”, maka satu-satunya nama yang paling aman dari tiga besar capres hasil survey Kompas tadi adalah Prabowo. Mengapa? Karena ia dipastikan didukung dan diusung oleh partainya sendiri yakni Gerindra (meski harus koalisi). Sedangkan Anies dan Ganjar belum serta merta didukung dan diusung oleh parpol karena tidak memiliki kendaraan sendiri. Ganjar yang nota bener kader PDIP saja dipandang belum aman didukung partainya, apalagi Anies yang bukan kader partai sama sekali.
Baca Juga:
Tidak Ada Tempat bagi Gerombolan Anti Pancasilan Di Negeri Ini
Sedikit saya bahas soal Ganjar Pranowo karena berbeda dengan Prabowo dan Anies. Prabowo tidak masalah jika para FC sudah mulai berkoar tentangnya. Karena Gerindra sendiri pun mendukung pencapresan Prabowo. Anies sendiri yang bukan kader partai bebas mulai dipromokan para FC nya terutama dari Jkt 58. Sedangkan Ganjar tidak mudah begitu saja mau pansos. Sebagai partai besar, PDIP memiliki sistem sendiri dalam penentuan siapa yang akan mendapat penugasan partai menjadi capres.
Hingga kini PDIP belum menetapkan satu nama pun untuk itu dan memang prosesnya masih lama. Dengan itu, PDIP berharap siapapun kader partai yang berhasrat menjadi capres harus tunduk dan patuh pada prosedur internal partai, “Jangan sampai mendahului keputusan partai,” demikian ucap salah satu petinggi PDIP. Hasto Kristianto, selaku Sekjen PDIP mengaku sendiri jika mereka memiliki banyak stok kader partai yang mumpuni menjadi capres.
Di sini posisi Ganjar Pranowo harus sadar diri jika memang ia masih mengaku sebagai kader PDIP dan ingin diusung oleh PDIP nantinya. Namun tidak demikian dengan para FC Ganjar yang memiliki pemikiran (kira-kira), apapun partai pengusungnya, capresnya tetap Ganjar. Jadi, FC seperti tidak memahami sejarah dan ikatan emosional antara Ganjar dengan PDIP. Mereka gak mau peduli jika PDIP tidak mengusung Ganjar.
Mereka marah jika Ganjar diingatkan PDIP. Lha, apa FC bisa mengusung sendiri Ganjar begitu saja? Pertanyaan besarnya kan, “Ganjar mau diusung pakai kendaraan apa di luar PDIP? Pertanyaan berikut, “Bagaimana jika Ganjar gak mau?” Untuk itu saya berharap para FC Ganjar bisa menahan diri tidak terlalu over terlebih dahulu, apalagi mencoba baper kepada PDIP. Jika pun ada suara miring dari PDIP terkait Ganjar, itu bukanlah suara partai melainkan pribadi.
Baca Juga:
Mengenal Free Trade Zone dan Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia
Jadi jangan kemudian memojokkan PDIP untuk lebih berlawanan dengan Ganjar. Saya yakin Ganjar sendiri tidak akan suka jika diadu-domba dengan partai yang sudah membesarkan namanya selama ini. Untuk itu, harusnya Ganjar tampil ke muka publik mengingatkan pendukungnya untuk tidak terlalu cepat “kampanye” karena dia belum menjadi kandidat capres. Ia belum menjadi apa-apa. Jika itu ia lakukan, maka Ganjar akan mendapat simpatik kedua belah pihak (baik PDIP maupun pendukungnya).
Hal lainnya, Ganjar harus selalu bercermin kepada Jokowi. Bagaimana dia yang bukan siapa-siapa tapi mampu menjadi siapa-siapa. Jokowi orang yang sabar, patuh-loyal, tidak menunjukkan ambisi, namun punya perhitungan matang. Selain itu, sebagai seorang Jawa, Jokowi juga tinggi laku prihatin dan tirakatnya. Hal ini sepertinya yang kurang dilakukan Ganjar, namun hingga pada saatnya nanti saya berharap Ganjar akan memahaminya. Tanpa itu, saya kira berat jalannya.