Romantisme Gerakan Mahasiswa yang Dimanfaatkan
Oleh : Agung Wibawanto
Kilatnews.co – Begitu tidak inginnya 56 pegawai KPK untuk lengser setelah tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), dan didukung SJW? Begitu berhasratnya pihak oposan untuk berkuasa hingga terus membuat keributan?
Begitu liciknya kaum radikal memanfaatkan kegaduhan mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi Kekhilafahan. Siapa yang tertawa paling keras melihat Indonesia gaduh? Hhmmm, tentu sangat mudah ditebak.
Saat ini, mahasiswa, rakyat pengangguran, dan sebagian orang penganut gerakan separatis (OPM) dijadikan alat untuk membuat kerusuhan. Mengapa bukan elite yang maju? Selain akan menerima resiko ditangkap seperti Rizieq Shihab, karena harga mahasiswa dan rakyat pengangguran sangat murah. Artinya tersedia banyak, tidak perlu khawatir kehabisan.
Jika menjadi korban jiwa dianggap lebih seru, karena bisa teriak lebih keras soal HAM. Apakah para pelaku aksi demo tidak tahu akan resiko tersebut? Mungkin tidak tahu, tapi saya yakin lebih banyak yang tahu dan justru menjadi pilihan karena terkesan heroik di bawah bayang-bayang romantisme gerakan mahasiswa (GM) para senior mereka. Minimal bisa menjadi bagian sejarah gerakan.
Hanya itu yang ada dalam bayangan mereka, mahasiswa. Sedangkan rakyat pengangguran yang penting mendapat uang saku dan nasi bungkus sudahlah cukup. Gerakan Muda dan atau Gerakan Mahasiswa (GM) memang kerap mewarnai setiap pergolakan politik di Indonesia. Sebut saja bagaimana kaum muda Indonesia nekad “menculik” Bung Karno agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia (Peristiwa Rengas Denglok).
Paska kemerdekaan, atau di era orde lama hiruk-pikuk sempat melanda Jakarta pada 12 Januari 1966. Ribuan mahasiswa turun ke jalan, menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan. Mahasiswa dan elemen masyarakat mengajukan Tritura: bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
Tokoh yang dikenal pada GM 1966 (atau juga sering disebut eksponen 66) salah satunya adalah Soe Hok Gie. Kemudian di era orde baru, tahun 1974 muncul Malari (Malapetaka 15 Januari). Mahasiswa di Jakarta mengajukan tiga tuntutan yang dinamakan “Tritura Baru 1974”: bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri); turunkan harga; ganyang korupsi.
Salah satu tokohnya yang dikenal adalah Hariman Siregar. GM sempat vakum beberapa lama karena diterapkannya kontrol pemerintah terhadap aktivitas mahasiswa melalui sistem NKK/BKK (1978-1988). Mahasiswa dinormalisasi kembali ke menara gading, dipisahkan dengan segala masalah dan problematika rakyat terutama yang terkait politik praktis.
Baca Juga: Taliban Kuasai Kabul; Jadi Ingat Pilkada DKI 2017
Senat Mahasiswa hanya ada di tingkat fakultas sebagai eksekutif, sementara Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) sebagai fungsi legislatif. Untuk tingkat universitas, senat mahasiswa ditiadakan. Hingga di tahun 1990 Sema diperbolehkan di tingkat universitas tapi tidak berbentuk student goverment. Sistem seperti itu disebut SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi).
Masa-masa itu di mana sistem otoriter yang diterapkan rezim orba masih mencengkeram kuat, dimanfaatkan mahasiswa untuk konsolidasi galang kekuatan melalui pembentukan organ-organ ekstra kampus. Kepekaan sosial dan masalah-masalah bangsa diasah dan diuji melalui kelompok-kelompok diskusi yang banyak terbentuk di kampus-kampus.
Relasi atau jaringan dengan rakyat mulai dibangun di mana mahasiswa turut andil dan ambil bagian dalam gerakan rakyat melawan kesewenangan pemerintahan Soeharto. Hampir satu dasawarsa mahasiswa dan rakyat di banyak daerah secara bersama-sama berjuang menghadapi rezim yang otoriter bin pathos. Semangat perlawanan mahasiswa-rakyat plus dukungan tokoh-tokoh publik ketika itu semakin mengkristal.
Mahasiswa dan rakyat bersama-sama membangun momentum (suatu keadaan yang sudah mencapai masanya) untuk bergerak dan mendesak elite melakukan perubahan yang disebut kemudian sebagai reformasi (1998). Tanggal 20-21 Mei 1998 menjadi sebuah sejarah bagi GM yang bersama-sama rakyat mampu melengserkan rezim penguasa yang selama 32 tahun dikenal tidak mungkin tersentuh.
Eforia GM 1998 itu kemudian yang mungkin dijadikan dasar mahasiswa sekarang berpikir romantis. Boleh dan sah-sah saja, namun mahasiswa zaman now juga harus cerdas. Jangan sampai aspirasi atau suara hati mu dan juga semangatmu justru dimanfaatkan oleh elite-elite politik yang akan menjadi penunggang gelap gerakanmu. Makanya dulu GM mengenal konsep REDA.
Refleksi, Evaluasi, Diskusi dan Aksi. Selalu itu diulang-ulang sehingga GM memiliki analisa jitu dalam mengamati dinamika dan konstelasi politik yang aktual dan faktual. GM juga tahu betul siapa musuh dan siapa kawan. Apa target tujuannya, bagaimana membangun strategi gerakannya, bagaimana pengamanannya, bagaimana penguatan jaringannya dan sebagainya.
GM tidak hanya poin atau bidak catur yang hanya mau diperintah. GM adalah subyek yang harusnya cerdas, perhatikan unsur eksternal dan internal dalam membangun momentum. Dan terakhir yang tidak kalah penting (yang ini menjadi kesalahan GM 98 lalu), what next? Kamu hanya berteriak lantang dengan resiko nyawa, kemudian tercapai target yang diinginkan, lalu sudah?
Bak orang (maaf) onani yang ketika selesai ejakulasi ya sudah, hanya diam menikmati. Sekarang perhatikan sekelilingmu: ada kondisi yang sangat mendesak apa sehingga GM perlu turun ke jalan? Apa hanya karena 56 pegawai KPK menolak diberhentikan karena tidak lulus TWK? Apa karena celoteh buzzer oposan di medsos yang selalu ribut dan mengeluh?
Atau karena suara dari kelompok Taliban, FPI dan HTI yang selalu teriak kriminalisasi ulama, sehingga kamu menganggap perlu turun ke jalan? Target mu apa? KPK dikuasai alkacong? Mau serba kebebasan? Mau serba dipenuhi segala kebutuhan? Mau negara menjadi bangkrut dan dikelola dengan liar? Atau, mau diserahkan ke HTI agar diganti dasar negaranya? Berpikirlah dengan cerdas.