Amandemen Terbatas UUD 1945: Pakar, Khawatir Akan Melebar ke Masa Jabatan Presiden
Kilatnews.co – Wacana amandemen terbatas UUD 1945, sempat menghangat beberapa tahun terakhir mencapai titik puncaknya. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soestyo mengaku bahwa rencana amandemen terbatas UUD 45 sudah mendapat restu Presiden Jokowi.
Salah satu rencana amandemen terbatas UUD 1945, menurut Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soestyo, adalah menyertakan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) (dulu dikenal dengan istilah GBHN) di Pasal 3 tentang kewenangan MPR membuat dan menetapkan PPHN.
“Amandemen konstitusi menambahkan satu ayat di Pasal 3 tentang kewenangan MPR membuat dan menetapkan PPHN,” kata Bamsoet pada Sabtu, 14 Agustus 2021.
Lebih lanut, dia menuturkan bahwa rencana penyertaan PPHN ini merupakan salah satu dari rekomendasi MPR pada periode 2014-2019.
Selain itu, menurutnya pada Amandemen terbatas ini juga akan menyertakan satu ayat di Pasal 23 tentang Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Isinya, adalah menolak atau mengembalikan RAPBN untuk diperbaiki jika tidak sesuai dengan PPHN.
Baca Juga:
Amandemen Kelima UUD 1945 Adalah Sebuah Keniscayaan Dalam Membangun Alam Demokrasi Di Indonesia
Namun, titik puncak dari wacana amandemen UUD 1945 menjadi kekhawatiran tersendiri di kalangan para pakar. Fery Amsari, pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, khawatir amandemen UUD 45 ini akan menjadi pintu masuk bagi kepentingan politik elite. Misalnya, seperti masa jabatan presiden yang hendak ditambah menjadi tiga periode dan pemilihan presiden melalui MPR.
“Akan ada potensi bola salju kepentingan di mana bola salju itu menggelinding dan membesar dan itu bisa masuk ke kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang tidak baik bagi ketatanegaraan bagi kita. Seperti isu periode ketiga, pemilihan presiden melalui MPR,” ujar Fery kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/8).
Menuru Fery, penambahan masa jabatan presiden dan penambahan kewenangan MPR sangat berbahaya. Pihaknya menyebut hal itu sangat tidak menyehatkan bagi sistem ketatanegaraan kita dan bahkan hal itu akan mengakibatkan sekan-akan kita kembali ke masa Orde Baru.
Baca Juga:
PSHK UII Angkat Bicara Terkait Rangkap Jabatan Rektor UI Ari Kuncoro
Apalagi amandemen terbatas kembali akan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang olehnya dinilai serupa dengan GBHN di masa Orba. Ia khawatir nantinya KPK, dan bahkan presiden dianggap bertentangan dengan GBHN. Itu sama saja dengan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi.
“Nanti akan dikatakan KPK bertentangan GBHN, bahkan presiden bisa bertentangan dengan GBHN ini ujung-ujungnya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi,” paparnya.
Menurut Fery, wacana amandemen terbatas ini penting untuk disikapi secara kritis. Sebab, beberapa hal penting yang disebutkan diatas sangat mungkin untuk diselundupkan meski hari ini para elite menampik hal itu.
“Harus diingat ada ruang selalu berupaya dilakukan ketika perubahan di saat pembahasan. Dan ruang itu tidak jelas juntrungannya apa, karena mereka bisa memasukan kanyak hal,” ucapnya
Selain itu, pihaknya berharap jika memang amandemen terbatas akan dilakukan, hal itu harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Berbagai usulan dari DPR, MPR, dan DPD harus dibuka ke publik sedetail-detailnya. Jangan seperti perubahan UU yang sebelumnya, yang dilakukan dengan sangat tergesa-gesa dan tertutup.