Pasca diselenggarakannya KONGRES LUAR BIASA (KLB) Partai Demokrat pada 5 Maret 2021 di Deli Serdang, Sumatera Utara. Beredar foto Jendral Moeldoko dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlihat Sang Jendral sedang tunduk mencium tangan Mantan Presiden ke-6 tersebut. Foto yang diambil pada 2013 lalu itu, kelihatannya bukan se-usai sholat lalu karena SBY ngimami jadi Moeldoko cium tangan lazimnya Santri ke Kiai-nya.

Sempat ramai di Twitter sejak 3 maret dan mendapat perhatian publik, sebagaimana yang dilansir Tribunnews.com sabtu, 6 Maret 2021. Sangat disayangkan bila etika nan moral demikian, berubah menjadi watak politik TUNDUK-MENANDUK, Sebab hal itu mencerminkan etika politik masyarakat barbar.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Tunduk-Menanduk Di Tubuh Demokrat

Ya,,, seperti Banteng-lah, kalo mau menanduk harus tunduk dulu. Ndak mungkin banteng menanduk dengan kepala mendongak keatas atau lurus kedepan, nanti yo ndak kuat nanduk-nya. Jadi, dulunya tunduk sekarang menanduk.

Dinamika  dalam tubuh partai demokrat tidak hanya menyeret perhatian banyak kalangan, juga menguras pikiran para pengamat politik maupun pengamat demokrasi. Menariknya, peristiwa ini menjadi potret demokrasi yang aneh. Di satu sisi ada upaya demokratisasi rezim dinasti politik, di lain sisi merupakan wajah demokrasi barbar.

Demokrasi menurut Santoso Sahlan dan Awaludin Marwan dalam buku Nasib Demokrasi Lokal Di Negeri Barbar, ditegaskan bahwa hanya bisa tumbuh subur dalam masyarakat yang damai, toleran, sejahtera. Sebaliknya, demokrasi akan mati ditengah masyarakat barbar. Masyarakat barbar menurut keduanya, adalah kecenderungan pada peperangan, permusuhan, yang mengedepankan nafsu hewani dari pada nurani. nunduk-nanduk sing dimaksud yoiku. Sebaik apapun formasi sistem penyelenggaran demokrasi, jika semuanya hidup dalam masyarakat barbar, akan sia-sia demokrasi tersebut. Tegas keduanya.

Yang paling mengejutkan adalah peristiwa luar biasa ini (pertama kali di Indonesia) berawal dengan alasan ngopi-ngopi lalu berujung KLB. Mungkin tidak mengejutkan juga, karena dalam catatan sejarah, revolusi prancis pun dimulai dari perdebatan idea di warkop. Tapi, apa iya se-revolusioner itu ngopinya para politisi kita? Kalau iya, kenapa kemisinan, prampasan ruang hidup, pencurian sumber daya alam, tidak berkesudahan? Mungkin revolusionernya membabi buta alias konsolidasi kepentingan elit.

Salah satu karakteristik dari negara modern yaitu demokrasi kepartaian. Walaupun banyak yang berpendapat itu merupakan model negara liberal eropa, paling tidak disadari bahwa itulah realitas. Merubah realitas berarti menerimanya kemudian didorong ke arah yang dikehendaki. Kata Gus Dur “ya…kita harus menerima realitas, tapi jangan tunduk. Realitas harus dirubah”.

Selaku insan yang berpikir, kiranya patut ikut andil menyikapi problem yang terjadi di negara. Walaupun hanya melahirkan sekelumit idea menyesatkan, setidaknya kesesatan itu menjadi pemicu bagi alam pikir lain untuk berpelukan dalam dialektika idea/gagasan.

Peran Parpol Dalam Kancah Politik

Partai politik baru lahir sekitar akhir abad ke-19 awal abad ke-20 di eropa, seperti Inggris, Prancis dan Amerika (Prof. Miriam Budiardjo: Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi 2008). Sebagai institusi sosial yang dianggap berumur masih muda, kelahirannya membawa ciri khas tersendiri dalam kancah politik. Pengaruh partai terhadap praktek politik kenegaraan, menjadi suatu kekuatan yang mengunci keran peluang kembalinya era absolutisme negara. Meski demikian, bukan berarti kehidupan politik sudah sangat baik. Sedikit baik mungkin iya, itu pun sukar untuk dipercaya.

Memang, tak bisa disamakan antara partai politik di negara eropa dan di negara berkembang, perbedaan situasi negara cukup jauh dan mendasar. Prof. Miriam menggambarkan hal itu secara sederhan bahwa di negara-negara berkembang partai diperhadapkan dengan realitas berupa kemiskinan, pengangguran, upah buruh murah, tingginya tingkat buta huruf.

Faktor-faktor tersebut menjadi beban tidak ringan untuk partai politik, apalagi negara seperti Indonesia yang baru menghirup udara segar demokrasi. walau kadang terasa ditipu model demokrasi pasca-reformasi 98, paling tidak kita bisa berpendapat, seperti menulis dan menggelar aksi demonstrasi. Itu sedikit lebih baik, daripada era orde baru dimana orang dilarang diskusi bahkan berencana sekalipun.

Pergulatan partai politik dalam sejarah perkembangannya, telah sampai pada satu kepercayaan bahwa partai menjadi instrumen penghubung antara “pemerintah” dengan yang “diperintah”. Titik ini bukan sesuatu yang jatuh dari langit (ujuk-ujuk), tapi melalui proses dialektika-historis. Senada dengan itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam karyanya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara menjelaskan, bahwa partai politik merupakan upaya institusionalisasi demokrasi. Disamping ada institusionalisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dll, partai politik menduduki posisi yang sangat krusial dalam negara. amat pentingnya, sukar berbicara pemilihan umum (PEMILU) tanpa adanya partai politik.

Adapun fungsi partai politik, Prof. Miriam menegaskan ada empat fungsi, yaitu; Sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik dan sebagai sarana pengaturan konflik. Tanpa memiliki dan menjalankan fungsi tersebut, wadah itu hanya berupa tong sampah, kalaupun ada idea politik, bisa dipastikan merupakan idea abal-abal yang lahir atas persetubahan kepentingan bejat elit politik dan pemodal.

Partai politik sebagai elemen strategis dalam proses penyelenggaraan demokrasi, perlu melakukan demokratisasi ditubuhnya sendiri dengan cara-cara yang sehat dan beradab, bukan asal libas mengikuti syahwat kekuasaan.

Oleh karena, tidak lengkap berbicara negara domokrasi tanpa partai politik sebagai instrument pelaksana, maka sudah sepatutnya kita memiliki perhatian terhadap dinamika partai politik saat ini.

Masa iya, mahasiswa saat ini tugasnya Cuma perhatian sama pacar, nggak sama nasib demokrasi di tubuh partai politik. Bersikap bodoh amat monggo, tapi ya jangan sampai kebodohan merajai pikiran.

KLB Demokrat: Demokratisasi Barbar

Salah satu penyakit ditubuh partai politik adalah kecenderungan oligarkis. Sebab itulah, perlu adanya demokratisasi di tubuh partai. Terkait dengan kecenderungan oligarkis, Robert Michels dalam buku Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, coba mendekati partai politik menggunakan teori birokrasi Max Weber, bahwa partai politik memiliki kecenderungan pada oligarki. Organisasi yang melahirkan dominasi “pemerintah” terhadap yang “diperintah”. Berbicara organisasi berarti berbicara oligarki, sebagai hukum besi yang kerap tumbuh subur disetiap institusi politis.

Dalam upaya demokratisasi partai politik, diperlukan mekanisme penunjang. Salah satunya adalah mekanisme internal partai sendiri, yaitu; pengaturan melalui Anggaran Dasar (Code of Law), Anggaran Rumah Tangga (Code of Conduct) dan Kode Etik (Code of Ethics). Dengan demikian, diharapkan ketiganya dapat berfungsi dalam kehidupan internal partai politik. Artinya, norma hukum, norma moral dan norma etika harus menjadi panduan perilaku seluruh anggota partai (Prof. Jimly Asshiddiqie: 2014)

KLB Demokrat, yang dianggap sebagai proses demokratisasi partai, menyisahkan keganjalan tersendiri. Berangkat dari argument pembersihan tubuh partai dari dinasti politik, berujung pada barbarian demokrasi. Barbarian yang dimaksud karena tidak mengedepankan atauran yang sehat dan etika politik, melainkan cenderung mendahulukan sifat binatangisme, adu kekuatan. cara-cara tidak mendidik rakyat pada esensi demokrasi yang baik.

Padahal, kita hidup dalam satu negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Begitulah penegasan pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Mestinya, hukum dijadikan istrumen untuk menjaga stabilitas politik, bukan ngopi-ngopi lalu KLB. Hal itu dipertontonkan layaknya drama perselingkuhan politik elitis, lalu berbangga karena tercatat dalam sejarah yang sejatinya hanya mengisahkan potret buram demokrasi.

Birahi kekuasaan yang tak beraturan, hanya akan menonjolkan watak binatangisme dan mengubur asas kemanusiaan. Terlebih, di Indonesia demokrasinya mengedepankan asas kekeluargaan, bukan tunduk-menanduk seperti banteng atau kerbau. Sejarah membuktikan, buyarnya asas kemanusiaan dalam politik menjadi kausa terjadinya piramida kurban manusia. Seperti dijalskan oleh Peter L Berger dalam Pyramids of sacrifice: political ethics and social change, tentang pembantaian besar-besaran di Cholula, Amerika Latin.

Paradok demokratisasi ditubuh partai demokrat, memberi sinyal kuat kepada publik tentang kecenderungan elit politik yang hanya mengedepankan kepentingan untuk berkuasa. Disatu sisi tumbuh dinasti politik ditubuh partai, sisi lain demokrasi barbar dipraktekan, seakan menjadi budaya politik sepanjang sejarah bernegara. Jelas ini tidak memberikan edukasi politik yang baik, malah menjadikan wajah politik Indonesia semakin buram dan dungu.

Institusionalisasi demokrasi harus mampu mencerminkan kebijaksanaan politik untuk kepentingan umum, dengan mengedepankan aspek kemanusiaan. Artinya, partai sebagai sarana bagi rakyat dalam mengembangkan potensi diri, perlu membangun suatu kultur politik yang sehat dan beradab.

Memang sulit, karena watak manusia kadang memunculkan dua ekstrim. Antara binatangisme dan ke-ilahi-an kerap meruncing pada konflik berskala besar.  Padahal, sesungguhnya dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh akal sehat secara baik. Walaupun, pada titik tertentu manusia berlaga seperti binatang bahkan lebih rendah, masih ada kekuatan lain untuk menciptakan keseimbangan, yaitu dimensi ke-ilahi-an. Ini bukan kopromi politik dalam diri manusia, tapi berupa kecerdasan dan kebijaksanaan dalam menjaga stabilitas individu dan lingkungan sosial.

Lebih mengejutkan lagi, bahkan kian mengejutkan dari tulisan Alvin Toffler tentang Kejutan Masa Depan. Problem pemicu (kudeta) dilakukan oleh orang yang bukan kader partai dan proses peng-kudeta-an ditengah ketengan isu pandemik covid-19. Jelas politiknya tidak beretika, wong dia bukan kader partai. Disamping itu, negara bersikap bodoh amat dengan alasan itu internal partai. Sementara, negara sadar betul bahwa KLB diselenggarakan dalam keadan tidak normal akibat covid-19. Ini menunjukan demokrasi barbar semakin me-negara.

Aksi mahasiswa dibubarin, alasannya covid. Kok sliding ditubuh partai politik ngak dibubarin. Apa covid takut masuk arena kongres luar biasa ya? Halah bodo amat lah, intinya negara ini aneh, ketua RT/RW aja udah aneh semua kok.

Apa mungkin, karena ada keterlibatan oknum Kepala Staf Kepresidenan ya? Sehingga negara bersikap cuek-cuek bebek (apatis). Boleh jadi, ada keterlibatan negara dalam kasus ini, mungkin saja begitu. Bila kemungkinan itu benar, maka “demokrasi telah mati” dan negara terjun bebas ke jurang absolutisme Hobbesian.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Steven Levitsky & Daniel Zablatt dalam HOW DEMOCRACIES DIE, demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati secara perlahan. Tiga poin penting penyebab matinya demokrasi adalah terpilihnya pemimpin otoriter, penyalahgunaan kekuasaan dan penindasan terhadap kelompok oposisi. Dengan demikian, prinsip Equality Before The Law (kesamaan dimata hukum) ikut merosot dan mati ditengah krisis supremasi hukum.

Dalam sejarah Indonesia, sudah terbukti misalnya era orde baru. Di era reformasi saat ini, harapannya demokrasi bisa tumbuh subur. Namun sukar untuk dipercaya, cita-cita itu bisa tercapai dalam situasi dewasa ini. Reformasi malah menciptakan barbarian dalam negara demokrasi. Itulah kenapa dikritik oleh Dr. Mansour Fakih bahwa reformasi hanya merupakan penataan kembali, bukan perubahan pada bentuk yang lebih baik (Transformasi). Agenda reformasi hanya berupa formasi sistem sosial baru dari liberalism ke neo-liberalism.

Jika demokrasi sudah mati, supremasi hukum semakin merosot. lalu apa yang bisa kita harapkan dari kehidupan politik yang demokratis? Atau mungkin mengusulkan Amandemen UUD 1945 untuk mengganti prinsip Indonesia sebagai negara demokrasi menjadi negara kekuasaan (machtstaat)? monggo pikir sendiri.

Bagi penulis, hal ini butuh diskusi yang memakan waktu cukup banyak dan menguras tenaga serta pikiran. Disamping itu, kondisi politik nasional dan gbolal harus mendapat perhatian serius. Amanat suci menjadi pemuda bukan hanya makan untuk hidup, tetapi juga pikiran yang kritis dan responsif.

Situasi negara yang semakin menjadi-jadi, membutuhkan pikiran yang kritis dalam membangun konsensus politik baru, guna menyikapi perkembangan yang semakin kompleks. Jangan sampai, kita masih saja terseok-seok dibelakang sejarah. Harapan demokratisasi demokrasi hanya akan menjadi verbalisme belaka, tanpa ada upaya merancang formasi soio-politik menuju cita-cita bernegara yang diamanatkan dalam konstitusi dasar negara.

Dalam situasi dewasa ini, demokrasi menjadi tak seindah yang kita bayangkan. Angin segar demokrasi diterpa konflik (barbarian), seakan keduanya adalah kawan setia sepanjang sejarah umat manusia. Disamping keterjebakan pada semu demokrasi, ada persoalan moral politisi yang perlu diperbaiki. Oleh karena, demokrasi adalah cerminan dari esensi kemanusia, maka manusianya pun harus baik. Dialektika antara struktur dan moral individu, kiranya mampu memfokuskan demokrasi sebagai alternatif berupa metodologi etis.

Sekali lagi, perlu dipertegas bahwa demokrasi bukan lahan untuk adu kekuatan (TUNDUK-MENANDUK) yang cenderung berwatak binatangisme dan barbarianisme. Tapi sebagai metodologi etis demi kemanusiaan. Teringa nasehat Gus Dur bahwa “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.

Penulis, Abdul Haris Nepe

Mahasiswa Hukum Universitas Janabadra

Direktur Constitutional Law Study dan Kader PMII

Reporter: KilatNews