Kilatnews.co Walaupun jam digital di handphone sudah menunjukan angka 06.15, langit masih gelap ketika kaki saya menginjakan tanah Paris yang konon katanya romantis, Paris kota yang walaupun masih di benua Eropa kita akan susah bertemu dengan orang yang mau berbicara dengan bahasa Inggris.

Seperti umumnya belahan eropa lainya, di Paris pun matahari mulai muncul nyaris disekitaran pukul 08.00, lumayan cocok buat para anak Aksara, sebuah asrama yang saya asuh, yang rerata istiqomah sholat subuh di waktu dhuha.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Touch Down in Paris

Bercy Seine Bus Station adalah salah satu gerbang Paris ketika kita mengunjungi Paris melalui jalur darat, kebetulan dalam kunjungan ini saya memilih menggunakan Bus dari Belanda ke Paris.

7 jam lamanya perjalanan darat dari Belanda ke Paris, melalui jalan Tol gratis yang di kelola oleh Uni Eropa sebuah organisasi intranasional yang beranggotakan negara-negara di Benua Eropa, semacam ASEAN lah kalo di Asia Tenggara.

Dalam 7 jam perjalanan tersebut kita sudah melewati tiga tapal batas negara, Belanda, Belgia dan Prancis, bandingkan di negara kita, 7 jam perjalanan di Tol Lintas Jawa bukan 3 negara yang kita lampaui tapi 3 Provinsi yang kita lewati, DKI, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Kesan pertama ketika menginjakan kaki di Bercy Seine adalah “Jorok”, bau pesing karena orang berkemih sembarangan tercium hampir disetiap sudut terminal. Khusus untuk hal ini, berbanggalah terminal-terminal bus kita saat ini jauh diatas level mereka.

Dengan singkatnya waktu yang saya miliki dan dengan banyaknya tempat di Paris yang layak dikunjungi serta banyaknya pendapat dari para akademisi paripurna yang tentunya sangat kekeh ketika mempertahankan pendapatnya, akhirnya saya memutuskan untuk bersilaturahim ke 2 tempat, Eifel dan Monalisa.

Belum sah rihlah seorang ke Paris kalau belum sowan ke Mbah Eiffel dan Bu Nyai Monalisa, dua mahakarya penanda pencapaian budaya eropa di bidang seni dan arsitektur.

Sowan Eiffel dan Monalisa

Eiffel menara besi setinggi 324 M yang dibangun oleh Gustave Eiffel, lebih tinggi dari monas yang tingginya 137 M selisih 187 M, menjulang tinggi ditengah kota Paris, ratusan ribu orang dari berbagai negara berkerumun dan berkeliaran dibawahnya dengan beraneka ragam kegiatan, mulai dari berfoto, menggambar, sampai hanya sekedar bercengkrama sambil memberi makan burung dara yang dipelihara secara baik oleh pemerintah kota.

Sebenarnya kalo mau dibandingkan dengan tamannya Monas, kembali lagi taman Eiffel tidak seberapa istimewa, Champ de Mars alias tamanya Eiffel hanya memiliki luas 24 Hektar, sementara areal taman Monas luasnya 80 Hektar, tapi bedanya adalah Eiffel memiliki Vibes Eropa yang sudah dibangun berabad lamanya.

Berikutnya setelah merasa cukup dengan Eiffel saya melanjutkanya dengan sowan ke Monalisa. Siapa Monalisa, Monalisa adalah sosok perempuan yang dilukis dengan penuh penghayatan oleh salah seorang maestro lukis dunia Leonardo da Vinci. Monalisa adalah magnum opus Leonardo da Vinci, diriwayatkan bahwa saking gandrungnya Lenardo da Vinci dengan karyanya tersebut, kemanapun Leonardo da Vinci pergi, lukisan itu selalu menyertainya, disetiap restoran dan kedai kopi yang disinggahi Leonardo da Vinci selalu bercerita ke khalayak banyak bagaimana istimewanya lukisan tersebut. Dan Brown dalam Da Vinci Code menempatkan Monalisa sebagai salah satu karya kunci untuk membuka rahasia besar yang berusaha ditutupi otoritas Gereja Katolik pada saat itu.

Dari Menara Eiffel kami memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri sungai Seine menuju Musium Louvre tempat Monalisa bersemayam. Udara yang sejuk, sungai yang bersih dan ditata secara apik, ditambah banyaknya pepohonan rindang yang dirawat dengan baik menjadikan jarak 4,3 Km dari Eiffel ke Louvre tidak terasa membosankan, capek sih iya, tapi kalo bosen, tidak sama sekali, bagi saya tepian sungai Seine adalah titik paling indah dan romantis di Paris.

Akhirnya setelah melewati beberapa securty chek point Louvre dan berdesakan dengan beberapa pengunjung lainnya, saya berkesempatan face to face, eyes to ayes dengan Monalisa yang melegenda. Bagi orang yang tidak paham lukisan seperti saya, melihat Monalisa ya seperti melihat lukisan biasa saja, getar kagum muncul karena pengetahuan akan sejarah penciptaan Monalisa, dan juga penghormatan para tokoh besar terhadapnya lah yang menjadikan saya tersimpuh tadzim didepannya. Siapalah saya yang berani-beraninya mengomentari Leonardo da Vinci, salah satu anak manusia yang konon sudah sampai pada level tercerahkan dan mencerahkan.

Branding dan Kotemplasi

Ditengah lamunan saya, salah satu kawan menyenggol sambil berkata, hebatnya Paris adalah bagaimana mereka mampu membranding ini semua, membranding Eiffel dan Monalisa yang mungkin buat Indonesia sebenarnya juga bisa dicari perbandinganya dengan Monas misalnya yang areal tamannya lebih luas, atau dalam kasusnya Monalisa kita punya Raden Saleh yang juga sama-sama diakui eropa.

Buktinya Seoul di Korea mereka tidak punya Eiffel dan Monalisa, tapi posisinya sebagai destinasi wisata tidak kalah dengan Eropa, mungkin suatu saat nanti negeri kita, Indonesia, mampu kembali menjadi salah satu alternatif destinasi dunia bukan hanya wisata tapi bahkan studi dan budaya.

Heriyono Tardjono. Penulis adalah Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia dan Pengasuh Aksara Pinggir

Reporter: Dr. Heriyono Tardjono, SH., MKn