Tenaga Honor Daerah dalam Cengkraman Oligarki Birokrasi
Oleh: Abdul Haris Nepe
KilatNews.Co – Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah Halmahera Timur (Hal-Tim), Maluku Utara, kaitannya dengan pemecatan tenaga honor daerah (Honda) melalui SK Bupati tahun 2021.
Sebelum jauh, saya ingin mengurai terlebih dahulu kebijakan Pemerintah Hal-Tim yang dalam hemat saya adalah “Kebijakan diskriminatif”. Kebijakan semacam ini sudah pasti lahir dari rahim “Oligarki birokrasi”. Tegasnya, pemda Hal-Tim melakukan praktek nepotisme untuk membangun dinasti politik di lingkungan pemerintahan.
Beberapa waktu lalu, sempat ramai di media sosial (medsos) mengenai SK Bupati, terkait nama-nama tenaga honor daerah (Honda) yang tidak terakomodir (alias dipecat), khususnya tenaga kesehatan honorer. Kebijakan tersebut berdampak luas bukan saja di satu Puskesmas, tetapi beberapa yang salah satunya adalah Puskesmas Dorosagu, Kec, Maba Utara, Halmahera Timur. Dari semua keluhan para honorer menjadi isu yang seksi dibincangkan di media online, namun Puskesmas Dorosagu tidak kalah seksi sebagai bagian dari isu tersebut yang hingga kini jauh dari mata Camera para wartawan.
Singkat ceritanya, ada sekitar 6 orang honorer di Puskesmas Dorosagu yang namanya tak lagi ada dalam SK Bupati tahun 2021. Menariknya, bahkan sangat kolot, ada salah satu honorer dengan gelar Sarjana Terapan Kebidanan (S.Tr.Keb) yang diberhentikan dan diganti dengan seorang lain dengan gelar Sarjana Ekonomi (S.E) melalui SK tersebut. Sangat aneh dan dungu kan Jelas kebijakan seperti ini akan menimbulkan bahaya kedepan. Misalnya, ketika ada yang melahirkan dan anaknya meningga dunia, tak dapat diselamatkan. Apakah itu ajal atau karena perawat yang kurang berkompeten di bidang persalinan? Siapa yang dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa itu adalah ajal?
Perlu untuk dipahami bahwa para Sarjana Kebidanan dalam hal kerja selalu terikat dengan kode etik, dimana kode etik bukanlah anjuran-anjuran yang ditulis di papan-papan informasi kantor, tetapi sebuah disiplin yang sudah dididik sejak masuk kampus. Artinya, beda cerita ketika orang yang bukan Sarjana Kebidanan dipanggil untuk menangani ibu-ibu bersalin dengan seorang Sarjana Kebidanan. Dengan kata lain, ada harga diri yang dipertaruhkan dalam setiap tindakan. Bahkan, seorang Bidan akan menyesal dan merasa bersalah ketika ia terlambat datang di lokasi. Saya kira, kode etik bukan saja soal tulisan anjuran, tapi perwujudan dari batin para profesional di bidangnya masing-masing, sebab etik merupakan tanggungjawab atau panggilan moral dari dalam diri.
Pertanyaannya yang dapat kita ajukan adalah; Bagaimana model perekrutan Pemda Hal-Tim terkait tenaga kesehatan honorer? Apakah di periode Bupati kali ini Sarjana Kebidanan harus diganti dengan Sarjana Ekonomi? Logika terbalik macam apa yang digunakan Pemda saat ini?
Pasalnya, alasan mendasar dari Pemda bahwa SK itu merupakan hasil evaluasi Pemerintahan dengan point substansi yang menjadi fokus evaluasi yaitu, kompetensi dan loyalitas yang dilihat dari aktivitas berkantor (Absensi).
Namun, alasan itu dibantah oleh para honorer, karena menurut mereka selama ini mereka tetap rajin berkantor, bahkan ada yang sampai 24 jam di Puskesmas. Asumsi yang berkembang bahwa kebijakan tersebut lebih bersifat politis dibanding pertimbangan profesional, karena hampir rata-rata orang yang diberhentikan merupakan lawan politik dalam kontestasi pilkada haltim 2020, kemudian orang yang menduduki posisi baru merupakan orang dekat atau pendukung Bupati sekarang. Jika dipikir-pikir asumsi itu sangat mendekati kebenaran, sebab semua honorer mempunyai keluhan yang sama.
Dengan begitu, dapat kita pahami bahwa SK Bupati yang berdampak pada setiap Puskesmas, khususnya Puskesmas Dorosagu, merupakan “Praktek nepotisme” di lingkungan birokrasi.
Nepotisme merupakan prakter politik berdasarkan kekeluargaan tanpa mempertimbangkan profesionalitas sesuai kebutuhan birokrasi. Birokrasi sendiri sejatinya adalah alat untuk mencapai tujuan, maka kita perlu meninggalkan penggunaan birokrasi sebagai alat pelanggeng kekuasaan (M. Mas’ud Said: 2012). Apabila praktek nepotisme terus dilakukan, birokrasi akan menemui jalan buntu dan menuai kegagalan.
Max Weber (1864-1920) secara apik menunjukan kepada kita bahwa birokrasi merupakan sistem yang rasional, dalam artian bahwa ia didesai sedemikian rupa untuk mencapi tujuan secara efektif dan efisien. Gagasan Weber kemudian dilanjutkan oleh Anthony Giddens (1938) yang dengan jelas menunjukan hubungan antara birokrasi dan rasionalitas, di ikuti wacana profesionalisme dalam mengisi struktur birokrasi. Artinya, birokrasi merupakan sistem rasional dan harus diisi oleh orang-orang profesional sesuai bidang masing-masing.
Berangkat dari landasar pikir di atas, sangat miris melihat kebijakan pemda haltim, terutama dampaknya terhadap honorer di Puskesmas Dorosagu. Jika kita memakai dua pandangan tokoh di atas untuk melihat praktek nepotisme yang dilakukan oleh pemda haltim, terutama dalam hal menjadikan Sarjana Ekonomi sebagai Bidan merupakan “banalitas” yang membabi buta.
Bisa dipastikan, penetapan Sarjana Ekonomi sebagai Bidan merupakan keputusan yang kolot. Pengangkatan macam ini juga dapat dipastikan melalui jalu tikus (orang dalam). Kerja-kerja mafia jenis itu rata-rata dilakukan oleh para penjilat sepatu kekuasaan, akibatnya dapat merusak demokrasi atau demokrasi berupah wajah menjadi demoriter (sistemnya demikrasi tapi prakteknya kejahatan).
Birokrasi yang diisi secara serampangan akan menjurus pada irasionatas. Pendek kata, birokrasi merupakan sistem yang harus diisi oleh orang profesional di bidang tertentu, bukan malah menjadikan Sarjana Ekonomi sebagai Bidan. Jika sudah begitu, singkat kata, ini adalah birokrasi yang bodoh (irasional) dan jumud.
Mengaca pada sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, praktek nepotisme sangat masif di era Orde Baru. Tujuan dari itu semua hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Kelihatannya, apa yang dilakukan oleh pemda haltim sangat mirip dengan rezim orde baru, yaitu melakukan stabilitas politik. Untuk menjaga stabilitas politik, maka orang-orang yang berseberangan harus disingkirkan dan memasukkan orang-orang dekat.
Menarik untuk diperhatikan juga, pada saat audiensi antara Pemerintah, DPRD dan AMPERA di gedung DPRD pada Agustus 2021. Wakil Bupati secara terbuka menjelaskan bahwa hasil evaluasi tersebut juga melihat kondisi keuangan daerah, karena sebelumnya ada BPK yang turun melakukan pemeriksaan. Dengan begitu, pertanyaan paling menarik adalah bagaimana hasil pemeriksaan BPK sehingga para honorer menjadi korban? Kalau memang karena kondisi keuangan daerah sedang tidak membaik, kenapa enam orang diberhentikan dan diganti enam orang pula (khususnya Puskesmas Dorosagu)? Bukannya itu sama saja. Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita renungkan kembali dan menelusuri lebih jauh.
Sampai disini, jawaban dari pertanyaan “Bagaimana model perekrutan Pemda Hal-Tim terkait tenaga kesehatan honorer?” dapat dikatakan merupakan praktek nepotisme di lingkungan pemerintahan untuk melanggengkan kekuasaan, pun jelas asasnya adalah politik kekeluargaan atau kekerabatan.
Maka jangan heran kalau Sarjana Kebidanan diganti dengan Sarjana Ekonomi. Kelihatan jelas arah kekuasaan pemda haltim yang menjurus pada “Oligarki birokrasi”. Dengan kata lain, merupakan upaya untuk membangun dinasti politik.