Malam ini menjelang subuh, saya bersama salah satu teman masih duduk santai di warung kopi. Kami baru saja selesai makan, kemudian berdiskusi tentang kepenulisan. Kebetulan dia kerja di warkop dan penulis di salah satu media, Beritabaru nama medianya. Saya merasa bangga bisa duduk dengan seorang penulis, walaupun sebenarnya masih pemula.

Malam semakin dingin, tinggal beberapa menit lagi azan subuh. Tapi kami tidak mau pulang, karena diskusi semakin hangat dan menarik.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Saya Juga Tersinggung, Karena Saya Lelaki

Setelah itu, dia memutuskan untuk membaca ulang tulisannya, saya juga kemudian membuka website Alif.id untuk membaca beberapa tulisan. Oh iya, saya membuka website ini karena pernah direkomendasikan oleh teman yang satunya lagi, katanya bagus-bagus tulisan disitu, jadi saya pun menyempatkan waktu untuk baca-baca.

Awalnya, saya membaca tulisan mas Rizki Eka Kurniawan berjudul “perempuan dalam perspektif islam dan psikoanalisis (1): Seni memahami hati perempuan”. Seperti biasa, di media itu kan ada anjuran untuk membaca tulisan lain. Ya, rekomendasi gitulah.

Kemudian saya baca salah satu judul tulisan yang menurut saya cukup menarik, tulisan dari mas Ahmad Inung judulnya “Sebagai Lelaki, Saya Sangat Tersinggung”. Oh iya, keduanya penulis di media Alif.id. tulisan inilah yang memberi inspirasi untuk saya menulis beberapa poin penting dari yang saya baca.

Dengan ciri khas humoris, mas Ahmad memulai tulisannya dengan menceritakan sebuah siaran radio yang sudah menjadi kebiasaannya setiap hari untuk mendengar. Ia dikejutkan dengan pertanyaan penyiar radio, pertanyaannya begini; “kemampuan apa yang seharusnya dimiliki perempuan dan apa yang seharusnya dimiliki laki-laki?”, pertanyaan ini menurutnya tidak hanya merendahkan perempuan, tapi juga menyinggung kelaki-lakiannya.

Ditambah jawaban si pendengar pertanyaan, bahwa “kemampuan yang harus dimiliki perempuan adalah 3M (masak, macak/berdandan, manak/hamil). Sementara laki-laki harus menafkahi dan menyayangi perempuan”. Jelas orang akan tersinggung jika jawaban ini seakan jawaban semua laki-laki.

Mas Ahmad, begitu saya menyebutnya, membangun beberapa pertanyaan yang sekaligus berupa sanggahan atas persepsi yang dibangun tentang perempuan. Pertanyaannya, apakah perempuan harus bisa masak? Siapa yang mewajibkan itu? Seakan-akan menikahi perempuan hanya untuk mencari pembantu gratis. Yang masak laki-laki juga kan bisa, kenapa harus diwajibkan ke perempuan saja.

Pertanyaan kedua, apakah perempuan harus cantik? Harus bergairah dalam memuaskan hasrat seksual saja? Kalau cuma seperti itu, mending pergi ke tempat prostitusi, cari wanita paling cantik dan membayarnya lalu selesai cerita. Pulang, begitu kira-kira sanggahan dari mas Ahmad.

Pertanyaan ketiga, apakah perempuan harus hamil? Menurutnya pertanyaan ini paling bodoh dan sangat kampungan sekali. Bagaimana tidak, orang soal kehamilan kok hanya perempuan yang jadi sasaran permasalahan. Supaya nanti, kalo perempuan tidak hamil laki-laki bisa cari perempuan lain gitu? Bagaimana kalo laki-lakinya yang mandul? Bisa dong perempuan cari suami baru?

Jelas saya juga tersinggung kalo cara pandangnya seperti itu mas. Kira-kira seperti itu yang akan saya katakana ke mas Ahmad andaikan saya duduk diskusi satu meja di warkop beliau.

Masih menurut mas Ahmad dalam tulisan tersebut, bahwa yang paling penting adalah kewajaran dalam hidup. Artinya, semua orang suka keindahan, kebaikan, kebagiaan. Bukan hanya laki-laki dan perempuan tidak, sehingga mereka dinomor duakan, kadang juga diduakan, “selingkuh”.

Membaca tulisan itu, saya membayangkan sekaligus mengingat beberapa poin yang pernah kami diskusikan. Saya membayangkan bagaimana murkanya mas Ahmad terhadap obrolan dengan cara pandang terhadap perempuan seperti itu. Mungkin kalo sedang ngopi, kopinya sudah tidak sekmat biasanya saat mendengar radio sebelumnya.

Saya juga teringat dengan diskusi beberapa minggu lalu dengan tema “Gender dan Gerakan Perempuan di Indonesia”, dipantik oleh mbak Rara, salah satu teman diskusi saya di Fron Nahdliyyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Komite Yogyakarta.

Sambil menghisap sebat rokok dan menikmati kopi, diskusi kami berjalan seperti air mengalir. Walaupun saat itu diskusi lebih banyak laki-laki, tapi kami tidak saling mendominasi, mensubordinasi, menghegemoni, apalagi merendahkan satu sama lain.

Saya sudah tidak ingat secara tepat pernyataan mbak Rara dan diskusi saat itu, tapi saya ingat betul satu pernyataan saya kepada mbak Rara. Saya bilang ke dia, mbak Rara, seharusnya laki-laki dan perempuan itu punya forum semacam ini. Forum diskusi untuk membicarakan perihan ketidakadilan gender. “Iya’, jawab mbak Rara. Forum saat itu benar-benar santai namun sangat produktif menurut saya.

Saat ini, dalam organisasi juga sudah memisahkan farum antara laki-laki dan perempuan. Semacam negara dalam negara, akhirnya perempuan sibuk dengan urusannya sendiri, begitu juga laki-laki. Karena forumnya kadang dipisah, akhirnya, seakan-akan materi soal gender itu untuk perempuan saja. Walaupun dilain sisi asumsi ini terbantahkan dengan argument bahwa laki-laki bisa baca sendiri, kan tidak ada larangan. Namun menurut saya kurang tepat, akan lebih menarik kalua diskusi tentang gender itu antara laki-laki dan perempuan. Karena menurut saya, persoalan  ketidakadilan gender bukan wacana perempuan untuk memahami ketertindasan, tapi juga laki-laki harus menyadai watak patriarki yang kerap muncul secara sadar maupun tidak sadar.

Fenomena menarik, yang bisa kita lihat keterpisahan ruang perjumpaan idea/gagasan antara mahkluk betina dan jantan itu. Misalnya, ketika perempuan diajak diskusi, kadang kala ada yang bertanya; ada perempuannya enggak? Saya sering mendapat pertanyaan ini. Jelas membuat saya kaget. Loh, kan kamu perempuan, kalo saya ajak diskusi berarti nanti ada perempuannya, kenapa tanya seperti itu.

Ya…mungkin pertanyaan itu lebih kepada ada temannya atau tidak. Tapi menurut saya, tidak  sesederhana itu pertanyaan demikian muncul. Nyatanya sebagian teman-teman saya perempuan di FNKSD yang suka diskusi, tidak pernah bertanya seperti itu. Itu artinya bahwa ada mental yang dibangun atas dasar konstruksi sosial.

Saya teringat dengan salah satu tokoh feminis dan filsuf perempuan dari prancis, mantan kekasih Jean Paul-Satre, yaitu Simone de Beauvoir, ia berkata bahwa “menjadi perempuan berarti menjalani hidup dalam ketakutan. Kaum perempuan takut hidup di dunia yang hampir separuh populasinya merupakan jelmaan binatang pemangsa, karena tidak ada satu faktor pun, entah usia, baju, atau warna, dapat membedakan seorang laki-laki yang akan menyakiti seorang perempuan dengan laki-laki yang baik”.

Boleh jadi pertanyaa semacam itu merupakan hasil konstruksi media, sebagaimana yang dijelaskan mas Ahmad dalam tulisan yang sudah saya ceritakan diatas. Ya kan, bisa jadi perempuan juga menganggap, ah laki-laki kalo ajak diskusi banyak maunya, begini dan begitu. Akhirnya persoalan privat dan publik tidak dipahami olehnya.

Ya…jelas saya juga tersinggunglah kalo seperti itu, dikira saya ajak diskusi itu hanya karena saya seorang bajingan yang semata-mata pengen sesuatu dari perempuan. Sungguh, sebajingan-bajingannya saya, saya tidak bermaksud untuk mengajak diskusi perempuan hanya untuk modus supaya dapat ini atau itu. Intinya saya ajak diskusi, karena itu penting dalam proses belajar. Memang kadang kita lebih bajingan dalam beberapa hal, tapi kalo soal diskusi saya menolak asumsi bahwa ajakan diskusi laki-laki hanya modus belaka.

Kalo orang berpandangan bahwa laki-laki mengajak diskusi hanya sekedar membuka forum antar si betina dan si jantan karena modus belaka, karena ini atau itu. Sungguh saya murka terhadap pandangan demikian, dan jelas saya tersinggung sekali seperti mas Ahmad yang tersinggung.

Penulis, Abdul Haris Nepe

Mahasiswa Hukum Univ. Janabadra

Direktur Constitutional Law Study (CLS) dan Kader PMII

Reporter: KilatNews