Rekonstruksi Nalar dan Pencarian Identitas Baru
Oleh: Anas Shoffa’ul Jannah
Kilatnews.co- HIRUK pikuk tentang isu radikalisme, selalu mengalami dinamika. Tidak luput di tengah pandemi, isu radikalisme justru menjadi momentum empuk para simpatisan gerakan radikal.
Di tengah narasi di rumah saja (work from home), intensitas akses terhadap handpone atau gawai pintar tentu meningkat, tidak menutup kemungkinan siapa pun yang secara nalar social-keagamaan belum mapan akan mudah terpengaruh dan terprovokasi
Belum mapannya social-keagamaan masyarakat tentunya membuat masyatakat dapat dengan mudah terjerembab dalam jaringan pesan berantai. Yang justru bisa mengarah pada kondisi kegaduhan dan kekacauan, bahkan teror di tengah masyarakat.
Pandainya para aktivis gerakan radikal dalam melakukan doktrinasi terhadap calon anggota baru dapat menjadikan siapa pun terpengaruh. Janji manis berupa mimpi-mimpi tatanan kehidupan masyarakat ideal yang (konon) akan tercapai, jika mengikuti pemahaman ala mereka menjadikan pihak-pihak tertentu dapat dengan mudah bersepakat dan bergabung.
Kemungkinan akan masuk kedalam gerakan radikal, bisa dialami oleh siapa pun. Kendatipun sudah berafiliasi pada corak keberagamaan tertentu. Misalnya seseorang yang sejak kecil sudah mengikuti tradisi keberagamaan Islam kultural, yang identik dilakukan dalam tradisi NU. Proses konversi cara beragama atau identitas keagamaan ini sangat dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan-cuci otak (brainwash).
Lantas bagaimana dan atas pertimbangan apa seseorang bisa dengan mudah meninggalkan identitas keagamaan atau identitas kultural yang sebelumnya telah dipahami dan diamalkan? Kemudian menggantinya dengan identitas serta nilai dan norma beragama baru yang lebih radikal dan sangat kaku?
Nilai dan Norma adalah Sebuah Konstruksi
Menurut menurut Peter L. Berger (1929) proses konstruksi tatanan nalar atau pemahaman mengenai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat terjadi melalui beberapa proses. Melalui tahap teoritik dari pemikiran Berger penulis akan memotret tahapan dan proses seseorang bisa tertarik dan kemudian mengganti identitas kultural yang sebelumnya dianut, menjadi identitas baru yang dianggap bisa menajwab kegelisahannya. Berikut adalah tahapannya:
Pertama, proses eksternalisasi adalah proses pemberian tanggapan pada stimulus atau rangsangan yang berasal dari luar diri individu, dan apabila tindakan yang dilakukan telah dianggap mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi maka tindakan itu akan diulang-ulang. Hal ini karena manusia adalah makhluk yang mencari kemapanan dari keamanan dan keselarasan.
Jika dikaitkan dengan proses masuknya seseorang dalam sebuah gerakan. Sebut saja gerakan yang mengarah pada radikalisme proses eksternalisasi adalah proses perkenalan tentang ajaran-ajaran menurut paham kelompok.
Proses perkenalan meliputi banyak hal seperti sumber ajaran, struktur kepmimpinan atau struktur kepengurusan organisasi, visi-misi atau sepak terjang organisasi dan agenda-agenda politik, serta kebijakan atau penindakan (penalty). Jika ada pihak yang melanggar maupun tidak bersepakat dengan paham organisasi atau kelompok.
Dalam proses eksternalisasi, calon anggota gerakan baru tentunya dalam proses mencerna, memahami dan mempertimbangkan berbagai informasi yang didapatkan tentang sebuah gerakan, tidak menutup kemungkinan dalam fase ini, seseorang mengalami tarik-ulur, kebimbangan dan ke-galau-an untuk memutuskan bergabung atau tidak dalam mewujudkan visi-misi gerakan.
Seringkali seseorang yang akan masuk dalam kelompok radikal mengalami kebimbangan. Salah satu faktor yang menyebabkan kebimbangan tersebut. Karena masih adanya ikatan kontrol dari keluarga maupun lingkungan sekitar sehingga kekhawatiran tercerabut dan terasingkan dari akar budaya aslinya masih menghantui.
Narasi-narasi tentang kegagalan atau kesalahan cara beragama terdahulu biasanya menjadi strategi para pendakwah ajaran radikal. Untuk memantapkan calon anggota baru agar segera masuk kedalam jaringan dakwah mereka. Hal ini kemudian melahirkan ambisi untuk mengganti ajaran terdahulu (yang dianggap salah) menjadi ajaran dan praktik beragama baru sesuai pemahaman dan kehendak mereka.
Kedua, obyektifikasi. Tahap ini kesadaran logis akan terbentuk dalam diri manusia sehingga merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi, karena terdapat kaidah yang mengaturnya, tahap ini sekaligus tahap institusionalisasi dan legitimasi. Pada tahap ini pemahaman yang ada dalam masyarakat menjadi realitas yang obyektif.
Pada tahap obyektifikasi ini seseorang sudah mantap memutuskan untuk masuk dalam satuan gerakan radikal. Dan sudah mendapat identitas baru sebagai anggota sah. Seseorang yang sudah resmi masuk dalam anggota dalam gerakan radikal sudah barang tentu harus mentaati segala peraturan serta konsekwensi organisasi atau kelompok sebagai aturan institusi yang legitimate.
Jika mulanya seseorang yang belum masuk dalam gerakan radikal menganggap aksi-aksi terorisme merupakan aksi yang tidak patut dilakukan. Pada fase obyetifikasi ajaran atau aksi yang bisa menimbulkan rasa takut dan ancaman (teror) menjadi hal yang dianggap biasa dan sudah patut dilakukan atas nama jihad. Bahwa realitas yang dilakukan dalam dunia barunya (kelompok radikal) adalah suatu hal yang wajar dan patut dilakukan, terlebih karena adanya legitimasi dalil atas nama agama.
Ketiga, adalah internalisasi sekaligus sosialisasi. Melalui proses ini manusia menjadi hasil produk dari pada (dibentuk oleh) masyarakat. Internalisasi memiliki fungsi mentransmisikan institusi sebagai realitas yang berdiri sendiri. Terutama kepada anggota-anggota masyarakat baru. Sudah brang tentu hal ini sebagai wujud eksistensi gerakan. Melalui internalisasi, realitas sosial menjadi sesuatu yang taken for granted –diterima tanpa dipersoalkan-.
Tahap ketiga adalah proses penyebarluasan ajaran tentang paham kelompok. Dalam gerakan radikal jaringan pertemanan, keluarga dan relasi-ralasi lainnya di dunia maya atau di dunia nyata bisa menjadi media untuk mensosialisasikan ajaran, sekedar memberi tahu atau memprovokasi. Sudah barang tentu agenda pokoknya adalah menggaet anggota baru demi bertambahnya anggota.
Melihat proses-proses konstruksi ajaran dalam gerakan radikal tersebut kritik yang bisa dilakukan terhadap cara beragama kultural yang ada di masyarakat adalah seharusnya ada penguatan kembali pemahaman agama yang bersumber dari dua sumber ajaran Islam (al-Quran dan Hadits) dalam bentuk buku pegangan bersama. Hal ini untuk membekali masyarakat agar tidak mudah ditumbangkan dalam pementahan argumentasi jika cara beragama Islam kultural dianggap bid’ah atau dituduh tidak mempunyai sumber yang jelas atau valid.
Anas Shoffa’ul Jannah. Penulis adalah Santri di Pesantren Budaya Kaliopak, Yogyakarta dan Pesantren Mathali’ul Falah, Kajen Pati