OPINI  

Refleksi Tahun Baru Islam 1443 Hijriah: Menuju Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan

Refleksi Tahun Baru Islam 1443 Hijriah: Menuju Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan

Refleksi Tahun Baru Islam 1443 Hijriah: Menuju Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan

Oleh : Ahmad Farisi

Dipilihnya tanah Arab sebagai titik awal Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad Saw bukan tanpa dasar. Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat yang penuh kebobrokan moral. Judi, mengkonsumsi minuman keras, pelecehan terhadap perempuan dan perbudakan adalah peristiwa kelam yang dulunya menghiasi kehidupan masyarakat Arab. Dehumanisasi perempuan juga terjadi secara massif saat itu. Bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap aib (Eposito 2002). Agama warisan Nabi Ibarahim AS dan Nabi Ismail AS diselewengkan, habis tak berbekas (Susanto 2003).

Selain itu, tradisi keilmuan di kalangan masyarakat Arab juga hampir lumpuh total. Julukan sebagai bangsa jahiliyah disematkan kepada mereka. Kaum Qurasy, penduduk Mekah, yang berkedudukan sebagai bangsawan di kalangan bangsa Arab hanya memilik 17 orang yang pandai menulis dan membaca. Suku Aus dan Khajraz yang merupakan suku dominan di Yastrib (Madinah) hanya memiliki 11 orang yang pandai membaca (Amin 1965). Lengkap sudah. Kebobrokan moral yang ditambah dengan rendahnya tradisi keilmuan memberi tahu kita bahwa, betapa rendahnya bangsa itu.

Baca Juga:

Rekonstruksi Nalar dan Pencarian Identitas Baru

Di tengah situasi dan kondisi masyarakat Arab yang gelap dan penuh dengan catatan hitam itu, datanglah Islam dengan segudang misi pencerahan dan perbaikan moral. Menghapus perbudakan, penghormatan terhadap perempuan terus dikampanyekan, judi tak lagi diperbolehkan, minuman keras juga dilarang, dan tradisi keilmuan juga dikembangkan (Heri Firmansyah, 2019: 70). Semua itu terjadi pasca-Islam datang (dengan proses yang cukup pelik) ke dalam kehidupan masyarakat Arab. Islam menjadi lampu penerang di tengah kehidupan masyarakat Arab yang gelap gulita.

Revolusi moral, akhlak, pengetahuan, pola hidup hingga reformasi politik benar-benar terjadi di dunia Arab kala itu. Reformasi politik yang terjadi di dunia Arab itu salah satunya bisa dilihat dari berdirinya negara Madinah, yang dibangun dan dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Yang oleh banyak ilmuwan politik dinilai sebagai negara yang betul-betul ideal secara politik. Kesetaraan dan keadilan dirasakan semua rakyat. Yang Islam dan yang Yahudi tidak dibeda-bedakan oleh Nabi Muhammad Saw. Semuanya diperlakukan sama secara politik dan hukum.

Pasca zaman kenabian, dibidang ilmu pengetahuan Islam juga memberi sumbangan yang luar biasa. Ibnu Sina, Ibnu Haytham, Ibnu Hisyam, Ar-Razi, Al-Kindy, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, al-Hallaj, al-Khawarizmi dan yang lainnya yang adalah para cendikiawan-cendikiawan muslim yang lahir dari tradisi keilmuan Islam saat itu. Baitul Hikmah, Masjid al-Azhar, Masjid Qarawiyyin adalah tempat-tempat yang dulunya menjadi media perkumpulan para cendikiawan muslim untuk melakukan kajian sains dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Maka tidak mengherankan bila dikatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam telah turut serta mewarnai peradaban dunia. Gustaye Lebon, seorang orientalis mengakui bahwa orang-orang Arab-lah (di masa Islam) membuat kita memiliki peradaban gemilang selama kurang lebih enam abad ini. Syafri Gunawan, melalui artikel berjudul Peranan Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia juga menyebutkan bahwa para ilmuwan muslim adalah para pelopor lahirnya peradaban dunia. Sebab mereka mampu mengembangkan peradaban Yunani Kuno ke dalam kehidupan yang lebih elegan dan maju.

Baca Juga:

Memperingati Peristiwa Genosida Banda Besar

Namun, fakta dan kondisi kekinian menunjukkan bahwa masa keemasan Islam itu hanya menjadi cerita belaka. Alih-alih berkemajuan, banyak negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim hingga kini masih menghadapi banyak masalah, seperti perang saudara yang terjadi di Syiria dan Afghanistan.

Bahkan, tradisi keilmuan yang ada dalam Islam juga terbilang mandeg dan kurang berkembang. Islam tak lagi menjadi pusat produksi para cendekiawan dan ilmuwan terkemuka seperti yang pernah terjadi di masa khalifah al-Ma’mun. Apa yang terjadi hari ini sungguh terbalik dengan apa yang pernah dicapai Islam di masa kenabian dan pasca-kenabian. Islam terjebak dalam kubangan persoalan teologis dan politik kekuasaan, dan di sisi yang berbeda juga kurang responsif dalam menjawab tantangan dan kebutuhan zaman. Berbanding terbalik dengan Islam di masa-masa awal, yang mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan umat.

Bahkan, dalam perspektif yang ekstrem, kini Islam tak lagi menjadi inspirasi, khususnya dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan. Barat yang dulunya banyak belajar kepada Islam, kini malah balik menuduh dan men-stigma Islam sebagai agama teroris (tuduhan ini bermula pasca peristiwa 9 November  2001). Menurut beberapa analis, tuduhan ini memang bersifat politis atau setidaknya timbul karena kesalahpahaman.

Akan tetapi, terlepas dari pandangan itu politis atau tidak, salah paham atau tidak, kemunduran, dan kehidupan umat Islam yang diwarnai oleh kekerasan dan aksi terorisme adalah kenyataan tak terbantahkan. Bahkan dalam konteks Islam di Indonesia. Islam, yang dulunya menjadi inspirasi perjuangan para tokoh bangsa untuk melawan kolonialisme, fakta mutakhir malah menunjukkan yang sebaliknya. Islam seolah-seolah malah tampil sebagai agama yang menghendaki perpecahan dan pembodohan umat.

Mengapa ini bisa terjadi? Islam tidak pernah berubah, ia tetap dengan misi dan posisinya sebagai agama pencerah dan penerang kehidupan umat. Mungkinkah kemunduran itu disebabkan oleh kita yang kian pragmatis nan politis dalam beragama? Camkan itu, Kawan! Karena itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab menyambut datangnya tahun baru Islam 1443 Hijriah sebagai sebuah ikhtiar menuju Islam yang mencerahkan dan mencerdaskan. Wallahu a’lam.


Ahmad Farisi. Penulis adalah Peneliti di Garawiksa Institute Jogjakarta, alumnus PP. Annuqayah