Yang diutamakan media biasanya justru tingginya tingkat kegaduhan yang ditimbulkan. Menganggap justru akan menguntungkan, namun justru ini yang berbahaya. Masyarakat pembaca sebagai konsumen bisa menelan mentah lalu percaya begitu saja serta meyakini sebagai sebuah kebenaran. Memang bukan tugas jurnalis untuk mengungkap kebenaran (kasus), itu wilayahnya kepolisian jika terkait kriminal ataupun pidana. Namun juga tidak salah, malah bagus jika jurnalis turut mengungkap.
Mulai dari judul berita saja kita bisa melihat, mana jurnalis amatir yang semata mengejar jumlah pembaca, dan mana yang profesional menggunakan kaedah jurnalistik. Jika masih diragukan, maka berita cerita, misalnya akan diberi diksi ‘klaim’, ‘konon’ atau ‘diduga’, bukan semata mengutip apa kata narasumber.
Contoh berita Munarman yang bercerita, ‘konon’ markas FPI kedatangan orang dari Kedubes Jerman (2020), maka jurnalis harusnya lebih cerdas berpikir sebelum membuat tulisan.
Ciri jurnalis profesional itu salah satunya adalah kepo atau rasa ingin tahu yang tinggi. ‘Bener gak sih Kedubes Jerman ke markas FPI terkait kematian 6 anggotanya? Bukankah itu melanggar kode etik sebuah kedutaan yang mencampuri masalah politik di Indonesia?’ Ingat peristiwa dubes Palestina yang harus klarifikasi karena datang ke acara deklarasi KAMI beberapa waktu sebelum itu. Kedubes tidak boleh mencampuri urusan negara yang didiaminya.
Baca Juga: Model Belajar Konstruktivisme dalam Menulis Bahasa Indonesia
Apalagi dilakukan secara aktif, dimana pihak kedubes mendatangi markas FPI. Itu satu hal (yang kemudian harusnya bisa dengan mudah mencari konfirmasi kepada pihak Kedubes Jerman).
Hal kedua, peristiwanya kapan? Sepertinya tidak mungkin tengah malam, karena selain tidak etis juga foto yang ditunjukkan dalam keadaan terang dan ramai. Jika itu siang hari, kenapa jurnalis yang banyak nongkrong di area markas FPI bisa tidak tahu kedatangan mobil khusus kedutaan di situ? Ini pertanyaan publik.