ESSAI  

Palingkan Walau Sejenak ke Urutsewu

Gelombang arus bawah

Ojo pisan-pisan niat membela yang benar, benar kuat dibela sombong, salah kuat dibela semakin sombong, lantas siapa yang wajib dibela? Yang wajib dibela adalah yang lemah. (Bung Seniman)

Bilamana ada sebuah kisah, yang menggambarkan perihal tanaman yang hijau dan suara deru ombak yang bergemuruh diterjang angin, tempat itu tak lain dan tak bukan bernama urutsewu. Bak kisah yang diterangkan dalam kisah-kisah nirwana, urutsewu memberikan segalanya.

Menginjakkan kaki di urutsewu sama seperti halnya kita berada dalam ruang yang mampu mengalpakan kesemrawutan dunia. Urutsewu mampu menjadi obat penenang dikala kehidupan sudah tak lagi bisa diajak bertenang.

Di urutsewu kehidupan tidak terbatasi oleh batasan jam dan detik. Burung-burug kecil bersorak-sorai menemani sinar matahari. Sang surya yang merangkak menyingsing mendekati embun pagi adalah tanda bahwa hari baru telah dimulai. Dan bagi pak Seniman suara burung menjadi alarm untuk memulai ayuhan sepedanya menuju kebun. Diurutsewu tak hanya manusia yang harus sarapan pagi, hewan-hewan ternak seperti kambing dan ayam pun memiliki jadwal sarapan yang sepadan dengan majikannya.

Nama urutsewu adalah sebutan yang popular digunakan untuk menyebut semenanjung pantai selatan kebumen dan cilacap. Selain memberikan panorama surgawi, urutswu dianugrahi penduduk ramah dan penuh semangat. Masyarakat yang cenderung agamis tidak menjadikan rakyat urutsewu mabok agama. Tokoh-tokoh agama di urutsewu mampu menjadikan agama sebagai alat perlawanan terhadap kedholiman dan kelaliman.

Basis sosial keagamaan di Urutsewu, mayoritas adalah warga muslim. Kerukunan umat dan kerindangan lingkungan hidup di urutsewu sedikit tergores dengan kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melaksanakan latihan ditanah warga. Menurut keterangan beberapa sesepuh urutsewu, kedatangan TNI hanya dalam rangka meminjam lahan untuk latihan. Akan tetapi TNI mengakuisisi tanah latihan tersebut menjadi milik mereka.

Bila mana kita hendak melihat bagaimana penguasa melakukan kedzaliman dan kelaliman terhadap tanggung jawab dan kepercayaan rakyat, palingkanlah walau sejenak ke semenanjung pantai kebumen selatan. Tanah rakyat diakuisisi oleh Tentara Nasional Iindonesia/Angkatan Darat dengan dalil Peta Minute dan Kepentingan Umum. Padahal jelas dengan mata telanjang kecuali ‘orang buta’, tanah tersebut telah digunakan oleh rakyat urutsewu secara turun-temurun dan sudah tersertifikasi dengan latter C. Ditanah tersebut pula rakyat urutsewu menggantungkan penghidupannya dengan cara bertani dan bercocok tanam.

Tentang peta minute, peta tersebut dibawa oleh TNI untuk menjadi dasar penguat atas akuisisi mereka. Namun keberadaan dan bentuk pasti tentang peta minute sampai sekarang masih belum jelas. Pihak TNI maupun BPN sama sekali tidak dapat memperlihatkan wujud dari peta tersebut. Cerita tentang peta minute tidak jauh berbeda dengan cerita supersemarnya Suharto yang melengserkan Soekarno.

Tak sampai disitu, bupati kebumen pun melakukan pembiaran dan cenderung memberikan sikap yang afirmatif terhadap tindakan yang dilakukan oleh TNI AD. Bung Sunu sebagai salah satu tokoh gerakan urutsewu, geram tanpa ampun terhadap tindakan yang dilakukan bupati tersebut.

Tindakan bupati kebumen bila dimintai keterangan terkait dengan konflik agraria di urutsewu selalu mengelak. Terakhir, bupati mengelurakan pernyataan bahwasanya konflik yang terjadi di urutsewu adalah urusannya Badan Pertanahan Nasional, bukan urusan Bupati. Bung Sunu pun merasa pernyataan bupati tersebut seperti lelucon srimulat.

Padahal dalam Perpres No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria, Penyelenggaraan reforma agraria dilakukan pemerintah pusat dan daerah melalui 2 tahapan, yaitu : perencanaan dan pelaksanaan reforma agraria.

Perencanaan reforma agraria antara lain penataan aset terhadap penguasaan dan pemilikan tora; peningkatan kepastian hukum dan legalisasi atas tora; penanganan sengketa dan konflik agraria. Dengan dasar tersebut gugurlah pernyataan bupati bahwasanya konflik agraria di urutsewu adalah tanggung jawab BPN belaka.

Tak hanya konflik akuisisi tanah oleh TNI, PT NMC Perusahaan pasir besi asal Australia telah berdiri diatas tanah sengketa. anehnya salah satu purnawirawan TNI AD juga memiliki sebagian saham di perusahaan tersebut. Ijin eksplorasi dan eksploitasi lahan dilakukan tanpa adanya sosialisasi dan pemberitahuan kepada masyarakat.

Tindakan tersebut menjadikan masyarakat semakin geram terhadap penguasa. Mengaca pada urutsewu, negara hari ini tidak lagi menjadi lembaga aspiratif masyarakat. Negara dan kekuasaan berubah menjadi entitas yang nir-kemanusiaan dan nir-demokrasi.

Bung Seniman, Bung Sunu dan seluruh masyarakat urutsewu memiliki pernyataan besar bahwasanya di urutsewu, tak ada bedanya antara negara dengan kartel. Bilamana kita hendak melihat bagaimana dahulu Bung Karno begitu ketakutan terhadap cengkraman neo imprealisme, dengan melihat urutsewu ketakutan tersebut nyata adanya. Kemerdekaan pun hanya menjadi ruang imajiner dan alat pemuas kerakusan penguasa. Kita pikir dengan kita merdeka rakyat akan bebas dari kartel tanah dan seperangkat hak lainnya. Nyatanya, pasca kemerdekaan monster kedholiman itu berubah bentuk menjadi saudara sendiri.

Bila usul ditolak dan suara dibungkam maka hanya ada satu kata, Lawan! Begitulah kiranya bilamana kita hendak mendeskripsikan semangat perlawanan rakyat urutsewu. Pembangunan gerakan sosial kolektif dalam menolak akuisisi lahan dan perusahaan pasir besi digalakkan. Sejauh ini terbentuk Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), Tim Advokasi Petani Urutsewu-Kebumen (TAPUK), Jaringan Petani Urutsewu (JARISEWU). Kesemuanya bertujuan untuk mengorganisir rakyat dalam menciptakan iklim pertahanan diri dan kemandirian rakyat.

Semangat perjuangan rakyat urutsewu adalah semangat membela kaum mustadafin (lemah). Semangat perjuangan masyarakat urutsewu tidaklah jauh berbeda dengan semangat para founding father bengsa. Satu persatu masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya gerakan kolektif. Kebersamaan dalam membangun kekuatan untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh penguasa adalah kekeliruan besar.

Semangat kebersamaan yang dilakukan oleh rakyat urutsewu untuk mempertahankan hak atas tanahnya secara koletif membuat pihak lawan (TNI-AD) tidak berdiam diri. TNI AD melakukan penghasutan terhadap sebagian warga untuk mendukung pihaknya dalam kasus akuisisi lahan. Sejauh ini, ditemukan tambak udang disejumlah wilayah konflik untuk mengalihkan pekerjaan warga dari petani menjadi pekerja tambak. Dengan demikian, ketika para petani beralih profesi menjadi pekerja tambak maka akan memudahkan TNI AD untk mengambil tanahnya sebab tanahnya sudah tidak digunakan lagi untuk bertani.

Konflik yang terjadi di urutsewu menodai citra kemakmuran urutsewu sebagai wilayah yang aman tentram (baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur). TNI AD yang memiliki tugas untuk mengayomi dan memberi rasa aman terhadap warganya malah menjadi aktor yang menakutkan dan bahkan menginjak-injak hak rakyatnya.

Dalam sejarah, tidak pernah ada militer yang bisa diajak komunikasi dengan kepala dingin dan keterbukaan hati. Senjata tidak akan pernah bisa diajak berkomunikasi. Apakah ada yang salah dengan sistem pendidikan militer. Mengapa milter tidak pernah membawa kemanusiaanya dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Di urutsewu, militer memiliki rekam jejak yang buruk. Pada tahun 1997, militer meninggalkan bom mortir di areal warga, sehingga ranjau tersebut mengenai salah satu anak warga yang sedang bermain di daerah tersebut. Dan sampai sekarang kejadian itu tidak pernah ada kejelasan dari pihak TNI AD dalam melakukan tindakan tanggung jawab.

Pihak orang tua korban meskipun sudah mengikhlaskan, namun kejadian tersebut tetap membekas dilubuk hatinya. Kejadian menyedihkan itu akan terus menghantui pikrannya dalam tidur dan terjaga. Ironisnya, TNI AD tidak pernah merasa bersalah, sebab sampai sekarang tidak ada ganti rugi ataupun tanggung jawab.

Kejadian di Urutsewu adalah salah satu dari sekain besar masalah agraria di Indonesia. Reforma agraria yang dibawa oleh jokowi belum mampu menjawab tantangan penyelesaian konflik. Potensi konflik agraria tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di daerah yang lain, baik kota maupun desa, dari penggusuran hingga akusisi lahan. Maka sudah sepantasnya civil society hari ini, secara kolektif membangun pertahanan diri dan pemabangunan paradigma larn reform agrarian 1960 untuk membendung kedholiman dan kelaliman penguasa.

Penulis, Rizki Maulana Hakim

Mahasiswa Fakultas Hukum Janabadra Yogyakarta