Oposisi itu Bernama Rocky Gerung

Oleh : A. Fahrur Rozi

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kilatnews.co- Rocky Gerung dapat dikatakan sosok yang pamiliar bagi masyarakat Indonesia. Dia seorang akademisi, wajahnya kerap muncul dilayar kaca. Tak salah, kalau dirinya memiliki banyak penggemar, sekaligus dibenci. Meski demikian banyak khalayak belum begitu tau, siapa sebenarnya Rocky Gerung? Mengapa dia selalu hadir kontroversi?

Sebelum pada prinsip oposisinya terhadap pemerintah—rezim Joko Widodo—saya akan menghadirkan sosoknya di sini, tentu sesuai dengan porsi yang standar sehingga dapat diterima khalayak sebagai kebenaran umum yang univesal dan pijakan yang memicu kontroversi. Tujuannya, agar orang yang kagum kepadanya tidak bertambah kadar kekagumannya, dan orang yang membencinya juga tidak bertambah kadar kebenciannya.

Rocky Gerung, lahir di Manado pada 20 Januari 1959. Seorang intelektual berlatar institusi Universitas Indonesia, Dosen Filsafat di sana setelah sebelumnya menjadi mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional dan lulus sebagai Sarjana Filsafat di kampus yang sama. Dengan latar keilmuannya itu, dia tampil di media sebagai seorang intelektual oposisi pemerintah yang selalu memberikan stigma negatif terhadap kebijakan pemerintah.

Baca Juga:

Meraba Denyut Eksistensi Mahasiswa Di Masa Pandemi

Saya kira cukup deskripsi kepribadiannya. Sekarang beralih kepada prinsip, teori dan konsistensinya yang selalu tampil di depan publik secara eksplisit dengan premis ‘kedunguan’. Sebenarnya titik fundamental dari pemicu kontardiktif adalah dia hadir dengan anasir atau stigma dari sudut keilmuan filasafat yang memaksa kita berkamuflase dengan rasionalitas berfikir dan mendasar.

Ironinya, di berbagai kesempatan forum dialektik, seperti Indonesian Lawyers Club (ILC) atau Mata Najwa, dia selalu dipertemukan dengan orang-orang yang befikirnya terbatas pada kungkungan konservatisme peran dan kekuasaan karena ikatan struktural, prosedural dan konstitusional. Sehingga perspektif etis kemoralan dipertemukan dengan wajah kepentingan yang mengikat dan mendogmatis.

Di sana dua konsep berfikir dipertemukan. Dua cara pandang yang menemukan jalan buntu konklusi karena adanya sekat kesepahaman di antara keduanya. Kebenarannya menjadi nisbi dan relatif karena rasisme peran dan kepentingan. Kebenaran menjadi tidak absolut. Absurditasnya memainkan kepercayaan publik—sasarannya di sini tentu legalisasi kebijakan dan legitimasi rakyat terhadap pemerintahan Jokowi.

Bahkan di ranah teologis, Rocky tidak tanggung-tanggung memberikan sebuah konstansi bahwa kitab suci bersifat fiksi. Menurutnya, fiksi bagus karena keberadannya secara epistemik membangun imajinasi ekspresif menuntun seseorang sampai kepada kepercayaan yang bersifat mistik (ghaib). Term “fiksi” itu sendiri bersifat fiksional—keluar dari makna umum kata “fiksi” dipahami secara kebiasaan—untuk membangun pola imajinatif terhadap janji dan pengharapan.

Baca Juga: 

3 Strategi Jokowi Hidup Bersama Covid-19 yang Perlu Kamu Ketahui

Dalam konteks fiksi ini, imajinasi menjadi ekspresi mewujud tindakan, sifat dan karakter menyambut pengharapan—dalam islam, kita mengenal relasi kebatinan di mana seorang hamba memantaskan diri untuk mendapatkan rahmat-Nya. Namun fiktif dalam pemahaman umum tetaplah fiktif yang terbatas pada omong kosong atau dibuat-buat. Sehingga penyematannya terhadap kitab keagamaan cenderung buruk dan tidak dapat ditoleransi.

Kasus serupa juga menjerat Syekh Siti Jenar dengan konsep ideologis Manunggaling Kawula Gusti. Karena konsepnya itu, Siti Jenar harus berakhir pada eksekusi mati yang merupakan keputusan dari Wali Songo dalam mengadili pemahamannya yang dianggap sesat-menyesatkan.

Padahal secara eksplisit, dapat kita simpulkan Siti Jenar memberikan dogma bahwa; manusia adalah makhluk yang tidak memiliki kekuatan selain bergantung pada penciptanya; keberadaan jiwa manusia adalah pemberian tuhan. Namun semiotika “menyatu dengan tuhan” tidak dapat dibenarkan dan implikasinya menyesatkan.

Begitupun dalam konteks kebebasan dan aturan. Rocky melihat kebebasan bersifat absolut tanpa bayang-bayang kewajiban atau larangan. Eksistensi manusia hadir bersamaan dengan kebebasan yang mutlak. Esensialnya tidak bisa diotak-atik. Adanya regulasi untuk membatasi kebebasan menjadi “bebas yang bertanggung jawab” tidak merobohkan pendirian Rocky dalam melihat kebebasan.

Kebebasan semacam demikian tetap didikte oleh kekuasaan. Kontekstualnya cukup jelas dalam melihat isu mural Jokowi 404 Not Found di mana penyematan negatif muncul karena mengandung unsur sindiran dan kritik kepada pihak yang berkuasa. Kalaupun seandainya mural terdapat pujian dan apresiatif, apakah demikian juga halnya? Bagi Rocky, kebebasan tidak dapat ditegakkan dalam kasus ini. Bagaimana mungkin seseorang mendeskripsikan kinerja pemerintahan dengan ekspresi nilai seni mural dijerat undang-undang?

Tak terkecuali Presiden Jokowi yang disematkan pemerintah dungu atau pemerintah tidak paham pancasila oleh Rocky. Dalam konteks pemerintahan dan kebijakannya, sedikit koreksi, sebenarnya pandangan kontroversi Rocky di muka publik—lebih tepatnya di depan lawan debatnya—juga berdasar pada dominasi peran rasial oposisisnya. Dia menilai secara parsial hal yang menyangkut pemerintahan adalah kedunguan. Oposisi mendikte keilmuan filsafat dan nalarnya menolak kebenaran menjadi milik pemerintah, seolah-olah pemerintah adalah kesalahan, tak lebih saya akan menyebutnya dengan rasisme peran oposisi.

Baca Juga:

Presiden PKS: Demokrasi Indonesia di Masa Pemerintahan Jokowi Alami  Kemunduran

Keberadaan Rocky saat ini adalah memedihkan bagi pemerintahan. Dia tidak ubahnya Sokrates di negara Athena yang dieksekusi mati karena konsep kenegaraannya menentang rezim penguasa. Meskipun dengan idenya Rocky menggagas etis kemanusiaan di mana hak-hak dapat dipenuhi, tapi publik tidak dapat menginternalisasi nalar berfikirnya dengan penggunaan semiotika yang lepas dari pemahaman umumnya.

Rocky akan menjadi ancaman bagi legitimasi pemerintah saat ini—terlepas dari kontekstualisasi kebenarannya. Alih-alih pemerintahan menggalak influencer untuk merealisasikan kebijakan secara apik, Rocky dengan ide oposisinya selalu memberikan catatan negatif dengan tanpa ragu menelanjanginya di depan publik. Kepercayaan publik di sini diobrak-abrik. Legitimsi rakyat terhadap pemerintah menurun. Regulasi dan kebijakan tanpa adanya kepercayaan publik akan gagal, bahkan sebelum rencana itu digalakkan.

Pemerintah perlu memberi respon khusus untuk Rocky yang satu ini. Harus ada eksekusi meski tidak serupa. Melihat peran oposisi Rocky dijadikan pijakan dalam mengkritik pemerintah, taktik untuk mengalienasi peran yang mengungkung Rocky selama ini mungkin bisa diagendakan. Apapun caranya, seperti menjanjikan jabatan di parlemen contohnya. Tentu jangan negatif dulu. Alienasi peran oposisi di sini bukan untuk menggalakkan sistem oligarki untuk membungkam demokrasi. Tapi lebih kepada uji nalar berfikir Rocky ketika sudah dikontaminasi dengan kekuasaan yang melekat padanya. Komparatif nalar dari dua peran.


A. Fahrur Rozi. Penulis adalah Peneliti di Distrik Insitute Jakarta