New Normal: Disrupsi Peradaban dan Perubahan Kebudayaan

Setiap upaya diagnosa dan terapi atas persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitannya dengan konstelasi global, niscaya akan menemui kegagalan.

-Hasyim Wahid-

SEJAK awal tahun 2020 hingga 2021, situasi dunia masih berada dalam wacana pandemik Covid-19. Setiap negara berusaha mencari alternatif untuk menjawab persoalan tersebut, tanpa terkecuali Indonesia adalah salah satunya.

Situasi demikian sesungguhnya membutuhkan tanggapan kritis oleh setiap anak bangsa, memahami secara kritis arah perubahan dunia agar tidak tergilas oleh jaman. Singkatnya bahwa gerak sejarah bukanlah tanpa sebab, ia adalah hasil dialektika secara terus-menerus dalam sebuah proses sosio-historis.

Menariknya, jika kita secara kritis membaca situasi di Indonesia. Bersamaan dengan isu Covid-19, berbagai peristiwa terjadi telah memberi sinyal kuat terhadap kecenderungan negara pada oligarki/plutokrasi. Mulai dari revisi UU KPK, UU MK, proses perancangan sampai pengesahan Omnibus Law, hingga perampasan tanah masih saja terjadi.

Ironisnya, negara selalu menggunakan dalil pertumbuhan ekonomi dalam persaingan pasar global, kepentingan umum (untuk merampas tanah rakyat), investasi dan masih banyak lagi. Semua itu terjadi bersamaan dengan setuasi covid-19, maka jangan heran ketika orang tidak lagi percaya terhadap isu pandemik, sebab negara terlihat abai terhadap kondisi dan terus menjadi kaki tangan korporat untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja.

Dari problem bernegara dewasa ini, saya akan coba mendudukkan kerangka konsep untuk membaca konstelasi isu yang berakibat pada disrupsi peradaban. Dengan demikian kita akan lebih mudah untuk memahami arah perubahan kedepan agar mampu mempersiapkan diri. Jika kita hanya menerima sesuatu begitu saja tanpa pembacaan secara kritis, kita hanya akan masuk pada jeratan issu yang sarat dengan kepentingan hegemonik.

Sebagai upaya, tulisan ini hanya berupa pemantik untuk melanjutkan diskursus kritis bagi yang membaca dan tertarik. Tentunya mereka para pecinta literasi ilmu pengetahuan, bukan yang hanya mengandalkan lifestyle.

Covid-19 sangat erat kaitannya dengan konstelasi ekonomi-politik global, pergeseran geopolitik dunia hari ini, membuat negara-negara imperialis saling bertarung dengan kekuatan penuh untuk menjadi penguasa dunia.

Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi strategis, menjadi panggung pertempuran antar negara. Memang tidak terlihat, sebab bentuk perang sudah berubah dari perang militer ke perang ekonomi, budaya, psikologi, yang semuanya itu menggunakan piranti teknologi canggih. Itu artinya medan pertempuran juga sudah beda, bukan lagi di hutan belantara melainkan lebih dekat dengan kita. Jika tidak berlebihan, dapat dikatankan perang lebih dekat dengan kita dari pada Tuhan.

Dalam pengantar buku (Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Hasyim Wahid, dkk: 1999), M. Arif Hakim menjelaskan bahwa “sejak mulai awal berdirinya, hingga kini, agaknya nama Indonesia tidak pernah lepas dari konstelasi dunia (global). Dalam sejarah Indonesia, banyak bukti menunjukan bahwa Indonesia sering dikendalikan wacana “asing” yang (kadang) berwatak imperialistik. Bangsa Indonesia sering dijejali dan atau terpuruk dengan wacana dari “luar” yang (kadang) membuat indoneisa masuk dalam lingkaran hegemoni. Sebut saja misalnya kosakata berikut: Nation-State (negara-bangsa), politik etis, nasionalisme, developmentalisme (pembangunanisme).”

Sebelum muncul pandemik, ada beberapa peristiwa penting yang harus disoroti, sehingga kita mampu melihat secara jelas keterkaitannya dengan problem di Indonesia. Salah satunya adalah pertemuan IMF & WORD BANK di Bali pada 2018.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds/IMF) menjelaskan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan cina akan sangat berdampak pada negara-negara dunia ketiga, walaupun yang nampak dalam perseteruan itu hanya Amerika Serikat dan cina (baca: tirto.id:11/10/2018). Sehingga kedua negara dihimbau untuk menurunkan tensi persaingan, hal itu bertujuan untuk menata kembali perekonomian dunia yang kini mengalami transformasi besar dari kemunculan teknologi canggih.

Membaca Arah Perubahan Kebudayaan

Revolusi industri abad ke-18 di inggris, menjadi titik tolak transformasi peradaban umat manusia. Perubahan besar yang terjadi di bidang alat produksi, ditemukannya mesin uap telah mampu memposisikan tenaga mesin sebagai sentral dalam berproduksi, sehingga spasi waktu dalam menghasilkan produk dapat dipersingkat. Seiring dengan hal itu, teknologi terus berkembang secara pesat hingga kini kita memasuki di era teknologi canggih.

Perkembangan terus-manerus sejatinya tidak selalu membawa kabar baik bagi negara dunia ketiga. sebaliknya, malah menjadi sebuah tantangan tersendiri yang berkaitan erat dengan kesiapan suatu negara. Indonesia sendiri secara historis mengalami patahan sejarah dibidang teknologi, ini jelas berdampak pada kesiapan sebagai bangsa dalam menerima produk dari luar akibat kemandulan historis.

Melihat fenomena isu dan kondisi sosio-politis saat ini, menandai sebuah fase baru dalam peradaban umat manusia. Dimana munculnya teknologi canggih memberi dorongan kuat untuk semuanya serba online, “teknologi canggih menciptakan kapital konsentrasi yang dikendalikan langsung oleh sistem jaringan”. Jika dibahasakan secara sederhana bahwa inilah dunia baru, dunia liar, dunia barbar, dunia dimana orang menjadi tuan sekaligus budak dirinya demi keuntungan kapitalis.

Kapital konsentrasi mampu mengendalikan keinginan manusia lewat dunia yang diciptakan melalui hanphone, bersamaan dengan itu setiap orang dipaksakan menjadi seperti yang mereka lihat di layar hanphone-nya masing-masing. Dibalik fenomena demikian itu, terdapat kepentingan global yang terselubung. Bias berupa ideologi politik penguasaan sumber daya.

Bahaya laten dari semua ini, apabila tidak disadari akan merusak stabilitas sosial. Ketidaksiapan mental dalam menerima realitas baru dapat membuat manusia hidup hanya dengan ekspektasi kosong yang dihasilkan melalui konstruksi media.

Mimpi yang sering memberi kekuatan motivasi kepada individu, berbalik menyerang dirinya sendiri, orang bahkan takut bermimpi dan memilih untuk tunduk pada kekuatan yang memaksa dirinya. Keadan terjebak demikian digambarkan oleh Jean Paul Satre bahwa “manusia modern, menemukan dirinya ditengah realitas dan pinsan dihadapannya sendiri”.

Anthony Giddens dalam karyanya “The Consequences of Modernity, 2004″ telah mendiskusikan hal ini, bahwa kita sudah memasuki dunia dimana ada sebuah “ketidakpastian buatan”. Hal itu terjadi karena manusia sudah semakin jauh dengan realitas, mereka lebih banyak menghabiskan waktu hidup dalam realitas semu, yang sejatinya memiliki artian sama dengan mayat belum terkubur.

Menarik untuk dipahami ungkapan Simeno de Beauvoir “menjadi seorang perempuan berarti menjalani hidup dalam ketakutan. Kaum perempuan takut hidup di dunia yang hampir separuh populasinya merupakan jelmaan dari binatang pemangsa, karena tidak ada satu faktor pun, entah baju, atau warna, dapat membedakan seorang laki-laki yang akan menyakiti seorang perempuan dengan laki-laki yang baik. Dikutip dalam (Bayond Left and Right: The Future of Radical Politics. Hal-384. Anthony Giddens). Ini merupakan sebuah gambaran situasi ketika munculnya modernitas.

Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan

Disamping adanya patahan sejarah Indonesia di bidang teknologi, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan oleh negara dalam menerima dunia baru ini. Faktor tersebut adalah adanya kesenjangan antar wilayah. Kesenjangan antar wilayah berakibat pada belum meratanya penggunaan teknologi dilingkup masyarakat, membuat sebagian orang belum memiliki kesadaran berteknologi.

Selaku warga negara, negara harus mampu mengambil peran sentral dalam mempertahankan eksistensi warga negara yang sering disebut tertinggal. Bila negara abai, orang yang kurang memiliki kesadaran berteknologi hanya akan mengalihkan perilaku kesehariannya dalam dunia maya. Sederhanya ia hanya akan berubah dari perilaku yang non-online ke online, ujungnya adalah konsumerisme tanpa batas.

Dapat dipahami bahwa peradaban umat manusia sudah mencapai puncak dari era teknologi canggih, dimana semuanya akan dikontrol melalui sistem jaringan, ini yang sering disebut “kapital konsentrasi”. Dengan demikian, maka seluruh umat manusia harus bertransformasi kedalam teknologi, dalam artian bahwa semua aktifitas dijalankan melalui online. Isu globalisasi sudah mencapai puncaknya, dan era baru ini akan melahirkan konsekuensi baru pula yang berbeda dari sebelumnya. Apa yang diprediksikan oleh Kinichi Omhea dalam “Borderless Capital” sudah mendunia dan mengakar dengan sangat kuat.

Negara harus mempertimbangkan secara kritis dalam menerima sesuatu dari luar, jangan hanya mengikuti arus informasi di media sosial, lalu berkeinginan lebih tanpa memperhatikan factor-faktor dalam masyarakat. Rakyat dan penguasa harus mampu melahirkan sebuah consensus baru dalam sejarah bernegara kita, dengan tetap berkaca pada makro historis. Jika tidak dipertimbangkan dengan baik, negara akan mengalami rezim hegemoni yang lebih kejam.

Hal ini telah diprediksi oleh Hasyim Wahid dalam artikel berjudul “Mengaca Konsensus Nasional Dalam Makro Historis”, bahwa situasi dunia saat ini membutuhkan konsensus nasional baru. Namun bukan mengulang konsensus yang sudah pernah ada, kita harus membuat yang baru berskala seperti yang pernah terjadi bahkan melebihi hal itu. Tanpa hal itu, Indonesia akan mengalami “bivokrasi”. “Dimana kita akan me-reorganisasi diri pada sebua sistem atau kita punah sebagai suatu sistem”.

Lebih lanjut Hasyim wahid menegaskan bahwa kita harus mampu keluar dari jeratan hegemoni, karena akan mengarahkan bangsa ini pada “Balkanisasi (pecahnya bangsa dan runtuhnya teritorial negara) atau Afrikanisasi (pecahnya bangsa tanpa runtuhnya negara). Contoh dari keduanya; Balkanisasi seperti Yugoslavia, ketika pecah menjadi kroasia, bosnia, dan sebagainya. Sedangkan, Afrikanisasi negaranya tidak pecah tapi berkelahi terus-menerus, seperti Rwanda, Nigeria, Sudan dan sebagainya”.

Pandemic Covid-19 bukan hanya sekedar isu penyakit virus menular yang mematikan, dibalik itu ada perseteruan geopolitik dunia. Indonesia dengan memanfaatkan takdir geopolitiknya secara cermat, akan memungkinkan bisa keluar dari hegemoni negara luar.

Asia saat ini menjadi wilayah yang menawarkan peluang pasar dunia, dan Indonesia berada tepat pada jalur sutra perdagangan dunia. Itu harus mampu dibaca dan dimanfaatkan dengan baik, agar tidak menjadi bangsa yang ikut-ikutan dalam pemberhalaan teknologi canggih.

Penulis, Abdul Haris Nepe

Mahasiswa Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta dan Kader PMII Daerah Istimewa Yogyakarta