Menyiapkan Diri Hadapi Ujian Kehidupan

Kilatnews.co Belakangan banyak orang yang sensi, mudah tersinggung, marah bahkan kemudian bisa berlaku kasar hingga membunuh. Digodain ngambek, salah sedikit gak terima, cemburu jadinya ngamuk, patah hati malah galau, maunya memaksakan kehendak, mencari musuh, mencari pelampiasan amarah, menebar kebencian. Ada apa?

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Menyiapkan Diri Hadapi Ujian Kehidupan

Lihat saja, ingin menyampaikan aspirasi harus menuntut kehendak melalui pengerahan massa, jika tidak boleh atau tidak diperkenankan maka pemerintah dicap tidak demokratis. Aksi unjuk rasa dibubarkan karena melebihi waktunya, tidak terima, aparat dianggap represif. Kesalahan satu orang jadi urusan orang banyak, giliran disalahkan maunya membela diri, merasa benar sendiri.

Ada lagi berita hoax bak jalangkung datang gak diundang pulang gak diantar, langsung diterima sebagai kebenaran dan turut menyebar-nyebarkan. Harga cabai naik sewot, BBM naik demo, timnya kalah suporter meradang. Rebutan warisan sampai membunuh saudaranya. Tidak mau bertanggungjawab, membunuh pacar yang tengah hamil. Tidak ingin malu, membuang bayi yang tidak berdosa. Banyak lagi.

Bagi orang yang beriman, masalah-masalah tadi disebut sebagai ujian hidup dan kehidupan. Sementara bagi orang yang tidak memiliki pegangan hidup, masalah adalah bencana ataupun petaka. Petaka dan bencana memang harus dihindari bahkan dijauhi, sementara ujian harus dihadapi dan diselesaikan. Bukan seberapa benar menjawabnya, tapi seberapa tegar menghadapi ujian tersebut.

Baca Juga: Romantisme dalam Naskah Kuno Syair Ken Tambuhan

Ujian tertulis di bangku sekolah dapat dijadualkan, sebulan berapa kali, per tiga bulan berapa kali, hingga dalam semester dan tahunan. Materi yang akan diuji pun sudah jelas dan kira-kira bisa diprediksi berapa nilainya. Ditambah lagi beberapa hari sebelum ujian diberi kesempatan mempelajari atau menghafal bahan-bahan materi ujiannya.

Hal ini mungkin yang membuat belajar atau sekolah itu menjadi sangat membosankan. Mungkin kah jika ujian di sekolah itu dibuat seperti ujian dalam kehidupan? Datang dengan tiba-tiba, bahkan tidak diketahui jika itu ujian. Materinya tidak diberitahu, tingkat kesulitan dan mungkin ketegangannya bisa berbeda-beda?

Kira-kira seperti itulah ujian kehidupan. Pernahkah kita mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu menghadapi saat ujian itu datang? Mengapa butuh persiapan? Karena setiap orang bisa berhasil menjawab ujian kehidupan, namun juga bisa gagal. Ukuran yang digunakan memang bukan nilai akademik, melainkan etika, norma dan segala aturan yang berlaku di masyarakat.

Marah, sensitif, tergesa-gesa, stress, provokatif, merusak, berseteru, memperpanjang masalah, hingga melakukan tindakan yang dapat dikategorikan melanggar hukum, adalah komponen dari nilai-nilai GAGAL dalam menghadapi ujian kehidupan. Sementara ketenangan, berpikir jernih, komunikatif, kreatif, bijaksana, solutif, sabar, merupakan komponen yang dianggap LULUS.

Baca Juga: Panji Murtaswara : Kisah Romansa Kesatria Dari Jenggala

Jadi, ketika kita mendapatkan sebuah ujian kehidupan, maka janganlah terlalu berpikir su’udzon dahulu. Diberi kesempatan menghadapi ujian kehidupan adalah baik, agar senantiasa terlatih. Namun demikian, ujian kehidupan juga tidak perlu dicari-cari. Mencari ujian kehidupan itu mudah, tapi menyelesaikannya yang sulit. Kita memang wajib mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu harus menghadapi ujian seperti itu.

Ada dua hal yang perlu dipelajari, yakni yang berkait dengan “materi” serta soal “cara”. Materi yang dimaksud tentu saja hal-hal yang berkait dengan kehidupan, misal soal kendaraan mogok, tidak tersedia makanan, ada bencana alam, sakit, dan sebagainya. Untuk itu kita harus menguasai dan terampil akan banyak hal dalam kehidupan. Jika kita tidak menguasai akan satu hal, bisa juga mulai memikirkan antisipasinya.

Terkadang kita pun belajar materinya saat menghadapi ujian tersebut. Tidak pernah terduga bahkan tidak pernah kita inginkan, namun akhirnya datang juga, dan mau tidak mau kita harus belajar. Sedangkan “cara” adalah lebih kepada respon atau sikap kita menghadapinya. Kalut, bingung, stress dan galau (bahkan ada yang cenderung merusak diri sendiri) adalah gejala-gejala umum bagi seseorang yang belum pernah ia pelajari sebelumnya.

Kadang pula, respon atau sikap ini jauh lebih penting ketimbang materi ujian itu sendiri. Meski kita belum pernah belajar apalagi menguasai salah satu materi ujian kehidupan yang dimaksud, namun karena pembawaan diri yang tenang dalam menyikapi, maka setidaknya nilai ujian tidak terlalu jeblok (meski belum menyelesaikan masalah, setidaknya tidak menambah masalah baru, ataupun bertambah buruk).

Satu prinsip yang perlu ditanamkan bahwa tidak ada masalah yang tidak terselesaikan ataupun terpecahkan. Persoalannya, ada masalah yang dapat diatasi hanya dengan melakukan sebuah lompatan kecil dan waktunya relatif cepat. Sementara ada pula yang harus menyeberangi lautan luas penuh gelombang dan waktunya lama, namun yakinlah tetap terselesaikan.

Baca Juga: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban KDRT

Soal respon atau sikap, ada pula yang semata mengandalkan kekayaan (prinsipnya, semua dapat diatasi dengan duit). Ini tipe orang yang suka menyepelekan dan tidak pernah mau belajar apalagi berusaha keras (seperti kalau di sekolah seringnya mencontek atau minta tolong orang lain mengerjakan). Ada pula yang mengandalkan posisi kedudukan/jabatan dirinya, orangtuanya, saudaranya, dll.

Ada ujian yang berat, ada pula ujian yang ringan yang akan dihadapi. Maka bertanggung jawablah untuk menyelesaikannya. Orang yang mau bertanggung-jawab adalah seberani-beraninya orang, dan orang yang sabar adalah sekuat-kuatnya orang. Sayangnya tidak ada bimbel yang bisa melatih orang seperti itu, ya.

Reporter: KilatNews