Menormalkan Logika dalam Karya Sastra
Oleh : Fiana Afifah
KilatNews.Co – Sastra, merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Sansekerta, yaitu ‘shaastra’ yang berarti “teks yang mengandung undur instruksi” atau lebih dikenal dengan istilah ‘pedoman”. Kata ‘shaastra’ sendiri sebenarnya berasal dari kata dasar ‘sas’ atau ‘shaas’ yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, sedangkan kata ‘tra’ berarti sebagai alat atau sarana.
Perlu untuk kalian tahu bahwa sastra ini bukan hanya sebuah teks yang hanya berisi intruksi ajaran. Tapi, lebih dari pada itu sastra sebenarnya adalah tulisan yang memiliki sebuah arti dan keindahan tersendiri. Terkhusus mereka yang memang mencintai sastra, maka akan selalu melihat nilai keindahan tersendiri dari karya yang dinikmatinya.
Jadi, sastra adalah sebuah ungkapan ekspresi manusia yang dituangkan dalam rupa lisan maupun tulisan berdasarkan pemikiran, pendapat, pengalaman, bahkan hingga ke perasaan dalam bentuk yang imajinatif. Serta berupa kenyataan atau data asli yang dibalut dalam kemasan estetis melalui media bernama bahasa.
Terlepas dari pengertian sastra yang sudah dijelaskan, tentunya kita sudah tidak heran bahkan asing bila sastra memiliki hubungan yang begitu erat dengan logika. Karena sejatinya, sastra tidak akan jalan tanpa adanya logika yang dimainkan.
Berbicara mengenai logika, sebenarnya apa sih pengertian logika itu? Jadi, pengertian logika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah pengetahuan tentang kaidah berpikir, atau sederhananya logika adalah jalan pikiran yang masuk akal.
Perlu diketahui bahwa di dalam sastra logika itu menjadi kunci utama. Karena, seperti yang sudah diketahui banyak orang bahwasanya sering sekali ditemukan fenomena-fenomena atau kisah, bahkan bait sastra yang bila di telusuri terkadang tidak sinkron dengan pemikiran manusia normal pada umumnya. Bahkan terkadang sering sekali kita menemukan peristiwa absurd yang tidak sesuai dengan kondisi normal.
Tetapi itulah yang justru menjadi daya tarik didalam dunia sastra, karena setiap karya sastra tersebut sudah memiliki logikanya tersendiri yang dimana logika tersebut tentunya sudah mencakup isi dan bentuk karya sastranya.
Seperti misalnya dalam menulis puisi, terkadang apa yang dituliskan dalam puisi tersebut tidak masuk akal bila kita menikmatinya dengan logika biasa, tetapi sebenarnya syair puisi tersebut adalah kesatuan padu dilihat dari kacamata logika puisi. Begitu pula dengan novel, penggambaran tokoh dalam novel terkadang di istilahkan dengan seseorang yang memiliki tubuh kekar bak baja yang tidak mempan bila terkena senjata apapun, namun kenyataanya bila disandingkan dengan dunia nyata, hal tersebut merupakan suatu yang mustahil dan tidak masuk akal.
Itulah sebabnya di dalam karya sastra kita harus menormalkan logika, karena biar bagaimanapun pula logika yang tidak masuk akal tersebut digunakan sebagai daya tarik dalam menciptakan karya sastra, sehingga nantinya akan semakin banyak orang yang bertanya-tanya apa maskud dari isi karya sastra tersebut. Dan itu, tentunya menjadi nilai lebih dalam karya sastra tersebut.
Bukan tanpa sebab logika sastra dimaklumi dengan logika normal yang ada, karena sastra pada dasarnya memang lah suatu karya hasil gabungan antara khayalan dan kehidupan nyata, yang sengaja diciptakan oleh sastrawan berdasarakan pengetahuan dan pengalamannya, yang telah diolah dengan imajinasi kreatifnya.
Sastrawan tentunya memperlakukan kenyataan tersebut dengan tiga cara, yaitu: manipulasi, otobiografis, historis, catatan perjalanan, dan kadar sebenarnya yang lebih dominan.
Itu sebabnya sastra memiliki keindahan tersendiri bagi penikmatnya. Karena sastra tidak pernah terlepas dari nilai estetika, etika, dan logika. Oleh sebab itu, sastrawan haruslah memiliki imajinasi yang tinggi agar tidak hanya sebuah khayalan tanpa kenyataan, tapi, dapat memberikan kesesuaian antara khayalan dengan kenyataan. –Sulaiman Juned-