Sikap dialogisme warisan founding fathers itulah yang kini lenyap didalam wacana politik. Mengembalikan sikap tersebut menjadi milik kita bersama, itulah salah satu makna dari reformasi”. -Yasraf Amir Pilliang-
Kebebasan, kesamarataan, dan persaudaraan adalah jaminan sebuah keterbukaan dalam demokrasi. Dalam ultimatum kebebasan, demokrasi menjadi alat terciptanya peradaban. Dengan demokrasi prinsip memanusiakan-manusia dapat menjadi kata yang tak hanya bualan belaka. Pada prinsipnya demokrasi dapat menjadi mimbar bebas dalam berekspresi dan berkreasi berkenaan dengan civil society atau good government.
Demokrasi yang baik harus ditopang dengan tingkat pendidikan nan baik pula. Pasalnya bila tidak demikian, maka demokrasi hanya dapat menjadi pintu menuju kekacauan dan sarkasme-sarkasme sosial. Tingkat pendidikan dapat pula menentukan tingkat pemahaman masyarakat tentang demokrasi, kebebasan dan tapal batas. Mikail Bakhtin dalam karyanya The Dialogic Imagination (1993) mengatakan bahwa dalam upaya pemahaman terhadap masyarakat dan kebudyaan (termasuk budaya politik), yang paling penting adalah bagimana memahami manusia sebagai subjek dengan segala perasaanya, bukan sebagai objek yang tidak berjiwa. Memahami manusia yang satu terhadap manusia lainnya sebagai subjek hanya dapat dilakukan bila terdapat sistem demokrasi. Demokrasi yang mampu memberikan kemerdekaan bagi satu sama lain.
Politik Dialogis
Kehidupan politik dewasa ini, nampaknya menampilkan sketsa aktor politik yang masih bertingkah kekanak-kanakan, belum mampu bertindak dan bersikap secara dewasa dalam berdemokrasi. Ketidakdewasaan itu dapat kita lihat dari keterampilan politisi yang begitu piawai dalam berdebat, menghujat maupun memprotes. Namun masih berat ekor untuk mendengarkan, menerima saran dan masukan dari rival politik. Terlebih mendengarkan masukan dari masyarakat, sangat berat hati. Akibatnya, komunikasi politik cenderung monologis, satu arah— wacana politik dan demokrasi pun menjadi hampa.
Edward E. Sampson dalam bukunya berjudul Celebratingthe Other: A dialogic Accont of Human Nature (1993) melihat konstruksi sosial dalam masyarakat sering sekali memproduksi hubungan sosial yang asimetris. Artinya, ada kelompok dominan di dalam masyarakat yang berusaha untuk mendominasi kelompok lain dengan cara penekanan atau pemaksaan untuk dijadikan pelayan politik belaka, tanpa pengetian, tanpa dialog.
Pendapat E.E Sampson inipun nyaris senada dengan ungkpan Anhar Gonggong dalam harian kompas, dikatakanya kalau para founding fathers bangsa kita tidak hanya pandai berdebat, namun juga pandai dalam menghargai. Berpijak pada pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang hilang dalam wacana demokrasi adalah unsur dialogis. Unsur dialogis dalam wacana demokrasi diperuntukkan untuk membangun konstruksi perdebatan yang sehat. Tak dapat dipungkiri, setiap individu adalah subjek, tentunya layak untuk didengarkan dan dihargai.
Demokrasi dialogis akan menciptakan diskursus publik menjadi lebih baik dan dewasa. Tentunya akan membawa perubahan positif bagi kehidupan politik dan sosial masyarakat indonesia. Menihilkan unsur dialogis dalam kehidupan masayarakat akan membuat peradaban politik dan demokrasi menjadi stagnan. Mikail Bakhtin dalam bukunya The Dialog Principle (1984) menyebutkan bila dalam masyarakat terjadi pertukaran sosial yang menitik beratkan pada penghargaan keanekaragaman maka hubungan simetris atau dialogis tak akan dapat dibendung untuk tercipta.
Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003) menenegaskan manusia tidak dapat dianggap sebagai data statistik, angka-angka maupun komoditi, namun harus lebih dari itu. Manusia dapat menjadi pranata pengetahuan (Knowledge) dan pemahaman (Understanding) atau bahkan saling memahami ( Mutual Understanding) yang layak untuk dipertimbangkan.
Masih menurut Yasraf A Piliang, bahwa Politics of narcissism masih eksisis. Kehendak untuk mendominasi kekuasaan tanpa mengindahkan yang lain sebagai sahabat dalam proses sosial. Kehendak untuk mementingkan diri atau kelompok sendri adalah citra yang dapat kita tangkap dalam kehidupan politik. Sikap tersebut mampu untuk eksis dan tidak dapat dibendung. Kegagalan untuk saling memahami adalah salah satu faktor berkembangnya politics of narcissism.
Politik dialogis dapat menjadi gerakan alternatif dalam membangun kehidupan politik. Semua unsur diajak untuk berdilog tentang perbaikan. Perbincangan politik yang plural hanya bisa dimungkinkan bila terdapat kultur demokrasi dialogis. Politik dialogis dan demokrasi dialogis adalah susunan yang simetris dan saling berkolaborasi satu sama lain, atau saling melengkapi.
Untuk memperbaiki citra politik demikian, maka partisipasi masyarakat sangat diharapkan. Sebab dalam panggung politik dan demokrasi partisipasi publik merupakan unsur penting untuk keberlangsungan peradaban. Sudah saatnya, warisan demokrasi dialogis dan politik dialogis sebagai warisan founding father kita bangkitkan dalam kehidupan politik dan demokrasi kita.
Penulis, Rizki Maulana Hakim
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Janabadra Yogyakarta