OPINI  

Masih Tentang May Day: Epistemik Marxis

May day saat ini diartikan sebagai Hari Buruh Internasional. Sebelumnya may day, dibeberapa negara mempunyai arti yang berbeda-beda, seperti di Norwegia, India, dan Romania. Di tiga negara ini, May day merupakan perayaan musim semi kuno yang berasal dari belahan bumi utara dan termasuk budaya tradisional. Begitu juga di Jerman, may day merupakan bagian dari st walburga (ritual), namun mulai memudar di akhir abad ke 20.

May day sebagai hari untuk memperingati kaum buruh Internasional juga belum diakui oleh beberapa negara atau dengan kata lain, hampir seluruh negara memperingati may day, kecuali Amerika Serikat dan Kanada oleh karena hari buruh dikedua negara tersebut baru diperingati pada bulan september.

Perlu diketahui bahwa May day merupakan hari buruh Internasional baru ditetapkan pada akhir-akhir abad ke-19, setelah adanya penetapan tuntutan kaum buruh. Atau mendapat makna lain pada saat gerakan kaum sosialis dan kaum buruh di chicago.

Pada tanggal 1 Mei 1886 aksi demonstrasi yang dikenal dengan “Gerakan Delapan Jam” yang dilakukan di Chicago, selanjutnya beberapa hari kemudian di tanggal 3 mei, terjadi chaos besar-besaran. Jadi hari buruh Internasional itu diperingati untuk mengenang para kaum buruh yang berjuang, serta dalam rangka memperingati kerusuhan yang terjadi di haymarket, Chicago pada waktu itu.

Secara tersirat gerakan kaum buruh ketika itu, membawa tuntutan yang dapat disimpulkan terdiri dari; upah minimum dan waktu kerja maximum. Berangkat dari keresahan para pekerja, perusahan industri di Amerika Serikat yang mengalami kondisi yang tidak manusiawi, maka kunci nya baru terjadi pada saat tersebut.

Waktu Maximum dan Upah Minumum Dalam Epistemik Marxis

Berawal dari revolusi politik di prancis dan revolusi industri di inggris yang terjadi pada pertengahan abad ke-18 atau dikenal dengan penemuan mesin uap dan pemintai benang (Engels, 1845). Memunculkan fenomena baru dalam kehidupan manusia. Mulai dari pergeseran hasil pertanian kaum tani dalam pertukran, perampasan lahan, munculnya prostitusi dan mucikari, serta buruh yang teralienasi dengan alat produksi, barang produksi serta upah dan waktu kerja yang diekspolitasi. Pada akhirnya umat manusia mengalami kehidupan yang  sengsara (kerengkeng besi Weber).

Walaupun sudah sejak lama penggunaan kekerasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia diawal kehidupannya, seperti di zaman berburu dan meramu yang menggunakan batu dan alat lainnya dalam mencangkul tanah dan menangkap, atau membunuh mahluk hidup lainnya (jika tanah dan hewan bisa berbicara mereka akan mengatakan bahwa mereka juga merasakan kesakitan yang sama) sampai kelahiran industri baru hari ini.

Namun, kemunculan industri baru membuahi cara kekerasan baru pula, terkhusus pada kaum buruh yang mengalami alienasi dalam perkerjaannya. Karl Marx mengkritisi hal tersebut dengan cara mengidentifikasi pola produksi dan reproduksi pemilik alat produksi (kapitalis), bahwa dalam proses produksi, kaum buru dipaksa untuk berkerja melebihi waktu sehingga tidak dapat melakukan perkerjaan lain. Yang dapat membentuk produktifitas kehidupannya, atau konsep komunis yang sederhananya dapat dikatakan dengan analogi seperti ini; siang bekerja dan malam belajar.

Begitu pula dengan upah para buruh yang diberikan tidak sesuai dengan tenaga dan waktu kerja kaum buruh, sebagai hasil dari proses produksi itu sendiri. Oleh karena itu, mengenai hal ini dapat dipahami bahwa manusia sudah sejak lama mempunyai kecenderungan kompetisi yang dalam bahasa plautus (251-184 SM) Homo homini lupus, Weber mendeskripsikannya dalam tesis kekuasaanya (weber, 1946) dan Marx mengatakan “sejak permulaan peradaban manusia, produksi mulai didasarkan atas antoggonisme antara majikan dan buru”. (Karl Marx Das Kapital Jilid III, edisi, 1953).

Kaum Buruh Indonesia

Perkembangan zaman dan perubahan industri merubah sudut pandang dalam melihat penindasan berbeda-beda. Namun, dalam hal kaum buruh kita dapat melihat historis kelahirannya, seperti yang sedikit disinggung di atas bahwa kaum buruh merupakan kaum tertindas baru yang ada setelah ditemukannya alat-alat produksi berbasis mesin/robot.

Buruh dalam epistemik marxis sebagai kelas ploritariat yang tergabung antara buruh itu sendiri dengan kaum tani yang juga mengalami kesulitan yang sama atas kehadiran industri mesin/robot, dan yang menindas dan menguasai ialah kelas borjuasi yang diisi oleh feodal dan pemilik modal (+agamawan) yang disebut kapitalis. (lihat Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri, diterjemahkan Ali mandan, 1986)

Dengan demikian semestinya kita dapat melihat kaum buruh di Indonesia secara luas. Sebab seringkali kita juga melupakan bahwa kaum buruh dipelabuhan, ada ketidakpekaan negara terhadap hak-hak mereka sehingga jarang menyentuhnya, padahal mereka merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehadiran industri hari ini.

Dalam catatan sejarah, maka yang benar-benar masuk dalam klasifikasi kaum buruh pertama di Bumi Nusantara sebenarnya adalah buruh di palabuhan atau dermaga kapal laut, bahwa bagaimana para pekerja memproduksi jalur pertukaran barang menta dengan komuditas yang ada pada waktu itu, kendatipun di monopoli oleh kapitalis.

Kemudian hari ini, walaupun sudah negara sudah merdeka kaum buruh dipelabuhan masih tetap terekspolitasi. Bagaimana tidak, waktu dan tenaga dalam bekerja tidak ditentukan secara pasti. Dengan kata lain, bekerja berdasarkan kapal masuk atau berlabu. Artinya keluputan negara dalam memberikan kepastian kebijakan terhadap buruh pelabuhan terkait dengan waktu maximum dalam perkerjaannyaan. Tidak menutup kemungkinan, juga ada pemberian upah yang tidak stabil dan negara lalai mengontrol hal ini.

Pada akhirnya, kaum buruh tidak memiliki waktu luang untuk melakukan aktivitas lainnya, termasuk dalam hal keproduktifan dalam kehidupan. Dapat dilihat di beberapa pelabuhan di Indonesia dan terkhusus di Tual, Maluku. Ada beberapa kaum buruh yang bahkan kehilangan keharmonisan rumah tangga, sebab harus terburu-buru mengejar kedatangan kapal, dalam artian bahwa makan malam dan siang bersama digunting oleh sistem kerja demi pembongkaran komoditas yang masuk dengan kontener, juga kedatangan kapal secara mendadak.

Adapun fasilitas yang seharusnya diberikan kepada kaum buruh pelabuhan yang dalam hal ini adalah tempat tinggal supaya tidak menyulitkan kaum buruh itu sendiri, karena kerjanya harus tepat waktu yang juga nantinya menjadi penentu apa yang didapatnya. Akan tetapi, negara lalai dalam hal ini. Misalkan Perda kota Tual terkait hal ini yang tidak pernah ada, indikatornya pelabuhan Kota Tual hanya diprioritaskan pagar yang mempersempit jalan keluar masyarakat.

Jadi, dipemilihan kepemimpinan mendatang pilihlah figur pemimpin yang dapat menjadi representasi dari hak-hak ini. Jika tidak atau sebaliknya, maka hanya satu solusi, yaitu duduk dirumah masing-masing atau menjadi warga negara yang cerdas dan menggunakan hak konstitusionalnya untuk GOLPUT. Sebab hal ini saja tidak dilihat apalagi pertarungan industri global yang nantinya membunu warga negara secara masif.

 

Penulis, Moh. Y.K. Salamun

Mahasiswa Universitas Janabadra dan Kader PMII Cabang DI. Yogyakarta