[mks_dropcap style=”letter” size=”52″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#000000″]M[/mks_dropcap]eskipun hari raya Idul Adha, 10 Dzul Hijjah sudah berlalu. Namun umat muslim masih terus menjaga spirit, dan terus berusaha untuk menggali makna esensial dari  berqurban tersebut.

Sebagaimana Allah berfirman, “sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena tuhanmu, dan berkurbanlah, sesunggunya orang-orang yang membencimu dialah orang yang terputus. (Al-Kautsar: 1-3)

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Makna Esensial Berqurban

Secara etimologi kata Qurban berasal dari Bahasa arab, “Qurban”. Yang berarti dekat ((قربان). Dalam ajaran agama islam, qurban juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.

Teologi Qurban

Ibadah qurban dalam Islam dapat dihubungkan dengan persembahan (sacrevation) sesuatu kepada Allah SWT dan Dewa agar terciptanya keharmonisan antara alam, manusia, dan Tuhan. Hampir setiap agama, bahkan setiap adat istiadat mengenal apa yang disebut dengan upacara ritual (ritual sacrevation). Alquran menggambarkan ibadah qurban ini sebagai salah satu ibadah paling tua bagi umat manusia.

Nabi Adam dikisahkan mempunyai dua anak, yakni Habil dan Qabil. Kedua putra Nabi Adam ini masing-masing diminta untuk menyerahkan kurbannya, tapi kualitasnya berbeda. Habil menyerahkan persembahan dan Qabil juga menyerahkan persembahannya. Pada akhirnya, kurban Habil diterima dan kurban Qabil ditolak, sebagaimana diabadikan dalam Alquran. Beberapa upacara tradisional yang bersifat sakral dan profan di kawasan Timur Tengah mempersembahkan gadis-gadis sebagai korban atau tumbal, misalnya upacara rutin di Sungai Nil dan tempat-tempat yang disakralkan lainnya (F Malti-Douglas, Woman’s Body, Woman’s Word, Gender and Discourse in Arabo-Islamic Writing, 1991, hlm 20).

Sedangkan di Kan’an, Irak, bayi dipersembahkan kepada Dewa Baal. Suku Astec di Meksiko mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada dewa matahari. Lain pula cara berqurban orang Viking di Eropa Timur yang mempersembahkan pemuka agama mereka kepada Odion, Dewa Perang. Dalam tradisi Bilalama, Hammurabi, dan Asyiria, yang lebih tua dari tradisi Islam, sudah dikenal adanya sakrifasi atau ibadah kurban. Di sejumlah tradisi dalam suku-suku bangsa Indonesia juga pernah dikenal sakrifasi sebelum islam datang dan tersebar keseluruh wilayah. Hanya saja bentuk sakrifasinya lebih manusiawi yakni berupa ayam, kambing, kerbau, atau sapi.

Dalam ajaran Islam dikenal banyak versi tentang hakikat, filosofi, dan fikih ibadah kurban. Ulama Asy’ariyah menanggapi perintah Allah SWT untuk berkurban dengan panjang lebar. Menurutnya, terkadang Allah SWT memerintahkan sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya untuk terjadi dan atas dasar itu golongan ini berpendapat boleh menasakh hukum sebelum waktu terjadinya pelaksanan perintah tersebut (jawâz naskh al-hukm qabla wajûd zaman al-imtitsâl). Misalnya, perintah Tuhan dalam ayat yang disebutkan di atas, ulama Mu’tazilah berpendapat terkadang suatu perintah tidak disertai dengan keinginan (irâdah).(Baca: Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb, Jilid XIII, hlm 157).

Mengokohkan Kemanusiaan

Pertama, kurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan antara hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi jika sang hamba berjiwa kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat. Untuk itu, ketika takbir Idul Adhadatang menyapa relung batin manusia, maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup nafsu, ambisi, dan kepentingan pribadi harus tergugah.

Allah Maha Dekat yang kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan keseriusan berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang selama ini telah ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan kepongahan. Zikir kepada Allah (dzikrullâh) adalah upaya untuk menyucikan hati, menenteramkan hati, dan mengkhusukkan kalbu sehingga seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi terhadap kesalahan dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang lain. Pada gilirannya, kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa diminimalisir dan ditepis dengan berzikir.

Dengan zikir, hati yang selama ini gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga prasangka, dendam, dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih

Kedua, kurban merupakan konsep pengurbanan yang dilandasi keikhlasan dalam menjalankan pengabdian, tugas, dan perjuangan tanpa mengharapkan balasan dan pujian serta keuntungan materi yang menjadikan nilai kesalehan menjadi sia-sia. Keikhlasan dan ketulusan jiwa akan memunculkan ketegaran dan keistiqamahan, meskipun seseorang diasingkan, dikucilkan, dan ditinggalkan oleh masyarakat yang telah terpedaya hawa nafsu.

Lebih dari itu, rasa ikhlas yang sejati akan membuat hidup seseorang selalu merasa memeroleh kemenangan dalam kekalahan, kenyang dalam kelaparan, cukup dalam kekurangan, aman dalam ketakutan, dan selalu optimis meskipun derita datang mendera. Kehancuran bangsa dan negara ini akan terjadi karena memudarnya rasa pengurbanan warga negara. Khususnya para pemimpin dan elit politik—untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran. Yang mereka pikirkan adalah: “Apa yang dapat mereka peroleh dari negara ini, bukan apa yang dapat mereka berikan untuk bangsa dan negara.”

Ketiga, kurban yang disimbolkan dengan menyembelih hewan merupakan suatu teladan dari Nabi Ibrahim saat diperintah oleh Allah untuk mengurbankan Ismail, putra terkasihnya. Teladan agung tersebut seharusnya mampu menyentuh kesadaran intelektual dan imajinasi seorang hamba. Tindakan Nabi Ibrahim merupakan simbol kemenangan seorang manusia atas nafsu hewaniah, ego kecil, romantisme kepentingan pribadi, dan sentimentalitas cinta kasih lokal.

Manusia sebenarnya telah mengenal konsep “qurban” sejak dahulu; bahkan sejak masa Habil dan Kabil, dua putra Nabi Adam yang diperintahkan “berkurban” untuk menguji ketulusan mereka berdua di hadapan Allah. Dari kisah Habil dan Kabil bisa diambil pelajaran bahwa Allah menerima “qurban” yang dipersembahkan seseorang bukan dari bentuk lahiriah sesuatu yang dikurbankan, melainkan dari ketulusan jiwa yang berkurban.

Penulis, Soe Darnan Adjie

Pegiat Universitas Kehidupan

Reporter: KilatNews