Dalam lanskap pendidikan Islam di Indonesia, ada satu lembaga yang menonjol dengan pendekatannya yang unik dan mendalam terhadap warisan intelektual Nusantara. Madrasah Aliyah di bawah asuhan KH Aguk Irawan menjadi satu-satunya institusi yang secara sistematis mengajarkan murid-muridnya membaca serta menerjemahkan manuskrip beraksara Kawi, khususnya yang berasal dari karya-karya Sunan Bonang. Praktik ini bukan hanya merupakan upaya pelestarian literatur klasik, tetapi juga sebuah bentuk penghormatan terhadap kebudayaan dan sejarah Islam di tanah Jawa.

Warisan Sunan Bonang dalam Manuskrip Kawi

Sunan Bonang, salah satu Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Jawa, meninggalkan warisan intelektual dalam bentuk manuskrip yang ditulis dengan aksara Kawi. Manuskrip-manuskrip ini tidak hanya memuat ajaran tasawuf dan moralitas Islam, tetapi juga perpaduan antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, banyak manuskrip ini menjadi sulit diakses karena keterbatasan orang yang mampu membaca dan menerjemahkannya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Di sinilah peran Madrasah Aliyah yang diasuh oleh KH Aguk Irawan menjadi sangat signifikan. Dengan memasukkan pembelajaran aksara Kawi dalam kurikulumnya, madrasah ini membuka peluang bagi generasi muda untuk memahami, mengkaji, dan menginterpretasikan kembali pemikiran Sunan Bonang dalam konteks modern.

Metode Pembelajaran yang Unik

Pembelajaran aksara Kawi di madrasah ini tidak hanya berfokus pada transliterasi semata, tetapi juga pada pemahaman mendalam terhadap konteks filosofis dan spiritual yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Proses ini melibatkan pendekatan multidisipliner, mencakup filologi, sejarah, dan kajian Islam klasik. Para murid diajak untuk membedah teks secara kritis, menggali makna tersembunyi, serta menghubungkannya dengan perkembangan Islam kontemporer.

KH Aguk Irawan, sebagai pengasuh pesantren, menekankan bahwa pembelajaran manuskrip Kawi bukanlah sekadar latihan akademis, tetapi juga sebuah bentuk mujahadah—usaha spiritual dalam mencari hikmah dan kearifan dari para ulama terdahulu. Dengan demikian, para santri tidak hanya mendapatkan keterampilan linguistik, tetapi juga pembentukan karakter dan wawasan keislaman yang lebih luas.

Menghidupkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam Nusantara

Keputusan untuk memasukkan studi manuskrip beraksara Kawi dalam kurikulum madrasah ini memiliki implikasi yang lebih luas dalam pelestarian tradisi keilmuan Islam Nusantara. Di tengah arus globalisasi yang sering kali menenggelamkan identitas lokal, inisiatif ini menjadi contoh bagaimana warisan intelektual dapat tetap hidup dan relevan di era modern.

Lebih jauh, pembelajaran ini tidak hanya menarik minat santri di lingkungan pesantren, tetapi juga para akademisi dan peneliti yang tertarik dengan kajian filologi Islam Nusantara. Banyak dari mereka yang melihat inisiatif KH Aguk Irawan sebagai upaya penting dalam membangun jembatan antara keilmuan klasik dan tantangan zaman sekarang.

Madrasah Aliyah yang diasuh oleh KH Aguk Irawan membuktikan bahwa pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada kajian kitab kuning dan ilmu-ilmu agama konvensional, tetapi juga dapat menjadi sarana pelestarian budaya dan sejarah bangsa. Dengan mengajarkan para murid membaca dan menerjemahkan manuskrip beraksara Kawi karya Sunan Bonang, madrasah ini menjadi pelopor dalam menjaga dan menghidupkan kembali warisan intelektual Islam Nusantara.

Langkah ini patut diapresiasi dan dijadikan contoh bagi lembaga pendidikan lainnya. Sebab, pendidikan yang baik bukan hanya yang mampu menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga yang memiliki akar kuat dalam sejarah dan tradisi keilmuannya. Dengan demikian, generasi mendatang tidak hanya menjadi pewaris, tetapi juga penjaga nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu.