KONSEKUENSI logis dalam bernegara adalah adanya cita-cita dan harapan yang ingin dicapai oleh seluruh warganegara, sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak kewarganegaraan yang sudah seharusnya dilindungi dan dipenuhi oleh negara dalam keadaan apa pun tanpa mengurangi substansial makna konstitusi tersebut.
Dalam penyelenggaraan negara, berbagai tuntutan hak bukan lagi menjadi pertimbangan politik negara. Jika negara memahami fungsionalitasnya, maka sebagai pelayan negara berkewajiban untuk memenuhi dan mewujudkan keinginan setiap warganegaranya.
Suatu perwujudan dari negara demokrasi adalah untuk membatasi kekuasaan agar bentuk kekuasaan tidak cenderung otoritarianisme, sebagaimana demokrasi itu sendiri diartikan sebagai kekuasaan berdasarkan persetujuan kehendak rakyat.
Dalam hal ini rakyat memiliki kuasa penuh terhadap wujud pelaksanaan pemerintahan, dimana partisipasi dan keterlibatan rakyat memberikan kontrol terhadap praktek penyelenggaraan kekuasaan.
Maksud dari negara demokrasi harus dimaknai secara luas hingga tidak terjebak pada istilah keterwakilan yang masih memiliki arti yang ambigu. Antara keterwakilan dan demokrasi, kedua kata tersebut secara etimologi memiliki perbedaan arti. Keterwakilan adalah pelaksanaan kekuasaan sedangkan demokrasi adalah bentuk kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat.
Namun, dalam penyelenggaraan negara demokrasi persoalan keterwakilan dan kedaulatan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai, berbagai permasalahan tersebut salah satunya, yaitu kejahatan korupsi yang bersifat terbuka dan bebas untuk siapapun.
Korupsi sudah menjadi bahasa yang tidak asing lagi terdengar oleh kalangan publik, baik secara definisi maupun secara praktis. Dalam istilah umum, korupsi diartikan sebagai suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memfungsikan kekuasaannya bertujuan demi memperoleh keuntungan pribadi/memperkayai diri, berbagai cara tanpa melalui pertimbangan kerugian yang berdampak pada ancaman kematian kemanusiaan. Bahkan di indonesia kejahatan korupsi bukan menjadi hal baru bagi para kuasa penyelenggaraan negara.
Salah satu wujud pelaksanaan kekuasaan demokratis dapat dilihat dari bentuk pelaksanaan budaya perpolitikan bangsa untuk menyelesaikan permasalahan kenegaraan melalui perumusan agenda dan strategis politik dalam penentuan sikap dan tindakan sebagai ketetapan yang harus ditempuh guna mewujudkan visi dan misi dalam bernegara.
Berbagai perumusan agenda tersebut sudah seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembentukan sebuah kebijakan atau undang-undang untuk menyelesaikan problem kenegaraan khususnya perluasan undang-undang Tipikor dan penguatan fungsionalitas lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal ini KPK. Sayangnya agenda tersebut hanya dijadikan sebagai materi perdebatan kandidat calon wakil rakyat dari tiap kubu partai politik saat momen pemilihan umum.
Persaingan politik dalam demokrasi sudah menjadi hal yang wajar bahkan pertarungan kekuatan politik di tiap kubu partai telah membentuk berbagai aliran gerakan oposisi dan koalisi dalam mempertahankan basis kekuasaan diprakarsai dengan wacana dan narasi kebencian untuk melancarkan orientasi kepentingan demi mengakomodir berbagai keuntungan para elit partai dari situlah konflik politik dimulai.
Dukungan publik dipertentangkan dengan simbolitas karismatik ala kepemimpinan soekarnoisme. Padahal ini adalah pencaplokan identitas dengan membangkitkan romantisme masa lalu.
Generalisasi sejarah oleh para elit transnasionalism menciptakan mitos politik kepatuhan melalui doktrin kesatuan dan cinta terhadap tanah air, agenda hegemoni negara mengatasnamakan satu bentuk ideologi tunggal, disitulah diktatorianisme rezim ala militerisme yang siap membantai, disitulah proses Pembungkaman nalar publik.
Komersialisasi demokrasi dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup warganegara disusup melalui agenda gelap dalam istana bahkan dalam tubuh birokrasi sekalipun praktek kejahatan memiliki dalil legalitas hukum sebagai penguatan jikalau elit negara tidak bersalah dalam melalukan kejahatan.
Imperialisme politik dan pembentukan imperium kekuasaan dibangun melalui kompromi elit negara dengan investor asing untuk melancarkan misi kejahatan dalam berbagai tindakan, eksploitasi hasil bumi besar-besaran dan privatisasi penguasaan tambang. Hal demikian dimulai dari fase awal kemerdekaan, orde baru, dan reformasi hingga sampai saat ini kolonialisasi masih tumbuh subur di atas tanah pertiwi.
Keterlibatan penyusup gelap dalam agenda pembangunan negara tidak terlepas dari dominasi basis kekuatan aktor lama orde baru dan aktor baru reformasi, para plutokrasi dan aristokrasi adalah tua rumah dalam kontra kekuasaan pelaksanaan demokrasi oleh elit parpol yang berstatus sipil dan elit negara yang berstatus mantan militeris.
Legalitas demokrasi mensyaratkan keterlibatan partai politik dari awal pencalonan kandidat wakil rakyat hingga sebagai penentuan kebijakan agenda pembangunan negara, monopoli kekuasaan parpol dalam tubuh birokrasi sudah menjadi budaya perpolitikan bangsa dalam berdemokrasi. Yang mau ingin saya sampaikan adalah negara kita sudah lama dikepung oleh para oligarkis.
Penulis, Fahrurrozi Arrusadi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum UII