Seperti kita ketahui Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya menyebutkan lima prioritas pemerintah pada periode kedua kepemimpinanya (2019-2024), yaitu Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), Pembangunan infrastruktur, Penyederhanaan regulasi, Penyederhanaan birokrasi, dan Transformasi ekonomi.

Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan prioritas ketiga adalah menyusun Omnibus Law. Di jelaskan oleh Presiden Omnibus Law sebagai “undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa (puluhan) undang-undang.”

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Kompleksitas Masalah Omnibus Law Secara Perundang-Undangan dan Konstitusi

Pada awalnya Presiden menyatakan bahwa ada dua omnibus law yang akan disusun, yakni Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CLK), sekarang diubah menjadi Omnibus Law Cipta kerja atau RUU Cipta Kerja dan Omnibus Law Pemberdayaan UMKM (PMUKM).

Dalam berbagai kesempatan lainnya, Presiden menyatakan bahwa omnibus law diperlukan untuk mempercepat penerbitan regulasi. Tujuannya tidak lain untuk mendorong kemudahan investasi.

Pemerintah setidaknya telah menyusun Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Sayangnya, proses pembuatan Omnibus Law tersebut dapat dibilang tergesah-gesah, sangat tertutup dan serba kilat. Bahkan naskahnya tidak dapat diakses oleh masyarakat hingga saat ini.

Pemerintah dalam keterangan resminya menyatakan baru akan memperhatikan masukan dan pertimbangan masyarakat ketika rancangan omnibus law cipta kerja disampaikan kepada DPR kemudian sudah mendapat persetujan bersama di rapat paripurna dan juga ketika mendapat perlawanan dari berbagai komponen masyarakat juga dari kalangan buru, civitas akademis dan sebagainya.

Sesungguhnya, metode Omnibus Law tidak selamanya buruk. Justru dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki tata kelola peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tumpang tindih. Pembuatan Omnibus Law bisa jadi menguntungkan dari segi biaya dan waktu karena beberapa materi atau subyek hanya dibahas dalam sebuah undang-undang.

Namun ironisnya metode Pembentukan Omnibus Law tidak sejalan dengan prinsip Demokrasi Pancasila. Dan juga tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaiman termuat dalam Undang-undang No 12 tahun 2011 jo Undang-undang No 15 tahun 2019.

Menganalisis uraian diatas, ada dua hal yang perlu di kritisi atau patut disororti dari perspektif hukum terkait Rancangan Undang-undang Ominibus Law Cipta Kerja, yaitu dari aspek prosedur pembentukannya (tata cara pembentukan peraturan perundang-undadangan yang baik) dan dari aspek substansi, karena dari aspek substansinya berbagai macam cluster yang harus ditelaah maka penulis tidak punya kapasitas untuk membahasnya. Penulis Sendiri akan membahas dari sisi prosedurnya.

RUU Omnibus Law Cacat Secara Prosedur

Jika kita merujuk pada pembentukan pertauran perundang – undangan. Khususnya pembentukan undang-undang, Konstitusi (UUD 1945) tidak mengatur secara detail bagaimana undang-undang itu dibentuk, namun hanya ada pada pasal-pasal yang terkait seperti pasal 5 ayat 1 UUD 1945 “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Bunyi pasal tersebut dapat menjadi landasan bagi presiden sebagai hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Hal berikut terdapat dalam pasal 20 UUD 1945, yaitu (1) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden; (2) jika RUU tidak disetujui bersama maka RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (3) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang, dan (4) dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga pulu hari sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Ketentuan elaborasi turunannya adalah Undang-undang N0 12 tahun 2011 jo Undang-undang No 15 tahun 2019. Disinilah diatur mengenai tahapan-tahapan atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hal yang sangat penting dalam Undang-undang ini adalah ketentuan mengenai asas – asas pembentukan peraturan perundang-undangan, pasal 5 yang meliputi antara lain, (1) asas kejelasan tujuan, (2) Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, (3) Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, (4) Dapat dilaksanakan, (5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, (6) Kejelasan rumusan dan (7) Keterbukaan. Salah satu diantaranya adalah asas partisipasi publik.

Tentu saja, apabila kita mengacu pada pengertian mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang di atur dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 2011 adalah bahwa “Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyususnan, pembahasan, pengesahaan atau penetapan dan pengundangan”.

Fakta yang terjadi saat ini adalah Pemerintah dalam membentuk RUU Omnibus Law (RUU Cipker) sangatlah misterius dan tergesah-gesah. Tanpa melibatkan partisipasi publik artinya tidak adanya keterbukaan seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang No 12 tahun 2011 terkait dengan asas pembentukannya.

Pertama adalah, dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga pada pengundangan bersifat transparan dan terbuka sehingga dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hal ini tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah dalam tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga pada pengundangan. Terlihat sangan eksklusif (tertutup). Justru pemasalahan ini sudah menyimpang dari Konstitusi (Menyerobot kekuasaan legilatif yang tersirat dalam pasal 20 UUD 1945).

Ruang itu terbuka ketika akhirnya ada perlawanan dari berbagai kelompok masyarakat, kaum buruh, dan para akademisi. Meskipun ada ruang keterbukaan itu. Sayangnya hal tersebut sangat formalistis sifatnya.

Kedua, mengenai Asas kejelasan rumusan. Bahwa setiap Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyususnan Peraturan Perundang-undangan, Sistematika, Pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah di mengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Sebagai contoh perdebatan mengenai simpang siur jumlah halaman yang ada pada Naskah akademik RUU Cipker. Ini menandakan bahwa Pemerintah tidak telitih dalam proses Penyusunannya (cacat prosedur).

Ketiga, mengenai Asas dapat dilaksanakan. Bahwa setiap Perundang-undangan yang dibuat wajib mempertimbangkan prinsip hukum sesuai dengan amanat konstitusi dan Pancasila , yaitu adalah harus memenuhi dasar Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis.

Pada konteks ini nampak sekali Pemerintah tidak mempertimbangkan ketiga aspek tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika terjadi perlawanan dari lapisan masyarakat seperti contoh aksi demonstrasi para buruh dan mahasiswa. (cacat prosedur).

Keempat, mengenai Asas kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi muatan. Bahwa secara jenis dan hierarki RUU Cipta Kerja sebagai Peraturan Perundang-undangan yang berjenis Undang-undang (UU).

Namun metode pembentukannya berbeda karena secara materi muatannya berbeda dengan Undang-undang biasa. Oleh karenanya RUU Cipta kerja a quo harus di kaji lebih komprehensif dan lebih mendalam lagi.

Di satu sisi metode Omnibus Law a quo lazim digunakan di beberapa negara yang menganut sistem Common Law (Anglo Saxon). Akan menjadi hal yang baru bagi Negara Idonesia yang menganut sistem Civil Law yang selalu berpegang teguh pada prinsip demokrasi pancasila dan amanat konstitusi.

Mengapa demikian karena ada keterkaitan dalam tradisi pembentukan Pertauran Perundang-undangan di Indonesia adalah dengan mengunakan sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental).

Pertanyaannya adalah bagaimana posisi Omnibus Law dengan Undang-undang lainnya? Dalam peraturan yang ada hanya menyebut satu istilah Undang-undang, yakni peraturan yang dibentuk oleh presiden dengan persetujuan DPR atau sebaliknya yang bisa disebut Undang-Undang Payung (raamwet, basiswet, moederwet).

Undang-undang payung merupakan “induk” dari Undang-undang lainnya, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari Undang-undang “anak.” Selain itu, Undang-undang payung atau induk lebih dulu ada dari pada Undang-undang “anak.”

Sementara Undang-undang Omnibus Law yang sedang menjadi polemik saat ini, dimaknai sebagai Undang-undang baru yang mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk penyederhanaan berbagai Undang-undang yang masih berlaku.

Menurut penulis, omnibus law berbeda dengan kodifikasi yang merupakan penyusunan dan penetapan peraturan-peraturan hukum dalam kitab Undang-undang secara sistematis mengenai bidang hukum yang lebih luas. Misalnya hukum perdata, pidana, dan dagang.

Dengan demikian, melihat berbagai problematika diatas penulis ingin menawarkan beberapa solusi untuk Pemerintah agar kembali meninjau lebih kompherensif lagi terkait dengan RUU tersebut.

Saran atau solusi

Memang sekarang yang menjadi ramai di perdebatkan adalah pada cluster ketenagakerjaan, bukan berarti cluster-cluster lain tidak bermasalah. Semuanya jelas bermasalah dari awal  sejak pembentukannya.

oleh karenanya Rancangan Undang-undang Omnibus Law ini secara formil sudah cacat dalam prosedur pembentukannya. Terlepas dari pada muatan materi secara substansinya terkait dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversi seperti yang diutarakan penulis diawalnya.

Hemat penulis, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pertama, adanya pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, dan partisipasi masyarakat. Kedua, diperlukan sosialisasi yang lebih luas, terutama untuk pejabat dan pihak terkait substansi Rancangan Undang-undang, profesi hukum, dan akademisi. Ketiga, pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus transparan dan memperhatikan masukan dari pihak terkait RUU tsb, dan tidak tergesa-gesa. Keempat harus mempertimbangkan jangka waktu yang efektif berlakunya Undang-undang.

Terakhir mempertimbangkan keberlakuan Undang – undang yang terdampak. Wallahualam bishawab

Penulis,  Syahfuad Nur Rahmat, Mahasiswa Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta. Berasal dari Kab. Lembata, Kec. Ile-ape Timur

Reporter: KilatNews