secangkir kopi adalah jembatan kenangan dan komunikasi yang palin hangat. Dan, bersamanya, kita bisa menciptakan momen-momen spesial dalam secercahperjalanan hidup
Riawani Elyta
Perbincangan menarik, tentunya akan kita temui di kedai-kedai kopi. Mulai dari wacana ekonomi, politiki, sosial dan budaya. Baik berskala lokal, noasional hingga global, bergema meramaikan setiap kedai kopi. Sejak dahulu, kedai kopi mempunyai ciri khas demikian. Selain menjadi tempat perjumpaan jagat pengetahuan dari berbagai subyek dengan perspektif masing-masing, kedai kopi juga merupakan instrumen pelekat hubungan persahabatan, kawan ideologis, bahkan sanak keluarga patriot gender dan linkungan. Tentu masih banyak peran strategis lainnya dalam peradaban umat manusia.
Sebelum lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini bukan semata-mata retorika romantisme sejarah. Tetapi, lebih pada frustasi dan menderitanya saya menyaksikan aktivitas kolot kaum muda di sebagian besar kedai kopi. khususnya di yogyakarta.
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berdampak pada kebuntuan idea (kuldesak). Pada akhirnya, banyak yang melakukan tafsiran sesuai keinganan. Tafsiran semacam ini, sejatinya bersumber dari ketidaktahuan tentang arah perubahan dunia, sudah pasti kebodohan tidak mungkin menyelamatkan siapa saja. Kini, kemajuan IPTEK satu paket dengan rezim hegemoni kapitalisme. Pengaruhnya hingga merasuk kedalam sum-sum psikologi manusia melalu iklan, kemudian membentuk pola hidup tertentu.
Bagaimana tidak, kedai kopi yang awalnya tumbuh embrio revolusi. Kini hanya dimaknai sebatas tren modernitas dan menjadikan konten di youtube, TikTok, instagram. Santak menjadi ladang komunitas komsumtif, dengan gadget masing-masing (generasi handphone miring). Fenomena demikian menyeret manusia pada realitas semu dan hidup diatas kesadaran buatan (konstruksi media).
Kedai kopi dan degradasi budaya ngopi
Kedai kopi pertama kali berdiri di konstantinopel (istambul) pada tahun 1475 dengan nama coffe shop (kedai kopi). Di Turki, tepatnya konstantinopel. Kedai kopi menjadi tempat perjamuan alam pemikiran yunani yang disibak kembali oleh orang-orang disana. Menu yang tersedia hanya kopi, tak ada hidangan lain selain kopi. Hal itu dikarenakan kepercayaan orang-orang timur tengah yang percaya, bahwa dengan kopi-lah mereka dapat menahan kantuk dan rasa lapar, agar supaya bisa lebih fakus untuk melanjutkan bacaan-bacaan lembar ilmu pengetahuan (Ali Syari’ati: Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi).
Di eropa kedai kopi didirikan pada tahun 1529, sedangkan di inggris pada tahun 1652. Pendirian kedai-kedai kopi masih dengan peran yang sama, sebagai perjumpaan idea dan gagasan. Berselang kemudian, sekitar abad ke-18, ada salah satu kedai kopi yang dikenal dengan nama “Le Procope”, dibangun oleh Francesco Procopio Dei Coltelli. Membawa pengaruh cukup besar, hingga terjadi revolusi prancis (Baca: Mihrob dalam laduni).
Diantara para pelanggan yang mengunjinginya secara rutin adalah tokoh seniman, kaum intelektual seperti; J.J. Rousseau, Diderot, Voltaire, dan Pirot. mereka bahkan menjadi pelanggan tetap di kedai tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, Bahwa dari mereka, lahir gagasan perubahan yang sangat berpengaruh saat itu. Sebuah titik kulminasi yang memobilisasi rakyat prancis menuju revolusi, hingga membungkam absolutisme kerajaan.
Budaya intelektual yang berkembang dari kedai kopi di timur tengah dan eropa, juga terdapat di indonesia. Seperti di yogyakarta namanya angkringan, sejenis kedai kopi di samping-samping jalan kota jogja. Dahulu, angkringan disamakan dengan kedai kopi di timur tengah, dan eropa. Merupakan tempat obrolan-obrolan serius para mahasiswa, kemudian diskusi dan konfrontasi pemikiran didengar juga oleh penjual/penjaga angkringan sehingga dia juga paham. Artinya, transformasi ilmu pengetahuan bahkan tak hanya jadi konsumsi mahasiswa diruang-ruang pendidikan formal. Melainkan ilmu pengetahuan juga didapatkan oleh bakul angkringan. Bisa dibilang, peran kedai kopi tidak hanya sekedar santai, walakin sebagai media transformasi ilmu pengetahuan.
Sayangnya, perihal budaya produktif dan progresif tinggal cerita pemanis telinga. Transformasi peradaban membawa dampak yang krusial dalam tatanan kehidupan, medornitas sekedar dipahami sebagai lifestyle. Pengaruh negatif modernisasi bahkan meluas kesegala sektor kehidupan, termasuk budaya kedai kopi di indonesia yang kehilangan makna dan perannya. Degradasi yang terjadi dilingkungan kedai kopi, oleh sebagian besar orang melihatnya demi memperkaya view TikTok, Youtube, juga sebagai tempat bermain game online maupun offline yang secara tidak sadar telah masuk pada cengkraman kapital konsentrasi.
Potret sederhana dari pengararuh negatif, yaitu; pertama, Westernisasi budaya indonesia yang sejatihnya bukan lebih maju malahan merosot dan kehilangan substansi nilai. Pada akhirnya masyakarakat Indonesia selalu terhegemoni, tertindas, diekspolitasi dan dimonopoli oleh budaya luar. Kedua, terjadi demoralisasi nilai-nilai keluhuran yang telah tumbuh sebagai jati diri nusantara, kesanjangan sosial dan ekonomi juga merupakan dampak dari transformasi tersebut. Selain itu, pencemaran lingkungan dari limbah-limbah industri, penggunaan pupuk pestisida, ketidakcocokan wilaya dengan industri yang dibangun juga menuai masalah serius. Situasi krisis demikian beriringan dengan kemajuan IPTEK, kaum kapitalis memanfaatkan peluang itu untuk membangun fondasi monopolinya (baca: Goerge Ritzer: The McDonaldization of Society).
Sampai disini, penulis masih percaya bahwa tidak semua mahasiswa dewasa ini memaknai kedai kopi/angkringan hanya sebatas tempat perputaran produk kapital dan huru-hara bermain game, melaikan sebagai tempat emborial idea-idea revolusioner. Akhir kata, selamat menikmati secangkir kopi dalam pergulatan idea. Salam pecinta kopasus (kopi susu) kebun laras, salam akal sehat penikmat kopi.
Penulis, Muhammad Yk. Salamun
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Janabadra
Kader PMII Yogyakarta