“Semua orang terlahir buta, sebagiannya tertabrak zaman lalu mati. Sebagiannya lagi belajar melihat baru kemudian mati”
Sebelum kita berbicara panjang lebar tentang budaya, alangkah baiknya kita lebih dulu mengetahui apa yang disebut dengan budaya ?
What is cullture ?
Secara umum budaya dapat diartikan sebagai makna bersama yang dikontsruksi secara sosial (Socially constructed shared meaning) atau nilai-nilai yang dikonstruksi secara sosial. Nah, biasanya setiap orang tumbuh dengan nilai-nilai dari lingkungan sosial masing-masing. Yang pada umumnya suatu keadaan atau lingkungan sosial tertentu memiliki perangkat nilai yang kerap bebeda beda.
Kendatipun lingkungan sosial tersebut terdapat perbedaan, namun perbedaan inilah yang kemudian melahirkan tren kebhinekaan, keberagaman, dan pluralisme dengan betolak pada tata nilai yang diyakini sebagai prinsip indentitas suatu bangsa dalam bangunan identitas nasional yang lazim disebut Nusantara.
Biasanya nilai-nilai yang diyakini suatu bangsa bergerak dari sisi historis dan filosofis, sebab ia menuai banyak makna di dalamnya. Tentu saja makna yang terkandung didalamnya dijiwai oleh kearifan lokal (local genious) masyarakat, atau dalam kajian Cultural Studies dikenal dengan istilah Folk Culture (Budaya Rakyat).
Lalu apa perbedaan Budaya POP (POP Culture) dan Budaya Rakyat (FOLK Culture) ?
Sederhananya bahwa budaya rakyat atau Folk Culture itu lahir dari masyarakat itu sendiri. Selain memiliki nilai filosofis atau makna yang dalam, juga sebagai media pembelajaraan masyarakat yang terkemas secara ringan dan menghibur. Dan menjadi salah satu sarana untuk mewariskan nilai dan norma budaya masyarakat sehingga ia bersifat abadi atau sepanjang usia manyarakat itu sendiri.
Sedangkan POP Culture sendiri besifat Tren, Keseragaman, Adaptabilitas, dan Durabilitas. Tren sendiri dapat diartikan sebagai suatu arus budaya yang dimiliki dan disukai oleh banyak orang. Akibat dari tren ini menjadikan segala hal menjadi mudah dijiblak (Repetitif). Misalnya, musik pop, lirik dan nadanya selalu sederhana dan cencdrung bersifat Seragam.
Budaya pop juga bersifat Adaptabilitas, atau suatau arus budaya yang dengan mudah dapat diterima dan dinikmati banyak orang. Meski dilain sisi juga bersifat temporer (sementara), dimana budaya pop menghadirkan durabilitas yang tak belangsung lama, sebab ia cenderung tenggelam ketika muncul budaya-budaya pop lain yang dianggap lebih unik. Itu juga yang menjadikan budaya pop sulit menjadi suatu konstruk budaya yang bersifat melegenda.
Persis di situ, budaya pop dipandang sebagai sesuatu yang sepele dengan kualitas yang rendah. Ia dianggap merusak indentitas kebhinekaan sebab melalui konsensus arus utama suatu budaya, yaitu budaya Barat . Anggapan ini pada umumnya muncul dari balik kritisme senggit dari berbagai sumber non arus utuma, khususnya kelompok-kelompok agama dan kelompok-kelompok kontra budaya dengan tesis sebagai sesuatu yang supersial, konsumeris, dan sensasional.
Walakin persolaan ini semakin pelik sebab hadir dalam anggapan yang berbeda. Pada umumnya menuai banyak kritikan dari banyak kalangan seperti budayawan dan pemuka agama. Akan tetapi, sebagai kumpulan ide dari arus utama budaya barat yang meletus di akhir abad 20 dan awal abad 21 dengan menggunakan media sebagai komunikasi masa telah berhasil menembus keidupan masyarakat. Dan tepat di situlah menjadi poin utama yang hendak saya sampaikan dalam tulisan singkat ini.
Jangan-Jangan Kebinekaan Kita Tumbuh Dari Kekuatan Budaya POP
Saya tidak sedang melegalkan segala cara untuk menyetujui secara total dari arus utama itu. Sebab hal itu justru akan melahirkan generasi baru dengan mentalitas konsumeris akut atas desain peradaban oleh kapitalisme lanjut yang memuja simbolitas dan informasi yang bernama Hiper dan Ekstasi. Dari fenomena ini kita melihat kembali nilai-nilai Nasionalisme kita sekarang telah ditantang dengan nilai Inter-nasionalisme.
Hemat saya, ketika nilai inter-nasionalisme tidak dibaca secara konsekuen, tentunya akan mempengaruhi kebhinekaan dan multikulturalisme yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kita yang hidup dalam satu konstruk peradaban yang dikenal dengan istilah era ekonomi infomasi, dimana segala yang menjadi aktivitas sosial budaya tidak terintegrasi dengan teknologi informasi kemungkinan akan tergusur oleh semangat globalisasi. Tentu saja sebagai akibatnya tidak mendapatkan pasar bagi aktivitas ekonomi yang tidak teintegarsi dengan teknologi informasi.
Senada dengan promlem di atas, maka mengawinkan teknologi informasi dan kebudayaan lokal menjadi langka yang stratergis. Apabila diamati dengan kritis, fenomena yang buming di media masa baru-baru ini, ketika keatifitas teman-teman musisi dari Indonesia timur menghadirkan nuansa baru dalam dunia musik dengan lagu-lagu daerah yang terpopkan.
Kapten Purek misalnya, dengan lagu kaka main salah & berenti kasian telah mengambil simpati banyak orang. Dari sumatra sampai papua mampu menikmati alunan nadanya, menari seraya bernyayi lagu yang khas dengan logat NTT. Begitu pula dengan lagu su sayang yang dibawakan Dian, dan Musisi Maluku & Papua dengan lagu Rap-nya.
Kekutaan budaya pop pernah di ungkapkan oleh Ariel Haryanto dalam bukunya yang berjudul “Budaya Populer di Indonesia dan Mencarinya Identitas Pasca Orde Baru, 2012”. Ketika mejelaskan konser Peterpan yang diadakan di Timor Leste atau dulunya disebut Timor Timur.
“Nyaris setiap anak muda di kota bersorak. Orang-orang memanjat menara telepon dan melompat ke atas pagar stadion anya supaya bisa menonton konser. Keadaan tampanya akan jadi huruhara, namun kali ini tidak ada sangkut pautnya dengan perjuangan kebebasaan. Hanya sikitar lima tahun setelah kemerdekaan, orang – orang secara harafiah tumpang tindih menyaksikan band yang berasal dari negara yang mereka ceraikan. Ini semacam momend rekonsiliasi. Perempuan di sebela saya berkata : Kami sebenarnya cinta Indonesia, kami hanya benci militernya’(Arnold 2006 : 3).”
Kembali ke asumsi awal bahwa kemungkinan kebhinekaan kita memang tumbuh dari kekuatan budaya pop. Jika demikian, semangat inilah yang terus dipupuk sebagai gerakan Glokalisasinya atau suatu gerakan yang merespon westernisasi yang dibawa dari budaya barat, sehingga masyarakat timur tidak hanya bisa pasrah dan pasif menerimanya melainkan dapat pula meresponnya.
Penulis, Nasruddin Leu Ata
Mahasiswa Perpajakan Poltek API Yogyakarta