“Ketika malam tidak hanya berarti gelap dan nyala lampu sebagai penerang, maka malam tersebut patut dipertanyakan dan mendapat perhatian untuk dikaji secara serius”.
Kita harus bersikap kritis terhadap segala sesuatu. Sebab apa yang terjadi saat ini, bukanlah sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit. Dengan kata lain bahwa yang nampak di hadapan kita selalu bisa dilacak akar historisnya atau kepentingan apa dibalik itu. Sebut saja malam minggu yang secara tidak langsung, tanpa disadari telah menghegemoni setiap orang untuk melakukan apa yang sudah menjadi standar malam minggu yang telah diciptakan.
Jika setiap datang malam minggu, orang-orang disibukkan dengan sederet pertanyaan-pertanyaan. Harus kemana? Malam ini pergi dengan siapa? Menggunakan pakaian apa agar terlihat menarik? Belanja apa? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya.
Walakin demikian, perlu kiranya ditegaskan bahwa tulisan ini tidak dalam rangka untuk melacak akar historis kenapa malam minggu itu ada. Akan tetapi saya mencoba untuk menganalisis kepentingan pasar yang bergerak melalui konstruksi sosial tentang malam minggu. Selanjutnya saya mencoba menganalisis ideologi apa yang sedang menari di atas panggung malam minggu tersebut.
Tulisan ini juga bermaksud untuk membuka ruang diskursus tentang malam minggu secara kritis. Diskursus ini akan diawali dengan pertanyaan, ada apa dengan malam minggu dan dampaknya seperti apa?
Saya hanya akan memfokuskan tulisan singkat ini untuk memahami apa sebenarnya di balik malam minggu. Hal itu bukan berangkat dari keresahan pribadi karena jarang keluar untuk malam mingguan.
Pertanyaan kenapa malam minggu kerap dialamatkan sebagai malam untuk keluar rumah? Kenapa orang sangat berhasrat keluar dengan pasangan atau teman saat malam minggu tiba? Mengapa harus tempat-tempat tertentu saja yang menjadi objek kunjungan di malam minggu? Dan tempat seperti apa yang seringkali menjadi objek kunjungan? Lalu ada apa dengan tempat itu?
Mengapa orang sering tampil di malam minggu dengan penampilang yang demikian, pakaian branded, dll?,
Demikianlah saya membuka tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang kadang dianggap tidak penting. Bahkan dianggap pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Padahal dibalik fenomena tersebut memiliki dampak yang cukup serius.
Malam minggu kemana, dengan siapa?
kita sering dihadapkan dengan pertanyaan seperti di atas. Yang paling substansial dari pertanyaan itu menunjuk pada tempat, urusan dengan siapa itu tergantung kondisi: dengan pasangan atau teman. Jika dianalisis secara kritis, maka kita akan temukan hal lain selain tempat hanya sekedar tempat dan teman jalan hanya sekedar teman jalan di malam minggu. untuk itu kita pisahkan dulu fokus dari kedua pertanyaan diatas yang pada prinsipnya memiliki keterhubungan.
Hampir setiap tempat yang menjadi objek kunjungan malam minggu adalah pusat-pusat perbelanjaan, dimana pasar modern dibangun dan sebagai pusat perputaran ekonomi suatu daerah. Artinya ditempat-tempat ini merupakan bentuk paling nyata dari upaya menciptakan konsentrasi pasar kapitalis (pasar bebas), dan juga medan pertarungan sengit yang terjadi antar kapitalis.
Harus juga dipahami bahwa pertarungan pasar tidak hanya antara produk, tapi juga bagaimana pengunjung/konsumen tempat itu (sasaran pemasaran) terlibat secara tidak sadar dalam pertarungan kapitalisme pasar bebas.
sebagai arena pertarungan, kita bisa saksikan di pasar-pasar modern seperti jatiland mall, pasar yang tidak hanya menyediakan satu komoditas produk, tapi bermacam-macam produk. Dan semuanya dari perusahan yang berbeda-beda, karakteristik pasar demikian yang dimaksud dengan pasar bebas.
Anda bisa saksikan bagaimana pertarungan merek antara Nike dan Adidas; sebut saja produk sepatu, masing-masing berusaha menarik perhatian pengunjung. ketika pengunjung tertentu masuk dalam sebuah toko Adidas, itu artinya Adidas menang dalam berebut konsumen. Tapi manakala pengunjung dalam keadaan dilema, itu artinya bahwa perang merek sedang berlangsung dan pengunjung tersebut sudah menjadi korban dari perang antar kapitalis; menjadi korban karena ia dilema bukan karena sepatu, tapi karena merek apa yang sekiranya lebih baik.
Dampaknya adalah pengunjung menjadi kehilangan substansi sepatu, yang tadinya sepatu hanya untuk melindungi kaki, kini berubah menjadi lebih dari itu, yaitu fashion. Yang sesungguhnya berpengaruh secara psikologis; jika tidak menggunakan barang bermerek akan ketinggalan zaman, tidak modern, tradisional. Pada akhirnya hidup modern dipahami sebatas bergaya-gaya atau lifestyle, bukan sebagai paradigma keilmuan (Baca: Hasyim Wahid dkk, 1999).
Pola hidup konsumtif pun terbentuk untuk mendukung kepentingan kapitalisme pasar bebas, dengan begitu kapitalisme akan tetap tumbuh dan langgeng dimana-mana, bahkan ada di isi kepala setiap korbannya. Konstruksi demikian nyaris sama dengan jenis penyakit menular yang akan menularkan kepada yang lain sehingga tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak manusia-manusia konsumtif yang dibentuk oleh pasar bebas kapitalis.
Pertarungan yang menghasilkan manusia konsumtif, selanjutnya akan menjadi pekerja tanpa upah, lebih tepatnya menjadi budak kapitalis. Dengan menggunakan suatu merek sepatu dan bermalam minggu di tempat keramaian, secara tidak sadar sudah menjadi pekerja untuk kapitalis (pekerja tanpa upah), yaitu mensosialisasikan merek kepada yang lain.
Sosialisasi itu sering disebut iklan yang pada hakikatnya bertujuan untuk me-reproduksi keinginan orang yang melihat produk tersebut. Konsekuensi logisnya akan terjadi pemberhalaan komoditi. Analisis ini secara nyata memperlihatkan bahwa pengunjung bukan hanya menjadi pembeli, namun pembeli sekaligus menjadi pekerja tanpa upah yang itu merupakan bentuk dari eksploitasi tenaga manusia secara terselubung. Meminjam istilah David Harvey “accumulation by disepossession”.
Celakanya lagi jika orang tersebut tidak menyadari hal itu, dan berbangga dengan kebodohan yang disuplai oleh kapitalisme. Ia tidak sadar kalau dirinya sudah seperti pameran berjalan pasar kapitalis.
Sosialisasi, tepatnya mengiklankan produk, tidak hanya terjadi di ruang publik tempat ia bermalam minggu. Sebab hal itu dipercanggih dengan perkembangan teknologi melalui foto dan video menggunakan hanphone. Memang secara eksistensial orang membutuhkan pengakuan atas dirinya, tapi disamping itu juga mampu mempengaruhi atau mengkonstruksi pikiran orang tentang gaya hidup di malam minggu.
Penciptaan realitas semu melalui teknologi akan melahirkan fakta sosial baru, pada akhirnya orang akan berbondong-bondong memiliki handphone bermerek atau kualitas gambar yang dihasilkan lebih baik. Hal ini tergambar secara jelas melalui film dokumenter dari Andrew Morgan yang berjudul “The True Cost”.
Pertarungan perusahan handphone juga ikut ambil bagian di wilayah itu, dengan sendirinya konsumen ikut terlibat dalam pertarungan merek handphone. Singkatnya, semua terlibat dalam pertarungan karena prinsip kapitalisme pasar bebas adalah survive.
Disamping itu, paradigma modernitas yang bertumpu pada gaya hidup semata, akan mengkerdilkan dan cenderung diskriminatif. Orang yang tidak menggunakan pakaian bermerek dibilang tertinggal, tradisional, kolot, tidak modern dan tuduhan-tuduhan lainya, yang tidak berdasar itu. Orang-orang akan kehilangan nilai-nilai kultural, karena hanya menerima produk modern secara buta, tanpa nalar kritis untuk memahami ideologi dibalik bungkus modernisme.
Perihal tempat memang tidak bisa disamakan antara yang satu dengan yang lain, hanya saja saya mencoba menganalisis beberapa tempat saja untuk menjadi acuan analisis bagaimana rezim pasar bebas membentuk manusia konsumtif. Kendati demikian, bukan berarti hanya terjadi di tempat yang saya maksudkan, bisa jadi itu juga terjadi di tempat lain dengan model dan cara yang berbeda, namun memiliki tujuannya sama.
Soal pedagang lokal/kecil saya pikir itu bukan objek yang saya kritisi, karena jelas yang saya maksud pasar bebas adalah pasar yang menguntungkan kapitalis. lagi pula, para pedagang kecil selalu kalah bersaing, sehingga mereka hanya dapat ‘cipratannya‘: itu pun mereka harus banyak berdo’a terlebih dulu, yang artinya nasib dagangan mereka bersifat untung-untungan.
Terkait pertanyaan dengan siapa? ini bukan hal sepele yang kita sebut sesuai keinginan hati belaka. Saya tidak melihat pada aspek itu, tapi pengaruhnya terhadap tempat mana yang dipilih yang kesemuanya merujuk ke panggung pertarungan pasar bebas. Perlu disadari bahwa ketika seseorang memilih dengan siapa ia akan pergi, secara langsung ia juga akan menentukan tempat yang sesuai. Misalnya, malam mingguan dengan pacar, maka tempatnya pasti romantis-romantis ala kapitalis.
Romantis ala kapitalis adalah romantisme yang di standarisasi, mulai dari tempat duduknya begini, lampunya begitu, menunya bermacam-macam dll. Pada akhirnya tempat seperti angkringan, tempat diskusi di warung kopi tidak dianggap sebagai tempat romantis. Klasifikasi tempat pun terjadi. Rata-rata tempat yang dianggap romantis adalah tempat dengan desain modernis ala Romana (kerajaan roma).
Hal-hal yang bersifat kultural pun mulai dijadikan sebagai alat akumulasi kapital, tidak lagi menjadi refleksi simbolik untuk mensosialisasikan nilai-nilai kebudayaan. Target desain kebudayaan hanya bertujuan menarik pelanggan demi laba yang banyak, bukan lagi sebagai counter wacana dominan yang modernis-liberal.
Pilihan-pilihan demikian menunjukan kecenderungan arah perubahan sosial menuju masyarakat kapitalistik. Sudah barang tentu, hal ini tidak bergerak sendiri, tapi digerakkan oleh sistem kapitalis yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat pasar bebas. Disamping setiap perusahaan bertarung, para pelanggan pun diupayakan dan dipaksa agar masuk dalam jebakan batman Neoliberal.
Model-model pemaksaan seperti itu, bukan kali ini terjadi, tapi bisa kita temukan dari sejarah bagaimana kapitalisme membangung tubuh raksasanya yang rakus. Sistem kolonialisme, perbudakan, modernisme, model Ideologi developmentalisme, struktural fungsional, globalisasi/neoliberalisme: kesemuanya adalah paket utuh dari perkembangan kapitalisme global yang menjadikan laba sebagai satu-satunya tujuan akhir umat manusia, kiamat akan tiba jika perusahaan kapitalis tidak mendapat laba sebanyak-banyaknya, itulah mitos neoliberal yang didukung juga oleh kebodohan pemerintah, akademisi, dan kelompok penjilat lainnya. (Baca: Dr. Mansour Fakih: 2002/2011).
Apa bedanya malam minggu dengan malam yang lain?
Pertanyaan ini pernah saya ajukan kepada salah satu teman, jawabannya sangat sederhana yaitu “sama saja dengan malam yang lain”. Namun jika dianalisis secara kritis jawabannya tidak sesederhana itu, malam minggu tidak hanya sekedar malam. Konstruksi sosial terhadap malam minggu telah menjadikannya malam ritual dan perang kapitalis, itulah kenapa malam minggu tak sekedar malam yang dipahami secara sederhana oleh kebanyakan orang yang hanya menerima begitu saja tanpa analisis kritis.
Untuk membedakan malam minggu dengan malam lain, kita perlu menegaskan tujuan kapitalisme: yaitu mendapatkan laba sebanyak-banyaknya, untuk mendapatkan laba; kapitalisme menumpangi segala hal, baik kolonialisme, rasisme, agama, tanpa terkecuali malam minggu sekalipun (Baca: Karl Marx, Das Kapital Buku Satu). Dan di setiap malam minggu, pendapatan dari hasil penjualan produk meningkat dua kali, bahkan berkali-kali lipat dari malam biasa.
Beranjak dari fakta diatas kita dapat membangun asumsi bahwa malam minggu juga sudah dikapitalisasi untuk meningkatkan pendapatan, karena mitos yang diciptakan adalah malam minggu kemana? dengan siapa? menikmati ini dan itu, semuanya mengarahkan orang untuk semakin konsumtif atau keluar rumah untuk pergi ke suatu tempat. Yang tadinya orang hanya menganggap malam libur, sekarang berubah menjadi malam menghambur-hamburkan uang sebagai bentuk pemujaan terhadap komoditi.
Malam minggu dan hari minggu yang sering disebut-sebut waktunya liburan, sesungguhnya bukan tanpa kepentingan kapitalis. Liburan tidak lagi sekedar istirahat semalam atau sehari dari beberapa hari kerja, tapi orang-orang dimobilisasi ke tempat-tempat wisata atau sejenisnya yang sudah dikapitalisasi.
Hutan ditebang, sungai dan laut dicemari limbah pabrik, polusi kota, hal itu kemudian menjadi alasan fundamental untuk mengarahkan orang ke tempat yang sudah disediakan dan dikapitalisasi
Coba kita sejenak berpikir; di indonesia, pulau mana sih yang tidak ada sungai, laut, hutan? dll, untuk jadi tempat menghilangkan penat. semuanya sudah tersedia. hanya saja, saat ini semua tempat itu sudah dikapitalisasi, sehingga kita harus bayar: bayar parkir, uang masuk, semuanya serba bayar.
Model demikian sebenarnya sudah sejak lama diterapkan di masa orde baru dengan ideologi developmentalisme; secara ekonomi menggunakan teori pertumbuhan W.W. Rostow, secara sosial menggunakan teori struktural-fungsional Talcott Parsons (Baca: Hasyim wahid dkk, 1999). Yang disebut pertama bertujuan menciptakan konsumsi massal; yang tersebut kedua bertujuan merekayasa sosio-kultural untuk mengarahkan pada konsumsi massal.
Sampai saat ini, paradigma semacam ini masih tertanam, karena penerimaan kita terhadap sesuatu secara buta tanpa analisis kritis. Akhirnya orang bangga dengan asumsi buta bahwa hidup sudah demikian adanya, kedepan juga pemerintah sedang berusaha menciptakan kesejahteraan. Tanpa ia sadari bahwa hal itu sebenarnya menunjukan bahwa ia sedang berjalan menuju jurang kemiskinan atau paling tidk mendukung saudara se-bangsa-nya untuk dimiskinkan secara terus-menerus.
Sepintas lalu, analisis ini kelihatan semacam melebih-lebihkan malam minggu, yang sebenarnya hanya soal gelap atau tenggelamnya matahari. Namun, sekali lagi bahwa problemnya tidak sedangkal yang diasumsikan banyak orang. Marx dalam Das Kapital Buku Satu; sudah menegaskan tentang watak dari kapitalisme. Kurang lebih bahwa kapitalisme sudah menyamai hukum alam yang tidak memberi ruang sedikitpun, disetiap ruang ada materi, begitulah kapitalisme disetiap sendi-sendi kehidupan kita sudah dimasuki kapitalisme, yang artinya dikapitalisasi.
Kapitalisme sangat anti dengan ketiadaan laba atau laba yang kecil, maka proses akumulasi kapital harus tetap berjalan dan menumpangi segala hal demi keuntungan. Mulai dari perihal teologi sampe soal penyakit kulit sudah ditumpangi kapitalisme, jika tidak melebih-lebihkan, kurang lebih dapat dikatakan bahwa dari rencana orang tua membuat anak itu sudah dikapitalisasi.
Salah satu contoh konkritnya, di masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono diterapkan program KB (keluarga ber-ancaman), belum lagi saat anak lahir nanti harus minum susu ini, makan itu, belajar ini dan itu sampai mati. Saya khawatir surga dan neraka dikapitalisasi, karena masifnya kapitalisme mendarah daging. Sekali lagi perlu dipertegas disini untuk tidak meremehkan setiap sesuatu yang muncul dihadapan kita, karena untuk menganalisis kepentingan latent, kita perlu memahami terlebih dahulu hal yang manifes.
Perlu juga disadari bahwa setting dunia global memiliki bahaya yang sangat serius. Mulai dari abad ke-17 sampai abad ke-19, dunia memasuki kekacauan global, ditandai dengan revolusi gereja dan revolusi politik di prancis. Fase ini kita kenal dengan modern. Modern sebagai satu produk sejarah barat, memiliki kepentingan terhadap belahan dunia non-barat, sehingga pembelahan dunia pun terjadi antara barat dan timur, istilah barat dan timur sesungguhnya menandakan kolonialisme eropa terhadap negara lain.
Menukil Ali syari’ati dalam bukunya berjudul Ideologi kaum intelektual, tegas mengkritisi apa yang disebut modern. Menurutnya bahwa modern sesungguhnya adalah bentuk hegemoni barat terhadap timur. Dunia dipaksa untuk menjadi modern, yang intinya adalah mengikuti barat. Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa kita dipaksa untuk menerima.
Begitu juga dengan Jean Baudrillard dalam buku La Societe de Consommation; menegaskan bahwa masyarakat konsumsi sesungguhnya adalah hasil konstruksi sosial, itu berarti bahwa orang dipaksa untuk mengkonsumsi. akhirnya antara kebutuhan dan keinginan tidak dapat dibedakan.
Dari gagasan di atas, menjadi jelas bahwa kita tidak bisa menyederhanakan sesuatu sehingga dapat dimengerti apa yang penulis maksud dengan kapitalisasi malam minggu, atau dengan kata lain, malam minggu bukan hanya sekedar malam.
Tulisan ini bukan sebuah kritik agar kita ‘jijik’ atau takut, apalagi murka terhadap malam, terutama malam minggu. Tapi penulis mendasarkan kritik ini dari nasehat bijak Paulo Freire: untuk keluar dari ketertindasan, kita perlu memahami sistem sosial, politik, ekonomi, budaya yang menindas (paulo freire: 1970). Artinya penulis tidak menyalahkan orang yang menikmati malam minggu apalagi menghapus malam minggu. Yang menjadi titik tekan disini adalah setidaknya tulisan ini menjadi bahan diskursus bersama, terutama sistem kapitalisme yang mengkonstruksi atau mengkapitalisasi malam minggu, juga mempertegas bahwa kita tidak boleh menyederhanakan persoalan yang nampak, semua harus dianalisis secara kritis.
Dengan memahami situasi ketertindasan, maka kata ‘kebebasan’ atau ‘membebaskan diri’ memiliki arti yang tidak hanya sebuah kata belaka (verbalisme). Lebih dari itu kebebasan mendasarkan pada hakikat kemanusiaan sejati. Kemanusian sejati yang dimaksud lebih pada konsep humanisasi Freire; yaitu humanisasi kaum tertindas dan kaum penindas.
Akhirnya penulis ingin menutup tulisan ini dengan ucapan “selamat bermalam minggu”, malam minggu harus dipahami sebagai malam untuk merefleksikan diri. Malam minggu bukan malam untuk bergaya-gaya, tapi sebuah malam perenungan mendalam tentang siang yang telah berlalu, agar malam memiliki makna substansial. Kita tidak perlu menolak malam minggu, tapi menerimanya dengan nalar kritis dan penuh keyakinan, karena hanya dengan begitu kita mampu mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih manusiawi. Seperti dikatakan Polanyi: “Di masa kita, manusia memasrahkan dirinya kepada realitas masyarakat yang berarti berakhirnya kebebasan. namun sekali lagi, hidup muncul dari kepasrahan paling mendalam” (Karl Polanyi, 1944: 351).
Penulis, Abdul Haris Nepe
Mahasiswa Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
Kader PMII Daerah Istimewa Yogyakarta