Football’s Coming Home (Again)?

Football's Coming Home (Again)?
Football's Coming Home (Again)? (Ilustrasi: pixabay)

Football’s Coming Home (Again)?

Kilatnews.co Di Inggris, sepakbola merupakan olahraga nasional yang banyak digemari. Peraturan-peraturan modern pertama permainannya dibuat pada tahun 1863, dan berpengaruh besar pada perkembangan aturan permainan saat ini. Dengan lebih dari 40.000 klub sepak bola, menjadikan Inggris sebagai negara terbanyak yang mempunyai klub yang berpartisipasi.

Inggris kemudian dianggap sebagai tempat kelahiran sepak bola. Anggapan ini berdasarkan bukti sejarah adanya klub sepak bola tertua di dunia (Sheffield FC), Badan Nasional pengatur sepak bola tertua di dunia (The Football Association), tim nasional pertama, kompetisi sistem gugur nasional tertua (Piala FA) dan liga nasional tertua (The Football League).

Saat ini Football’s Liga domestik Inggris, Liga Primer, adalah salah satu liga olahraga paling populer dan terkaya di dunia, dan merupakan rumah bagi beberapa klub terkenal di dunia sepak bola, sebut saja Liverpool, Chelsea, Manchester City, Tottenham Hotspur, Arsenal, Manchester United, dll. Klub yang menjadi langganan peserta Liga Champion, ataupun Liga Eropa dalam satu dekade terakhir.

Hanya sayangnya, masyarakat Inggris yang klaim budaya sepakbola berawal dari Inggris, namun justru Inggris baru sekali mengangkat tropi piala dunia, itupun harus menunggu selama 36 tahun penyelenggaraan Piala Dunia. Atau setelah Piala Dunia ke 8 (1966) Inggris berhasil juara, yang kebetulan pula berlaku sebagai tuan rumah. Bandingkan dengan negara seperti Brazil dan Jerman.

Sedikit gambaran Final Piala Dunia 1966. Inggris yang ketika itu berada di bawah kendali pelatih Alf Ramsey tampil luar biasa. Disaksikan ratusan ribu pasang mata di Stadion Wembley, The Three Lions menaklukkan Jerman Barat dengan skor meyakinkan 4-2. Kemenangan diraih melalui babak ekstra setelah kedua negara bermain imbang 2-2 selama 90 menit.

Hasil ini ibarat merumahkan sepak bola mengingat penduduk Inggris selalu mengklaim bahwa sepak bola modern merupakan hasil kebudayaan mereka (Football’s Coming Home).

Bisa dimaklumi bila euforia Inggris meledak ketika itu. Hampir seluruh penonton yang hadir merupakan warga setempat, sehingga lantunan Rule Britania, sebuah lagu tentang kekuasaan Inggris atas dunia, menggema di Stadion Wembley, 30 Juli 1966.

Skuat Inggris merasa seperti pahlawan yang baru saja mempersembahkan kemenangan di medan perang. Terlebih, perjuangan mereka disaksikan secara langsung oleh Ratu Elisabeth II.

“Final Piala Dunia 1966 bukan sekadar pertandingan biasa. Segala emosi tercurah di sana. Seakan laga itu terus berlangsung sampai dua bulan,” cetus Geoff Hurst yang menjadi satu-satunya pemain menciptakan hatrik di partai final Piala Dunia.

Pertandingan sengit kelas wahid ini pun berakhir dengan skor 4-2 untuk kemenangan Inggris. Sebuah pertarungan yang menyajikan kepuasan kepada setiap penonton, kecuali suporter Jerman Barat tentunya. Bagaimana kira-kira peluang tim England pada Piala Dunia 2022 di Qatar kali ini? The Three Lion menjadi salah satu tim unggulan bersama Brazil, Jerman, Argentina, Prancis dan Spanyol.

Dihuni oleh pemain yang lebih banyak berkiprah di liga domestik (primer), Tim di bawah asuhan Gareth Southgate ini memiliki kepercayaan diri tinggi. Pada laga perdana, Harry Kane dkk berhasil menang telak atas Iran 6-2. Namun di laga berikut sempat ditahan draw oleh AS. Posisi ini belum aman untuk lolos ke babak 16. Untuk itu mereka harus all-out dan menang harga mati melawan Wales.

Jika melihat data statistik di pertandingan melawan AS, Harry Kane dkk tampak miskin tendangan percobaan yang hanya 8 kali, kalah dengan AS (10). Begitupun tendangan tepat sasaran hanya 3 kali, sedangkan penguasaan bola hanya sedikit lebih unggul dari lawannya (56%). Padahal AS bukanlah tergolong tim berat. Peringkat FIFA hingga liga domestik kedua negara nyata berbeda level.

Inggris harus lebih berani kreatif menekan lawan dan melakukan serangan secara variatif. Ketergantungan kepada Sang Kapten seorang tentu tidak akan produktif. Saka, Mount dan Sterling harus lebih aktif melapis Harry Kane di depan. Untuk sementara Saka memang menjadi top score bagi tim Inggris meninggalkan Kane sebagai ujung tombak.

Artinya pula, Inggris belum menemui tim yang sepadan yang bisa membuat kocar-kacir pertahanan mereka seperti Spanyol, Brazil dan Argentina ataupun Perancis yang mengandalkan sepakbola menyerang. Jika level permainan Inggris sama ketika melawan AS, maka lagu Football’s Coming Home dipastikan tidak akan pernah bergema. Entah kapan lagu itu dinyanyikan lagi.