BISNIS  

Era Kompetisi: Tenaga Kerja Versus Mesin Pintar

Era Kompetisi: Tenaga Kerja Versus Mesin Pintar

Era Kompetisi: Tenaga Kerja Versus Mesin Pintar

Oleh : Hazwan Iskandar Jaya

Jumlah penduduk Indonesia selama beberapa tahun mendatang akan terus meningkat. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 lalu jumlah populasi Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Kemudian, pada 2024, angkanya berpotensi meningkat hingga 282 juta dan sekitar 317 juta jiwa pada 2045.

Data BPS 2018, jumlah generasi millennial berusia 20-35 tahun mencapai 24 persen, setara dengan 63,4 juta dari 179,1 juta jiwa yang merupakan usia produktif (14-64 tahun). Tidak salah bila pemuda disebut sebagai penentu masa depan Indonesia. Inilah yang disebut sebagai bonus demografi.

Konsekuensi dari bonus demografi adalah perubahan pola kerja. Presiden Direktur Astra International, Prijono Sugiarto, dalam program #SuaraMillenial oleh IDN Times mengungkap bahwa bukan cuma di dunia atau di Indonesia. Di Astra, 70 persen dari 250 ribu karyawannya adalah di usia millennial. Cara berbisnisnya harus disesuaikan dengan millennial pula.

Baca Juga:

Karakter: Indikator Penanda Kualitas Pekerja

Akan tetapi, tingginya angka pengangguran di Tanah Air menjadi tantangan bagi Bumi Pertiwi untuk mengoptimalisasi bonus demografi yang akan berakhir pada 2045 ini. Tingkat pengangguran terdidik masih cukup tinggi. Kalau tidak melakukan pembenahan, salah satunya pada kualitas tenaga kerja, alih-alih menjadi bonus demografi, jika tidak kita malah menghadapi bencana demografi (Bhima Yudhistira, 2019).

Lantas, sebagai generasi milenial, bagaimana seharusnya kita menyikapi bonus demografi ini? Apakah menjadi tantangan atau peluang? Menurut catatan Bhima, selaku peneliti INDEF menjelaskan bahwa permasalahan Indonesia hari ini adalah tingginya angka pengangguran. Salah satu penyebabnya adalah pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Hal tersebut bermuara dari pelajaran yang diterima di sekolah tidak sesuai degan kebutuhan lapangan kerja.

Merujuk data yang dibeber Bhima, tingkat pengangguran terdidik di SMK masih cukup tinggi, yakni 11,24 persen, disusul SMA 7,95 persen, diploma 6.02 persen, universitas 5,89 persen. Angkanya justru kalah jauh dibanding pengangguran dari tamatan SD yakni 2,43 persen dan SMP 4,8 persen. Padahal, sebagaimana diketahui, SMK menjadi salah satu pilihan pendidikan untuk siap memasuki pasar dunia kerja, yakni dunia usaha dan dunia industri.

Persaingan Mesin Pintar

Terlebih, memasuki era digital 4.0, setiap manusia akan berhadapan dengan mesin sebagai “kompetitornya” dalam menguasai lapangan kerja. Memasuki era digital tentu yang dibutuhkan adalah orang dengan keahlian data analysis, programmer, apps developer, digital marketing. Sayangnya, lulusan pendidikan kita sebagian besarnya bekerja pada bidang yang tidak linier dengan kejuruannya.

Negara penganut program TVET (Technical and Vocational Education and Training) menyatakan bahwa peran Dunia Usaha dan Dunia Industri (DuDi) sangat penting. Kamar Dagang dan Industri sebagai Lembaga Resmi dapat mewakilinya. Kompetensi menjadi penting dalam upaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan hal yang terkait dengan sikap kerja yang berkesuaian dengan pekerjaan di DuDi.

Baca Juga: 

Corona dan Lambang “Wei-Ji”

Pengertian kompetensi dapat dijelaskan secara sederhana sebagai kemampuan manusia yang ditemukan dari praktek dunia nyata yang dapat digunakan untuk membedakan antara mereka yang sukses (‘superior’) dengan yang biasa-biasa saja di tempat kerja.  Kompetensi seseorang dapat ditunjukkan dengan hasil kerja atau karya, pengetahuan, keterampilan, perilaku, karakter, sikap, motivasi, dan/atau bakatnya. Menurut substansinya kompetensi (kemampuan) dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kompetensi umum (generic competencies atau soft competencies ) dan kompetensi bidang (“hardcompetencies”). Sudut pandang lain dalam mengklasifikasikan kompetensi, dapat ditinjau dari tingkatan kompetensi dan efek tingkat kinerja yang ditimbulkannya.

Dalam klasifikasi ini, kompetensi dibedakan menjadi kompetensi minimum (“threshold competencies”) dan kompetensi pembeda individu dengan kinerja superior dan rata-rata (“differentiating competencies”). Pada tingkat organisasi, kompetensi dapat diklasifikasikan menurut perannya dalam pencapaian visi-misi, bisnis, strategi, dan budaya perusahaan. Dalam hal ini kompetensi dibedakan menurut kompetensi inti (“core competencies”) dan kompetensi pendukung (“supporting competencies”).

Namun, era digital 4.0 ini telah jauh melampaui generasi. Di saat berbagai aplikasi mesin pintar telah menggantikan pekerjaan manusia, maka perlu segera melakukan penyesuaian. Supply chain berubah. Pola transaksi bisnis pun mengalami perubahan. Maka sektor-sektor produksi dan pelayanan pun mengalami berbagai perubahan.

Apakah kita ingin dilindas oleh teknologi informasi, disaat menjelang bonus demografi nanti? Tentu saja tidak! Maka sekaranglah saatnya untuk melakukan persiapan. Meningkatkan kompetensi individu dalam bidang tertentu tanpa harus kehilangan jati diri. Kitalah yang menguasai mesin, bukan kita yang diperbudak oleh mesin.

Hazwan Iskandar Jaya. Penulis adalah Kolumnis, Master Trainer dan Anggota Komite Vokasi dan Produktivitas Daerah DIY