ESSAI  

Dinamika Kemanusiaan di Era New Normal

“…Apapun bentuknya, sikap ekstream itu ndak baik.”(Gus Mus).

Di era New Normal (Tatanan Dunia Baru) meremehkan maupun terlalu takut berlebihan (paranoid), dalam menyikapi keadaan yang disebabkan oleh wabah Corona Virus atau Covid-19 ini juga tidak baik.

Himbauan pemerintah beberapa bulan terakhir untuk menekan peningkatan positif covid atau infeksi pada ODP-PDP merupakan tidakan pencegahan yang bersifat offensife. Sosial distancingmenjadi sangat wajib dipatuhi, dan beberapa protocol medis lainnya. Cara-cara seperti pemblokiran jalan warga menuju tempat pemakaman umum, pengusiran mobil janazah korban positif covid, ikut memperburuk situasi dan kondisi psikologi warga setempat dan masyaraat di Indoneasia pada umumnya.

Disinilah pentinggya kesadaran kesehatan yang perlu diimbangi dengan rasa kemanusiaan. Dalam kasus di atas, kita dapat menjadikannya sebagai media pembelajaran untuk intropeksi diri, bahwa sikap kemanusiaan kita belum sepenuhnya dapat berpartisipasi, beradaptasi dan saling bergortongroyong dengan baik. Fenomena di masa pandemi tersebut semakin memperjelas mengenai sikap kemanusiaan kita yang gampang melempem, super ego dan kagetan.

Pandemic covid-19 sempat memperburuk keadaan sistem sosial dan ekonomi ditanah air. Tatanan sosial perlu ditata kembali secepat mungkin. Langkah-langkah new normal yang diterapkan oleh pemerintah, tentunya sangat efektif, efesien dan solutif. Pembacaan situasi melalui pertimbangan yang matang dapat meminimalisir kalkulator margin error, sebagai konsekuensi dari langkah yang diambil oleh pemerintah. Sehingga apa yang telah di prediksi, dapat diantipasi dengan baik oleh pemerintah. Pada gilirannya,  mampu mengembalikan kondisi sosial dari berbagai lini sektor, baik secara ekonomi, politik, hingga menyentuh ruang-ruang spiritual masyarakatnya.

Selama memasuki new normal, kita semua harus lebih sadar untuk memulai hidup dengan berkolektif-produktif. Menciptakan peluang kerja yang kreatif, menerapkan standart pola hidup sehat, dan bergotongroyong membantu kondisi masyarakat yang sangat membutuhkan kecukupan pangan.

Meskipun demikian, kita sadar bahwa tatanan hidup baru, tidak bisa lepas begitu saja dari tantangannya. Kedua kutub tantangan ini berada di antara ekonomi dan meningkatnya kasus infeksi corona di sektor aktifitas publik yang padat. Dalam beberapa hal harus diakui keberhasilan ekonomi, telah kembali tertata dengan baik meski sebelumnya kasus PHK terhadap pekerja di sektor formal, pada april lalu mencapai 229. 789 orang. Sementara itu yang dirumahkan sebanyak 1.270. 367 orang (Kompas, 19 April 2020).

Fenomena turut menambah keperihatinan terhadap enonomi masyarakat menengah kebawah. Tantangan kutub kedua ada pada meningkatannya kasus infeksi. Sejauh ini, sejak diterapkannya new normal peningkatan kasus dampak wabah covid tertinggi di Asia adalah Indonesia. Melansir dari laman berita kompas, total jumlah pasien meninggal dunia akibat virus corona mencapai 3.309 hingga Selasa (7/7/2020).

Kasus infeksi di indonesia, telah melampaui Singapura sebagai negara anggota ASEAN dengan total kasus terbanyak, (Source: WHO, 17 Juni 2020). Selain memberi harapan di tengah pandemi, suatu sisi new normal  juga sempat membuat kita kebingungan, menerapkan tatanan hidup baru, seolah membuka kembali keran penyebaran infeksi lebih meluas, setelah sekian upaya yang dilakukan mulai dari picscal distancing, social distancing, lock down hingga diterpakannya pembatasan sosial bersekala besarr (PSBB), seolah percuma, membuat kita seakan bunuh diri.

Sebagaimana diketahui, Corona Virus merupakan jenis penyakit menular dengan akselerasi penulran yang sangat cepat.  Seperti dikatakan dimuka, penyebaran covid-19 semestinya  diantisipasi dengan kesadaran hidup bersama-sama secara kolektif-produktif. Pentingnya gotongroyong dalam menciptakan sistem pola hidup sehat yang tengah disiapkan oleh beberapa daerah seperti antisipasi yang tengah dilakukan oleh kepolisisan Daerah Metro Jaya. Yaitu dengan membentuk kampung Jawara, Pemkot Medan menerbitkan peraturan Wali Kota, tentang adaptasi kebiasaan baru pada pandemi covid 19. Sedangkan di Sumatra Selatan dan Pekalongan terdapat kampung siaga covid-19 (kompas, 08 Juli 2020).

Sejak digaungkannya new normal, diantara 4 Provinsi dan 25 Kabupaten atau kota di indonesia, diterapkan pertama oleh pemerintah Jawa Barat, pada 1 juni 2020, disusul Jakarta, pada 4 Juni 2020, kemudian Surabaya dan Kota Semarang, pada 7 Juni 2020. Kendati penerapan new normaltidak dilakukan dengan serempak, karena mengingat kondisi disetiap masing-masing daerah memiliki ciri dan faktor penyebaran dan penularan yang berbeda-beda. Pada akhirnya new normalmenjadi langkah yang tepat untuk menata sistem sosial masyarakat. Dan pemerintah daerah menjadi agen control dalam penerapan Protocol new normal yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO).

New normal adalah harapan, pun menjadi semangat baru bagi kita semua.

Sebuah resolusi jalan alternatif untuk memulai kembali kehidupan yang sehat dan optimis. Pandemi ini memang menjadi masalah baru dan tambah memperburuk keadaan. Menjadi momok tersendiri bagi masyarakat. Terlebih bagi masyarakat dengan latar belakang kelas ekonomi menengah ke bawah. Kasus serupa yang dihindari agar tidak terulang kembali yaitu kekalahan dan kegagalan kita sebagai manusia apabila kita tidak dapat mengantisipasi gelombang kedua covid-19 yang diprediksi akan membuat keadaan menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

Era new normal, sudah seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Dengan segala bentuk harapan beserta tantangannya yaitu ‘kemanusiaan dan ekonomi’. Kita butuh kekuatan dorongan emosional yang ramah, bersatu-padu dengan semboyan gotong royong agar tetap seimbang menghadapi krisis ekonomi di tengah pusaran pandemi. Kesadaran hari ini menjadi kunci untuk tetap solid dalam menjalani new normal.

Kesadaran yang diharapkan adalah kesadaran tanpa harus “diperintah” dalam mematuhi protokol medis, dan kesadaran akan tugas penting sebagai manusia adalah memanusiakan manusia tanpa toleransi yang malas atau lazy toleranc. New normal harus dimaknasi sebagai budaya baru hari ini. Oleh karena itu,  kita butuh beradaptasi, melakukan akselerasi dan akulturasi bersama dalam menerimanya, tanpa menghilangkan identitas kita sebagai bangsa dengan kerukunan yang asli atau indigenous.

Penulis, Ach Riadi, Direktur Pemuda Istimewa