Di Balik Setiap Hisapan Kretek
Oleh : M. Iqbalul Rizal Nadif
Indonesia merupakan Negara yang cukup berjaya pada masanya, sebagaimana tercatat oleh para leluhurnya di masa Sriwijaya dan Majapahit. Negara dengan luas darat dan lautnya 5.193.250 km2, dan dengan garis pantai sepanjang 99.093 km, serta hampir 13.466 gugusan pulau tentunya menyimpan kekayaan alam yang cukup melimpah. Sehingga tidak usah kaget jika sedari dulu negeri ini menjadi primadona bangsa-bangsa asing dalam hal kekayaan alamnya. Termasuk salah satunya emas hijau Nicotiana tobacum atau yang akrab kita sebut tembakau.
Tembakau merupakan bahan pokok pembuat kretek yang biasa kita nikmati sehari-hari bertemankan secangkir kopi dari pagi bertemu pagi lagi. Bersumber dari pelbagai literature bacaan tanaman tembakau ditemukan oleh cristoper colombus di suatu wilayah bernama San Salvador, Kepulauan Bahama. Di pulau tersebut Columbus bertemu dengan suku Lucayan, dan dari situ pula pertama kalinya colombus bertemu ritus menikmati tembakau.
Tetapi ada versi lain yang menerangkan bahwa tembakau atau dalam kitab Tuhfah al-Ikhwan disebut dengan at-Tabghu merupakan tanaman lokal pada suatu daerah yang bernama Tobago (suatu negeri di wilayah Meksiko, Amerika Utara). Dalam berjalannya waktu dari beberapa versi sejarah awal tembakau tadi menyebarlah bibit-bibit tanaman tembakau ini ke seluruh belahan dunia, tidak terlepas di Nusantara yang nantinya berkembang mengadopsi dari bahasa belanda roken yang kita kenal dengan rokok.
Baca Juga:
Tak banyak kita ketahui bahwa tembakau merupakan daun pembawa kekayaan bagi kolonialisme belanda ketika sistem Tanam Paksa. Pada awal abad ke-17 Belanda mulai menanam secara besar-besaran di wilayah Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Bukti bahwa tembakau menjadi komoditas berharga sesuai dengan laporan P. De Kat Angelino dalam Voorstenlandsche Tabaksenquete, mengatakan meskipun tanaman tembakau bukan tanaman asli Indonesia tetapi memiliki pertalian khusus dengan tanah Indonesia sejak awal diperkenalkan. Dari tembakau inilah secara perlahan kondisi ekonomi sosial masyarakat bumi putera mulai berubah.
Kemudian fenomena tembakau “emas hijau” tersebut dikuatkan juga dengan meningkatnya pendapatan yang diperoleh colonial, dari penjualan tembakau. Seiring berkembangnya masa, tembakau mulai diolah menjadi bahan baku kretek di Nusantara yang dalam racikannya dipertemukan dengan cengkeh yang tentu juga merupakan primadona rempah Nusantara. Pada era awal tentu tidak mudah, industri kretek harus berhadapan dengan perpajakan colonial yang rumit dan cukup deskriminatif.
Keadaan inilah yang juga mendorong tumbuhnya spirit nasionalisme para stakeholder usaha kretek, yang berupaya mewujudkan adanya kemandirian dan demokrasi ekonomi demi terwujudnya kesetaraan perlakuan dalam usaha. Dalam perjalanannya industri kretek selalu erat dengan krisis ekonomi yang memporak-poran dakan pereekonomian nasional, tapi lagi-lagi ketangguhan industri kretek selalu teruji. Kretek tidak hanya warisan sejarah dan budaya yang berharga namun juga penjaga martabat bangsa. Tetapi cerita dibalik setiap hisapan kretek tidak pernah berhenti disitu.
Dilatarbelakangi ketangguhan industri kretek yang mampu bertahan dalam kondisi ekonomi nasional seperti apapun, ternyata ada pihak yang mulai kebakaran jenggot. Hal itu bisa kita lihat dari aspek geoekopolitik internasional, yang mana rezim kesehatan gencar mengucurkan dana untuk perang anti-tembakau. Upaya ini dilakukan tentu tidak lain dan tidak bukan sebagai upaya menggeser pemanfaatan nikotin alami serta memuluskan jalan produk-produk rekayasa nikotin dari rezim kesehatan atau gampangnya tujuan utamanya adalah pengambilalihan bisnis nikotin.
Indonesia juga tidak terlepas dari kucuran aliran dari persekutuan lembaga kesehatan dan perusahaan-perusahaan farmasi tersebut. Sindikasi perusahaan farmasi mengucurkan dana yang cukup besar dalam melancarkan gerakan anti-tembakau. Secara khusus sindikasi perusahaan farmasi dunia juga melibatkan WHO dalam melancarkan strategi pemenangan perang anti-tembakau.
Tak pelak, dari situlah lahir beberapa antek-antek sindikasi perusahaan farmasi yang bagi tugas dalam rangka pemenangan perang anti-tembakau bisa kita sebut ada WSMI, IFPMA, FCA, BLOOMBERG dan masih banyak lainnya. Aliran dana yang dikucurkan pun tidak main-main cukup sistematis dan terstruktur hingga mampu mengintervensi kebijakan-kebijakan negara internasional.
Dari agenda sindikasi farmasi internasional tersebut munculah cap jahat terhadap industri tembakau yang selalu menjadi kambing hitam. Awalnya argumentasi yang dibangun oleh sindikasi farmasi kesehatan hanya persoalan kebiasaan rokok yang diubah menjadi ketagihan oleh penelitian Surgeon General, penelitian tersebut berhasil menggiring simpati opini publik. Sehingga dari situlah penelitian-penelitian lanjutan digencarkan dengan ditambahkan bumbu ilmiah bahwa rokok memperburuk kesehatan.
Baca Juga:
Gempar, Hubungan Memanas Koalisi Islam, Politik Kontemporer Ala Amien Rais?
Penggiringan opini negatif terhadap industri tembakau tidak hanya pada wilayah riset dan penelitian saja, tetapi sampai pada regulasi dan kebijakan suatu negara. Indonesia misalnya, kenaikan pajak tembakau, pemberlakuan larangan merokok, promosi berhenti merokok adalah produk turunan yang diinginkan sindikasi farmasi internasional dalam rangka pemberian pasar bagi industri farmasi agar lebih kompetitif. Itu tadi masih gambaran beberapa kasus intervensi sindikasi farmasi dalam wilayah kebijakan lokal.
Dalam langkah intervensi kebijakan internasional sindikasi farmasi menggandeng WHO meluncurkan program World No Tobacco Day (Hari Tanpa Tembakau Sedunia) pada 1988. Selanjutnya, pada 1998 dilanjutkan keluarnya Tobacco Free Initiative (Prakarsa Bebas Tembakau) ditandai munculnya istilah perokok pasif. Hal itu dikuatkan lagi dengan munculnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) suatu hukum internasional dalam pengendalian tembakau. Sebuah langkah yang justru menggadaikan martabat bangsa dan secara perlahan mematikan industry kretek nasional.
Tulisan ini merupakan salah satu refleksi penulis tentang pentingnya memahami kretek, tidak hanya sebatas menyelam dalam kenikmatan setiap hisapannya. Tetapi kretek merupakan salah satu industri padat karya, padat modal dan memiliki andil besar dalam pemasukan cukai negara.
Selain itu kretek merupakan warisan pusaka citarasa budaya nusantara yang sangat erat kaitannya dengan keseharian masyarakat Indonesia, yang tentunya harus selalu kita jaga kelestariannya. Hal ini menjadi penting kita bahas dimana maraknya kampanye anti-rokok yang dilakukan oleh sindikasi kapitalisme farmasi yang semakin hari merugikan dan menggerogoti stabilitas harga pasar para petani tembakau lokal.
Oleh karena itu ketika melinting dilarang dan berakibat menyengsarakan, maka hanya ada satu kata LAWAN !
M. Iqbalul Rizal Nadif. Penulis Tim Kaderisasi PC PMII DIY, Alumni PP.Tebuireng Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta