[mks_dropcap style=”letter” size=”52″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#000000″]P[/mks_dropcap]utusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 80/PUU-XVII/2019 mengenai permohonan uji materi konstitusionalitas jabatan Wakil Menteri (Wamen) sempat menuai polemik perihal penafsiran norma larangan rangkap jabatan Wamen. Meski permohonan pemohon untuk membatalkan Pasal 10 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara yang mengatur jabatan Wamen tidak dapat diterima MK, namun pertimbangan MK mengenai larangan rangkap jabatan Wamen menuai sorotan publik.
Dalam pertimbangannya, MK menilai penting untuk menegaskan perihal fakta yang dikemukakan para pemohon berkaitan dengan tidak adanya larangan rangkap jabatan Wamen dalam UU Kementerian Negara. Karena telah mengakibatkan pejabat Wamen dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta. Saat ini diketahui dari 12 Wamen dalam Kabinet Indonesia Maju, 3 di antaranya sekaligus menjadi komisaris di BUMN, diantaranya 2 Wamen BUMN yang masing-masing merangkap Komisaris Utama Bank Mandiri dan Komisaris Utama Pertamina, serta Wamen Keuangan yang merangkap Wakil Komisaris Utama PLN.
Sayangnya, isu mengenai larangan rangkap jabatan Wamen yang dipertimbangkan MK tersebut bukan merupakan masalah pokok dalam permohonan yang diuji dan diputus dalam perkara No. 80/PUU-XVII/2019. Apalagi MK tidak menegaskannya dalam amar putusan, melainkan hanya dalam pertimbangan hukum. Sehingga, keadaan hukum yang timbul berkaitan dengan dilarang atau tidaknya rangkap jabatan pada Wamen pasca putusan MK ini justru menuai polemik.
Konstitusionalitas Wamen
Putusan ini pada dasarnya menegaskan pendirian MK terhadap konstitusionalitas jabatan Wamen sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 79/PUU-IX/2011. Putusan tersebut pada intinya menyatakan jabatan Wamen tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 (artinya konstitusional). Dengan alasan bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD NRI 1945 (vide Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945), sehingga Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengelola pemerintahan, termasuk mengangkat Wakil Menteri.
Berkaitan dengan hal tersebut MK menilai, sekalipun Wamen membantu Menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, namun pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian Menteri. Maka menurut MK, Wamen haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana status yang diberikan kepada Menteri.
Dengan status jabatan yang sama dengan Menteri inilah, maka MK menafsirkan bahwa seluruh norma larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku pula bagi Wamen. Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar Wamen fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat Wamen di kementerian tertentu.
Lantas kemudian, apakah penegasan status jabatan Wamen yang kedudukannya ‘ditempatkan’ sebagaimana jabatan Menteri itu berkaitan dengan amar putusan yang menegaskan konstitusionalitas jabatan Wamen, sehingga penafsiran MK mengenai pemberlakuan norma larangan rangkap jabatan pada Menteri juga berlaku terhadap Wamen itu memiliki kekuatan hukum mengikat?
Kekuatan Mengikat
Putusan yang menegaskan konstitusionalitas jabatan Wamen ini mestinya dipahami sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukumnya. Pertimbangan hukum yang menegaskan larangan rangkap jabatan Wamen berarti juga bentuk penegasan MK terhadap eksistensi jabatan Wamen yang berkedudukan sebagaimana jabatan Menteri.
Secara teoritis, memang ada 2 (dua) hal yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum suatu putusan, yaitu: (1) ratio decidendi; dan (2) obiter dictum. Ratio decidendi ini merupakan bagian dari pertimbangan hukum sebagai dasar atau alasan yang menentukan diambilnya putusan yang dirumuskan dalam amar. Bagian pertimbangan ini tidak dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, dan dapat dirumuskan sebagai kaidah hukum.
Disisi lain ada juga bagian pertimbangan hukum yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan masalah hukum yang dihadapi dan karenanya juga tidak berkaitan dengan amar putusan. Hal demikian sering dilakukan oleh majelis hakim karena digunakan sebagai ilustrasi atau analogi dalam menyusun argumen pertimbangan hukum. Bagian ini disebut sebagai obiter dictum/obitur dicta yang tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Persoalannya, apakah penafsiran MK mengenai pemberlakuan larangan rangkap jabatan terhadap Wamen sebagaimana dalam pertimbangan hukum putusan ini berkaitan atau tidak berkaitan langsung dengan masalah hukum dalam uji materi Pasal 10 UU Kementerian Negara?
Menurut saya, pertimbangan hukum tersebut berkaitan langsung dengan masalah hukum yang diputus dalam amar putusan. Argumentasinya, pertama, karena putusan MK wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan (vide Pasal 45 ayat (3) UU MK), sementara mengenai larangan rangkap jabatan Wamen ini merupakan fakta yang dipertimbangkan MK karena didalilkan pemohon dalam alasan permohonan (posita) dan terungkap dalam persidangan.
Kedua, penafsiran MK mengenai norma larangan rangkap jabatan Menteri juga berlaku terhadap Wamen ini substansinya mempunyai kaitan langsung dengan amar putusan dalam rangka menegaskan konstitusionalitas jabatan Wamen, sekalipun dalam Putusan No. 80/PUU-XVII/2019 ini amarnya tidak dapat diterima. Pun nampaknya terlalu jauh apabila hendak menilai penafsiran dalam pertimbangan hukum itu dalam rangka ilustrasi maupun analogi MK dalam menyusun argumen.
Penulis, Yuniar Riza Hakiki, peneliti PSHK FH UII