Siang itu, Asrama Vokasi Dawuh Guru Bungsing di Guwosari, Pajangan, Bantul, tidak hanya menjadi tempat tinggal santri vokasi. Ia menjelma ruang belajar redaksi. Sejumlah pengelola Majalah Al Qurra’ JQH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta datang membawa satu kegelisahan yang sama: bagaimana mengelola media yang berkarakter, rapi, dan tetap beretika.
Workshop editorial ini bukan sekadar pelatihan teknis. Ia adalah percakapan panjang tentang bagaimana kata-kata harus diperlakukan dengan hormat.
Mas Ali membuka diskusi dengan ajakan sederhana namun mendasar: redaksi harus memiliki angle dan gaya khas. Menurutnya, media yang baik bukan yang paling ramai, tetapi yang paling jujur pada identitasnya. Gaya redaksi, katanya, adalah jejak intelektual yang membuat pembaca kembali.
Diskusi berlanjut pada sesi Mas Fikri yang membedah persoalan klasik redaksi: tulisan panjang, berputar-putar, dan melelahkan. Dengan pendekatan praktis, ia menunjukkan bahwa memangkas tulisan bukan berarti memiskinkan makna. Justru, pesan utama sering kali baru terlihat setelah kata-kata berlebih disingkirkan.
Sementara itu, Mba Siska mengajak peserta memahami ritme bacaan dalam satu edisi majalah. Baginya, menyusun edisi sama seperti menyusun perjalanan: ada saatnya pembaca diajak berpikir keras, ada waktunya diberi jeda. Ritme menentukan apakah pembaca akan menyelesaikan bacaan atau meninggalkannya.
Sebagai penutup, Mas Anas mengingatkan satu hal yang sering luput: etika penyuntingan naskah. Editor, katanya, bukan penguasa teks, melainkan penjaga adab antara penulis, pembaca, dan kebenaran.
Workshop ditutup dengan penyerahan cinderamata kepada Ali Adhim, M.Pd., khadim Asrama Vokasi Dawuh Guru. Sebuah simbol bahwa literasi bukan hanya urusan kampus atau penerbit, tetapi kerja sunyi yang dirawat bersama.





