Pada 2017, Jokowi juga memberi surat pengakuan dan pemberian hak pengelolaan hutan adat kepada 9 masyarakat hukum adat di wilayah Jambi, Sulteng, Kalbar, dan Kaltim dengan luas kawasan mencapai 3341 hektare dan melingkupi 3.111 keluarga.
Kebijakan Presiden Jokowi ini bisa dilihat dalam perspektif melindungi hak tanah atau hak ulayat masyarakat adat sebagai upaya mematahkan warisan buruk rezim Soeharto.
Warisan buruk itu adalah perampasan hak tanah masyarakat adat secara sistematis. Perampasan hak tanah masyarakat adat memang berakar dari pemberlakuan Undang-undang (UU) No. 5/1967 tentang Kehutanan di awal berkuasanya rezim Soeharto.
Dalam UU itu telah diatur penetapan kawasan hutan oleh negara. Regulasi ini diterbitkan untuk mengakomodir kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai konsesi pengusahaan hutan terhadap para pemilik modal, terutama asing.
Permasalahannya, diberbagai kawasan hutan yang ditetapkan sebagai wilayah konsesi itu telah berdomisili masyarakat adat yang kebanyakan hidup sebagai peladang berpindah, seperti suku Sakai dan suku Anak Dalam di Sumatera, maupun berbagai rumpun suku Dayak di Kalimantan.
Artinya, rezim Soeharto telah memberikan izin pada berbagai perusahaan untuk mengeksploitasi wilayah hutan alam tanpa menghiraukan hak-hak masyarakat adat yang hidup disekitar ataupun didalam kawasan hutan.
Walhasil, terjadi penguasaan oleh berbagai korporasi terhadap hutan alam sehingga membuahkan terjadinya tumpang tindih lahan antara tanah ulayat milik masyarakat adat dengan areal konsesi milik pengusaha. Inilah awal dari penindasan panjang terhadap hak ulayat masyarakat adat.
Agung Wibawanto. Penulis adalah Peniliti pada Ligkar Pembaruan Desa dan Agraria/KARSA