Hari Itu Terjawab Sudah

Oleh: Agung Wibawanto

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Hari Itu Terjawab Sudah

KilatNews.Co Masih ingat dengan foto di atas? Sebuah peristiwa yang mungkin sulit untuk dilupakan oleh masyarakat Indonesia ketika itu (5 tahun lalu, 2016). Tepatnya, tanggal 2 Desember 2016 (212), sekelompok orang melakukan aksi demo besar-besaran sebagai tindak lanjut dari aksi sebelumnya pada 4 November 2016 (411).

Aksi itu pada akhirnya dilihat para pengamat politik sebagai sebuah test case untuk “menggoyang” kedudukan Presiden.

Kelompok itu pun kemudian diistilahkan ke dalam organisasi Islam garis keras, seperti: FPI dan GNPF Ulama. Kasus yang diangkat sebagai triger nya (ketika itu) adalah kasus Basuki Tjahja Purnama (BTP) yang dianggap melecehkan agama.

Kelompok Islam garis keras itu sesungguhnya sudah berusaha untuk masuk dalam politik kekuasaan saat pilpres 2014, dengan menyerang habis-habisan Jokowi yang didukung penuh oleh PDIP.

Bagi mereka, tidak peduli siapa lawan Jokowi (PDIP) di 2014, mereka pun sudah menetapkan sebagai mitra koalisi yang bersama-sama melawan.

Usaha untuk memenangkan kekuasaan melalui jalur pilpres dan pileg pun gagal total, karena secara telak PDIP menguasai kursi parlemen dan tentu saja memenangkan pilpres 2014.

Mengapa mereka baru terlihat seperti bernafsu ingin berkuasa di 2014? Ini menjadi pertanyaan besar.

Sebelum 2014, terutama di masa pemerintahan SBY, kelompok-kelompok seperti itu cukup diakomodir dan bisa hidup layak, serta memiliki kebebasan dalam bergerak. Meski pentolan mereka, Rizieq Shihab, pernah ditahan di era SBY, namun tidak membuat mereka gusar. Hal ini bisa diketahui dari statemen yang disampaikan oleh mereka sendiri dan juga kalangan oposisi.

Mereka menganggap bahwa SBY lebih berhasil ketimbang Jokowi. Partai Demokrat sebagai partai penguasa pun masih lebih enak diajak kompromi ketimbang PDIP. Keinginan dan tujuan mereka untuk berkuasa dengan membentuk Negara Islam dan mengubah sistem pemerintahan menjadi Khilafah, masih sangat mungkin terwujud di era SBY, namun tidak di era Jokowi. Hal ini yang membuat mereka jadi benar-benar gusar.

Setelah melalui jalan konstitusi tidak berhasil (baik dalam pemilu 2014 dan 2019), mereka tidak hanya gusar, tapi juga berusaha menjatuhkan Jokowi dengan mencoba merebut kekuasaan. Jalur ekstra konstitusi pun dilakukan, yakni melalui aksi pengerahan massa.

Pada peristiwa 411 dan 212 di tahun 2016, mereka melakukan test case untuk melihat seberapa besar kekuatan riil mereka sekaligus melakukan konsolidasi gerakan. Klaim 7 juta massa aksi pun muncul.

Kepercayaan diri mereka itu tumbuh melalui angka-angka klaim tadi, yang menyebutkan ada 7 juta massa yang ikut aksi demo di Jakarta, dan belum lagi di daerah-daerah. Sejak itu mereka terus menggalang kekuatan (konsolidasi) dengan rekrutmen dan dakwah politik secara terbuka (tidak sembunyi-sembunyi lagi). Mereka juga terus melakukan kritik dan menyerang pemerintah yang dikatakan sebagai thogut, kafir dan dzalim.

Pada titik itu pula awal Presiden Jokowi diuji untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam garis keras (sebenarnya sudah sejak Pilpres 2014, dimana mereka menyebar hoaks dan fitnah melalui media Obor Rakyat).

Mereka juga ingin tahu seberapa kuatnya Jokowi menghadapi gempuran. Di awal, mereka sempat membangun opini kepada masyarakat bahwa Jokowi lemah dan takut menghadapi mereka.

Karangan cerita pun direkayasa saat aksi 411 yang berujung rusuh, Jokowi tidak berani menemui mereka dan malah pergi meninggalkan Jakarta. Pada aksi 212 pun demikian ingin menguji sekaligus menjadi bukti kalau Jokowi memang penakut. Tapi apa, lacur. Jokowi dengan ringan langkah menuju ke panggung aksi yang sengaja didirikan dekat istana negara.

Sebuah pertanyaan besar, mengapa aparat membiarkan panggung akbar tersebut ada di sekitar istana?

Di akhir kisah diketahui bahwa ada peran JK dan juga Panglima TNI ketika itu, Gatot Nurmantyo, yang memang tampak mengakomodir keinginan kelompok garis keras. Meski dengan tajuk “munajat dan doa bersama”, panggung tersebut secara jelas dan terbuka dijadikan sebagai media untuk menyerang kewibawaan presiden. Mereka menghina, menghasut dan menggerakkan massa.

Para tokoh dan juga peserta aksi merasa terkejut saat mengetahui dan melihat Jokowi datang tanpa pengawalan ketat, berjalan kaki dan membawa payung sendiri di tengah hujan rintik. Jokowi menaiki panggung lalu melakukan sholat Jumat bersama serta sempat menyampaikan pidato singkat kepada massa.

Lantas dimana dan kemana tuduhan selama itu yang mengatakan Jokowi takut?

Runtuh sudah keyakinan sebagian orang yang sebelumnya percaya kalau Jokowi seorang penakut. Meski diliputi rasa khawatir akan keamanan presiden Jokowi, namun masyarakat merasa bangga dan salut akan keberanian Jokowi menjawab tantangan kelompok garis keras.

Hari itu sepertinya Jokowi ingin menjawab prasangka buruk yang sempat muncul pada aksi 411. Seolah ingin mengatakan begini.

“Tanpa dimintapun saya bersedia bertemu, bahkan tidak hanya dengan pimpinannya melainkan seluruh peserta aksi. Di mana saya tahu sebagian besar dari mereka tidak menyukai bahkan membenci saya. Namun mereka juga rakyat Indonesia yang sudah sepatutnya saya ayomi. Saya tidak takut. Buat apa takut dengan rakyat sendiri. Kalau saya takut maka saya tidak akan sempat membawa payung sendiri berjalan kaki, tanpa rompi anti peluru.”

Jokowi melanjutkan (dalam bayangan saya), “Peluang saya diserang dan mati kan besar sekali di tempat terbuka seperti itu. Namun saya yakin silaturahim ini terkait doa bersama untuk kemaslahatan bangsa. Silaturahim harus dibangun dalam suasana damai dan niat yang bersih, bukan dengan cara-cara pemaksaan kehendak,” begitu kira-kira. Kini setelah 5 tahun berlalu, kelompok garis keras semakin gembos dan tidak memiliki taring lagi, meskipun masih suka berisik.

Organ pelopor mereka sudah diobrak-abrik dibubarkan, yakni: HTI dan FPI. Pimpinan mereka juga sudah ditahan seperti: Rizieq Shihab dan Munarman. Ruang gerak mereka semakin terbatas karena dibongkarnya aksi penggalangan dana untuk kegiatan mereka.

Sumber-sumber pemasukan dari kantong negara seperti BUMN mulai dibersihkan dari pegawai yang bercap Islam fundamentalis. PNS dan ASN seperti Novel Baswedan dkk pun sudah disingkirkan. Mau apa lagi?

Reporter: KilatNews