OPINI  

Mewarisi Api Sejarah: Memahami Ideologi Marhaenisme ‘Out of Date’ di Zaman Sekarang

Mewarisi Api Sejarah: Memahami Ideologi Marhaenisme ‘Out of Date’ di Zaman Sekarang

Mewarisi Api Sejarah: Memahami Ideologi Marhaenisme ‘Out of Date’ di Zaman Sekarang

Oleh: Alvien Febryan


KilatNews.Co- Banyak penduduk di Indonesia sudah tidak mengenal Ideologi Marhaenisme. Dengan kata lain, Ideologi Marhaenisme sudah ‘Out of Date’. Oleh karena itu, kami sebagai pemuda-pemudi penerus bangsa perlu memahami benar tentang Ideologi Marhaenisme tersebut agar dapat Mewarisi Api Sejarah yang ditinggalkan oleh pahlawan-pahlawan kita terdahulu.

Pencetus Ideologi Marhaenisme adalah Ir. Soekarno (Bung Karno). Asal-Usul beliau mendapatkan ide untuk merumuskan ideologi ini, yakni setelah beliau bertemu dan berbincang dengan petani yang bernama Marhaen di tahun 1926-1927.

Marhaenisme adalah Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan kultur di Indonesia. Marhaenisme kemudian menjadi alat perjuangan Bung Karno dan PNI (Partai Nasional Indonesia), demi mengangkat hidup kaum Marhaen, Kaum Marhaen yang dimaksud adalah rakyat yang lemah karena ditindas kolonialisme.

Pada saat itu, popularitas Marhaenisme meluas pada saat Bung Karno menjabarkannya dalam pidatonya yang berjudul ‘Indonesia Menggugat di Landraad Bandung‘ tahun 1930.

Selain itu, Marhaenisme juga merupakan cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua sistem itu telah menghisap dan menindas rakyat jelata. Ditegaskan juga, untuk mencapai susunan masyarakat itu, kaum Marhaen harus menempuh cara-cara revolusioner. (Soekarno,1933)

Marhaenisme sesungguhnya disusun oleh tiga pemikiran Soekarno yang lain, yaitu analisa kelas marhaen, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Tiga komponen inilah yang membentuk ajaran Marhaenisme.

Dalam Analisa Kelas Marhaen, Ia memikirkan bahwa “di eropa, tugas sejarah itu berada di pundak kelas proletar, Mengapa di Indonesia berbeda? Kendati sudah ada kaum proletarnya, seperti di perusahaan kereta api, perusahaan pegadaian, pertambangan, dan lain-lain, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Sementara yang dominan adalah pemilik produksi kecil-kecilan: pertanian kecil, perdagangan kecil, dan usaha produksi kecil. Kehidupan mereka sangat sengsara dan melarat.” Dari pemikiran tersebut, Bung Karno menemukan tenaga utama untuk mendorong Revolusi Indonesia, yaitu kaum Marhaen katanya”. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisan nya kaum proletar.” (Soekarno,1933)

Yang kedua Sosio-Nasionalisme, nasionalisme yang berpihak, yakni kepada masyarakat. Dengan kata lain, Sosio-Nasionalisme menolak Borjuisme (Kapitalisme) dan Keningratan (Feodalisme).

Sosio nasionalisme sendiri mencita-citakan sebuah masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan, dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu. Atau disingkat sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki “masyarakat tanpa kelas” alias “masyarakat adil dan makmur”.

Dengan adanya Sosio-Nasionalisme ini, perjuangan nasional Indonesia tidak berhenti sampai di pintu gerbang Kemerdekaan, namun berlanjut hingga masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan.

Yang Ketiga Sosio-Demokrasi, antitesis dari demokrasi parlementer yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer hanya menjamin kebebasan Politik, yakni hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Tetapi, kebebasan ekonomi yang berkaitan dengan akses kehidupan berada di kaum Borjuis (Kapital). Pasalnya, untuk bertarung di pemilu, orang butuh logistik dan propaganda. Dan kaum borjuis menguasai segala-galanya, yaitu uang dan propaganda. Dengan uangnya, kaum borjuis bisa membeli suara rakyat jelata yang terjepit kemiskinan. Di samping itu, di bawah masyarakat kapitalis, kaum borjuislah yang menguasai seluruh sarana propaganda dan produksi mental.

“Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioscoop-bioscoop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai,semuanya itu biasanya dapat menjamin suara terbanyak bagi borjuis di dalam parlemen,” kata Soekarno.

Dengan ketiga pemikiran tersebut, makanya munculnya keterkaitan demi mencapai cita-cita Marhaenisme, yaitu yang pertama, Sosio-demokrasi yang mencita-citakan sebuah kekuasan politik di tangan Marhaen seperti yang sudah dijalankan di Indonesia adalah Staat Rakyat dimana seluruh urusan ekonomi dan politik dikerjakan oleh rakyat, dengan rakyat dan untuk rakyat. Yang kedua, sosio-demokrasi yang mendorong kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Ibarat kata siapa yang menguasai sumber ekonomi, maka dia pula yang berjaya di lapangan politik dan sosial budaya. Dan ketiga, dengan sosio-demokrasi terjadi pemisahan antara ekonomi politik, sebagaimana yang terjadi di bawah kapitalisme. Pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak lagi dianggap urusan individu semata, namun menjadi urusan publik.

Di zaman sekarang perlu dipahami bahwa, Ideologi Marhaenisme ini sudah ada sejak tahun 1926, yang dicetuskan oleh Presiden Pertama kita, Ir. Soekarno yang alangkah baiknya jika kita penerus bangsa juga melanjutkan teori Ideologi ini menjadi suatu karya yang memajukan, mengharumkan nama Bangsa Indonesia dari segi Politik, Ekonomi dan Sosial-Budaya.


Alvien Febryan. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum, Univeraitas Bung Karno, Jakarta.