Menyoal Peraturan Bersama Menteri No. 8 dan 9 Tahun 2006
Oleh : Albertus Iswandi, SH
Kilatnews.co- Setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat sesuai keyakinannya. Hak asasi adalah hak manusia yang bersifat universal. Konstitusi Indonesia telah menjamin hak a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta kembali”.
Namun pada kenyataaanya apa yang diamanatkan oleh konstitusi, tidak mampu diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah melalui regulasi dan kebijakan implementatifnya, bahkan regulasi a quo justru menimbulkan gejolak sosial atau menimbulkan perilaku intoleran oleh beberapa kelompok masyarakat.
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006).
Analisa
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat dapat kita analisa sebagai berikut :
1. Meskipun tidak dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, asas hukum menjadi hal mendasar sebagai pedoman pembentuk undang-undang dalam merumuskan norma hukum. Asas hukum adalah prinsip hukum yang melatarbelakangi peraturan konkrit/norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, sehingga norma hukum yang dibentuk oleh pembuat undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum. Namun dalam PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tidak mencantumkan asas-asas hukum secara universal bahkan secara khusus tidak mencantumkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Akibatnya, norma hukum yang dibuat berpotensi tidak sejalan dengan tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan;
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 tentang tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dapat dimaknai sebagai pendelegasian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam urusan agama. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur urusan pemerintahan absolut yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Meskipun dalam ayat (2) pemerintah pusat boleh melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah misalnya Gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi, namun perlu dipahami bahwa asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur/walikota/Bupati, sehingga jika dicermati PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 pemerintah pusat terkesan lepas tangan dengan menyerahkan sepenuhnya urusan agama ke pemerintah daerah.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 8, 9, 10, 11, dan 12 tentang FKUB ( Forum Kerukunan Umat Beragama) merupakan upaya yang sangat baik dari pembentuk peraturan ini. Oleh karena itu, semestinya fungsi FKUB lebih pada upaya menjaga kerukunan intern dan antar pemeluk agama serta menjadi garda terdepan dalam mencegah dan menyelesaikan persoalan-persoalan intoleransi/menjembatani penyelesaian konflik atas perbedaan pandangan antar agama. Dengan demikian, fungsi FKUB Bukan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan ijin mendirikan rumah ibadah;
4. Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (2) huruf a yang menyatakan “pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus, berupa daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang. Yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3)” atau wilayah desa dan ketentuan Pasal 14 ayat (2) huruf b yang menyatakan “dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/kepala desa”.
Dapat diartikan bahwa syarat administrasi khusus permohonan ijin pendirian rumah ibadat harus mendapat dukungan minimal 90 umat se-agama pengguna rumah ibadah dan 60 orang dari masyarakat setempat (dukungan 60 orang dari masyarakat setempat dapat ditafsirkan 60 orang yang berbeda agama atau 60 orang se-agama dari masyarakat setempat selain 90 orang yang telah memberikan dukungan). Hal tersebut melanggar asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945;
5. Bahwa frase kata “setempat” dalam kalimat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang berdasarkan Pasal 14 ayat (2) huruf b tidak jelas pemaknaannya. Apakah 60 (enam puluh) orang yang dimaksud berasal dari satu dusun yang akan didirikan sebagai tempat rumah ibadat atau mencakup satu desa, disamping itu tidak diatur secara jelas bagaimana jika persyaratan khusus yang telah lengkap tersebut, lurah/kepala desa tidak mau tandatangan atau mengesahkan;
6. Bahwa Pasal 14 huruf (a) dan (b) adalah sumber masalah dalam peraturan ini karena dalam berbagai kasuistik yang terjadi, banyak tempat ibadah yang tidak atau belum mendapatkan ijin, karena syarat administrasi khusus tersebut. Bahkan memunculkan tirani mayoritas atas minoritas yang mana rumah ibadat penganut agama minoritas yang didirikan di wilayah penganut agama mayoritas dapat menimbulkan polemik jika penganut agama mayoritas tersebut merasa terganggu atau bersikap intoleran. Dan norma hukum tersebut sangat berpotensi menimbulkan gejolak sosial serta membuka ruang terjadinya praktek-praktek intoleransi yang dilakukan oleh kelompok tertentu;
7. Bahwa jika syarat khusus permohonan ijin pendirian rumah ibadah tidak terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersediaanya lokasi pembangunan rumah ibadat. Hal tersebut merupakan upaya yang baik dari peraturan ini, namun faktanya relokasi masih sebatas mimpi. Faktanya banyak kasuistik terkait relokasi yang belum selesai. Masalahnya masih sama yaitu tidak mudah untuk mencari dukungan masyarakat setempat berdasarkan persyaratan khusus dalam pendirian rumah ibadat;
8. Berdasarkan ketentuan Pasal 18, 19, dan 20 tentang izin sementara pemanfaatan bangunan gedung dapat dimaknai bahwa pemanfaatan gedung bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat ijin tertulis bupati/walikota. Artinya gedung yang disewa untuk digunakan ibadat oleh umat beragama tertentu, misalnya ibadat perayaan hari besar keagamaan atau ibadat mingguan/bulanan harus mendapatkan ijin dari walikota/bupati berdasarkan syarat yang telah ditentukan. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 10 UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, peraturan kapolri dan lain-lain.
Seharusnya kegiatan keagamaan, dan ibadat tidak perlu ijin, namun cukup dengan pemberitahuan. Selain itu, ketentuan dalam norma hukum terkait perijinan, dapat digunakan sebagai celah atau ruang bagi kelompok tertentu untuk mempermasalahkan atau menghambat perijinan ibadat atau kegiatan keagamaan sehingga berpotensi menimbulkan praktek-praktek intoleransi;
9. Bahwa berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang didalamnya mengatur hierarki peraturan perundang-undangan. Maka PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat publik, karena tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Pendirian rumah ibadat seharusnya tunduk pada peraturan yang diatur dalam suatu Undang-Undang. Misalnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang atau UU No. 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung atau perda tentang bangunan gedung;
10. Bahwa berdasarkan Pasal 28E ayat (1) yang memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk beribadat dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, rumah ibadat menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bagi setiap warga negara untuk beribadat menurut keyakinannya. Sehingga permohonan ijin mendirikan rumah ibadat semestinya masuk dalam ranah hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia, antar satu orang dengan orang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan seseorang.
Dengan kata lain syarat administrasi dalam mengajukan permohonan ijin cukup mengacu pada undang-undang atau peraturan daerah, bukan berdasarkan syarat khusus yang terdapat dalam PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 sehingga jika permohonan ijin mendirikan rumah ibadat belum dikabulkan dikarenakan masih terjadi sengketa perdata atas obyek yang dimohonkan ijin. Misalnya masih terdapat sengketa waris atau sengketa dengan orang lain terhadap batas-batas tanah atas obyek yang dimohonkan ijin. Hal tersebut dapat meminimalisir gejolak sosial yang dapat melibatkan kelompok masyarakat banyak, atau jika selama ini penolakan pendirian / renovasi rumah ibadat dilakukan oleh sekelompok masa melalui aksi masa atau demo dengan melakukan ancaman, perusakan dan sebagainya namun tidak mau dikatakan sebagai bentuk perilaku intoleran, maka hal itu dapat terjawab melalui mekanisme perijinan yang sederhana (ranah hukum privat);
11. Tidak bisa dipungkiri bahwa kepala daerah dalam membuat kebijakan tentang pendirian rumah ibadat baik itu dalam bentuk pergub atau perbup dan/atau Perwal selalu mengacu pada PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006, sehingga ketika peraturan diatasnya menuai kontroversi maka akan berimbas pada kontroversi kebijakan di tingkat daerah.
Berdasarkan analisa diatas, maka pembangunan atau pendirian rumah ibadat seharusnya dipahami sebagai upaya masyarakat untuk melakukan aktivitas pembinaan mental dan spiritual umat beragama, bukan dipahami sebagai suatu persaingan antar pemeluk agama dalam merebut simpati publik, sehingga membutuhkan rekomendasi banyak pihak. Kita juga harus memahami bahwa urusan agama bukan hanya pada tataran simbol-simbol, namun lebih pada substansi ajaran agama yang mengedepankan kedamaian dan cinta kasih.
Pemerintah sebagai pelindung dan pengayom umat beragama yang berwenang membuat kebijakan teknis pelaksanaan kegiatan keagamaan semestinya hadir untuk menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beribadat sebagaimana yang telah diamanatkan konstitusi, bukan malah membuat kebijakan yang menimbulkan terjadinya kontroversi dan gejolak sosial. Semakin massivnya kegaduhan dan perilaku intoleran oleh kelompok masyarakat tertentu, justru berawal dari kebijakan pemerintah melalui PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 yang merupakan sumber masalah terhadap kebebasan umat beragama dalam beribadat.
Hal inipun diperparah dengan sikap pemerintah daerah yang tidak jelas. Misalnya ketika ada penolakan oleh kelompok tertentu terhadap rencana pendirian rumah ibadah, pejabat pemerintah daerah tidak berani mengeluarkan izin tanpa mengkaji dulu apakah penolakan tersebut beralasan atau tidak. Pemerintah seharusnya bersikap tegas dengan mengedepankan prinsip semua orang sama dihadapan hukum (equality before The Law) dan menindak tegas pelaku kekerasan, penyegelan rumah ibadah atau menghalang-halangi pendirian rumah ibadah melalui instrumen penegak hukum.
Terhadap PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang didalamnya terdapat banyak norma hukum yang bermasalah. Misalnya tentang syarat khusus permohonan ijin mendirikan rumah ibadah dan lain-lain. Yang menimbulkan antinomi hukum, dapat disimpulkan bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan bahkan regulasi tersebut membuka ruang terjadinya bentukbentuk perilaku intoleran dan menimbulkan gejolak sosial karena faktanya banyak terdapat rumah ibadat yang dipermasalahkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Menurut data Setara Institute, sejak tahun 2007 hingga tahun 2018, terdapat 199 (seratus sembilan puluh sembilan) gangguan beribadah pada umat kristiani.
Rekomendasi
1. Mendorong Presiden melalui menteri terkait untuk mencabut PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian rumah ibadat;
2. Mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung atas PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat;
3. Mendorong Presiden untuk membuat Perpres (Peraturan presiden) sebagai pengganti PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat dengan merevisi/menghapus Pasal-Pasal (norma hukum) yang kontroversial.
Penulis, Albertus Iswandi, SH