Rumor Tudingan Penyelewengan Rektor Amany Lubis dan Aksi Akademisi
Oleh : Fahrur Rozi
Kilatnews.co- Fenomena pada acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fdikom) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (26/08/2021) membuat ramai publik. Pasalnya, pertemuan dalam zoom meeting yang berhasil didokumentasikan oleh panitia saat berlangsungnya acara memuat spesifikasi pertanyaan terkait hasil survei kelanjutan anasir tudingan tindak korupsi Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc, MA., yang ramai memenuhi media sosial.
Terlihat dalam durasi yang singkat itu, dimana Sultan Refandi yang menjadi fasilitator sekaligus pengawal kasus Rektor Lubis, seketika email Dema Fdikom yang tersambung dalam sistem AIS (Academic information System) kampus mengalami eror system. “Ada apa?”. Kira-kira demikian rumor reflektif para netizen.
Penulis di sini tidak akan menjadi mediasi parsial yang memuaskan bagi mencuatnya fakta penyelewangan Rektor Lubis. Namun ada hal yang lebih dilematis yang harus direfleksikan dari peredaran video itu, yakni moralitas akademis dan keberlangsungan institusi pendidikan dalam jangka yang panjang. Karena hal ini akan menjadi pemantik api bagi kobaran aksi demonstrasi.
Baca Juga:
Kemarin mahasiswa yang menamai diri dengan Aliansi Mahasiswa UIN Jakarta menuai krusial ikut mewarnai semarak momentum “agustus-an”. Aksi yang mereka lakukan tidak berafiliasi seputar sipil sebagaimana penolakan kebijakan Penerapan Pembatasan Kegitan Masyarakat (PPKM) atau Vaksinasi, ruang geraknya dalam lingkup perjuangan hak akademis menuntut keringanan finansial pendidikan, dengan penamaan aksi, kalau boleh saya berikan istilah, “aksi poster” yang dicecer seantreo gedung kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Melihat konsep kepemudaan agent of change bernuansa secara ekspresif dengan pergerakan aliansi mahasiswa kemarin itu, membuat penulis tergerak memberikan sedikit koreksi kognitif dari sisi pandang keilmuan nilai intrinsik moral kepatuhan hukum dengan realistis, bukan dalam arti premis-kontekstualitas bagaimana aturan main konstitusionalnya.
Setidaknya, di sana aliansi mahasiswa, dalam aksinya, telah menetapkan standar patokan yang menurutnya terdapat nilai keadilan dengan memonopoli secara brutal acuan nilai universal. Saya tidak meragukan keabsahan argumen ketidakpatuhannya, bahkan mungkin saya percaya argumen yang diekspresikan tentu melalui uji klinis teoritis dan orientasinya tentu sangat fenomenal dengan keadaan yang terjadi. Namun hukum atau kebijakan termaktub akan nilai keadilan, sistem moral dan prinsip kebajikan yang totaliter yang menuntut adanya relasi kausalitas keadilan universal untuk ke-realisasi-an nilanya. Kesamaan hak harus terdapat dalam hukum. Jika hukum melampaui hak kemanusiaan atau terdapat rasisme, jalan reformis hukum harus diambil, bagaimanapun caranya (Howard Zinn; 1922).
Baca Juga:
Aksi Besar-Besaran BEM Nusantara akan Digelar Setelah Konsolidasi Dengan Seluruh Presiden Mahasiswa
Mungkin pandemi yang menjerat mengakibatkan ekonomi sekarat. Alasan praktis mengapa aliansi mahasiswa menuntut keringanan UKT. Alasan “ekonomi sekarat” inilah yang dimonopoli secara komunal menjadi standar keadilan oleh mahasiswa, atau mungkin berharap menjadi ketetapan aturan untuk kebijakan kampus selanjutnya. Jika nantinya mengharuskan dengan jalur protes kebijakan kampus menuai marwahnya membentuk dinamika keadilan yang berkemanusiaan bagi para civitas akademika yang berkecimpung di dalamnya, mengapa tidak?
Namun secara sepintas standar “ekonomi sekarat” juga merasuk dalam institusi pendidikan, sama halnya dengan kampus UIN Jakarta yang tidak terkecualikan. Sebagai lembaga keagamaan negeri yang tidak memungut uang gedung, tentu selain mengandalkan dana dari pemerintah, UKT menjadi “harapan tunggal” pembiayaan operasional gedung, sarana-prasarana, gaji pimpinan, dosen dan tenaga kependidikan kampus.
Fokus subsidi pemerintah juga tidak hanya di ranah pendidikan, ada banyak sekali sektoral lini kehidupan yang harus dialokasikan dana di tengah krisis kesehatan saat ini. Kalau UKT rendah, kemana harus berlabuh institusinya?
Dari sinilah alasan “ekonomi sakarat” runtuh seketika dan tidak dapat diterima sebagai keadilan yang sah, universalisasinya sebagai sebab ketidakpatuhan akademis tidak dapat dibenarkan adanya. Karena mungkin rasisme peran akan terjadi dan klaim penyematan (claim of attribution) terhadap hukum dari sudut pandang “keadilan yang tidak menyeluruh” akan menguntungkan salah satu pihak saja. Padahal hukum secara epistemik untuk mencipta keadilan yang mutlak, untuk saat ini, masih nisbi dan relativitas dengan latar kepentingan masing-masing.
Sejenak mungkin aksi tuntutan mahasiswa dapat teredam setelah tidak menemui respon dari pihak kampus. Tapi tidak menutup kemungkinan setelah beredarnya video tudingan aksi akan kembali mencuat. Anasir-anasir penyelewengan ini tentu meragukan argumen kedua (pihak kampus juga mengalami “sekarat ekonomi”). Akan menjadi omong kosong argumen yang menjadi “pembela” dari amukan mahasiswa, nyatanya kampus tetap kaya di tengah pandemi.
Mahasiswa tidak akan menunggu fakta kebenarannya terkait tudingan itu, momen ketika pertemuan dalam media mendadak eror telah meninggalkan kesan dramatis bahwa pihak kampus menampik untuk membahas isu itu—terlepas dari disengaja atau memang kesalahan sistem.
Baca Juga:
Buntut Pemanggilan BEM UI, Demisioner HMMH UII Angkat Bicara
Akhirnya, saran yang perlu disampaikan, perlunya membangun “ruang asosiasi” khusus untuk mengklarifikasi, baik terkait eror system, validitas tudingan penyelewengan pihak kampus sekaligus merespon protes keringanan finanisal pendidikan sebelum aksi kembali meledak dengan wajah anarkis, sebelum “aksi poster” beralih “aksi bantai”. Sangat disayangkan jika hal itu benar terjadi, institusi dengan latar kelembagaan agama yang khas dihadapkan dengan aksi imoral mahasiswanya sendiri.
Cukup IAIN Madura menjadi patron dari dilema saat ini. Gegara tuntutan aksi keringanan UKT dan subsidi kuota pembelajaran yang tidak mendapati sahutan pada Juni lalu, fasilitas kampus diobrak-abrik, moralitas mahasiswa dan reputasi kampus berakhir tragis. Jangan sampai hal itu kembali terjadi.
Surat untuk Ibu Rektor (!)
Fahrur Rozi. Penulis adalah Alumni Pesantren Annuqayah Sumenep dan Mahasiswa angkatan ‘21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Hukum Tata Negara.